Halo, selamat datang bagi yang baru gabung di lapak Gama-Kirana. Jangan lupa follow authornya dulu ya, sebelum lanjut baca...
***
Amben tempat mereka makan siang berbentuk persegi panjang, tapi lebih lebar dan besar. Kuat menampung empat hingga lima orang. Di tengahnya ada sebuah bakul berisi nasi. Sepiring daun singkong rebus, lengkap dengan sambal di sebuah cobek tembikar. Ada piring seng berisi tahu tempe. Piring lainnya ada ikan kecil-kecil goreng. Bukan jenis ikan teri, ini seperti anak ikan. Baby fish?
Dan, yang membuat Gama meringis sekarang, dia tidak pernah makan dengan menu sesederhana itu.
"Ayo, Nak Gama. Yah, beginilah makanan sehari-hari kami, Nak. Apa adanya," ucap Sunarso seraya terkekeh kecil.
"Oh, tidak masalah, Pak. Saya suka juga." Meski ragu, demi menghormati tuan rumah, Gama beranjak naik ke amben dan duduk di sisi lainnya berseberangan dengan Sunarso. Kirana menyusul di sebelahnya.
"Bapak kalau nggak doyan nggak usah dimakan, nanti bisa cari makan di warung makan," bisik Kirana ke dekat telinga Gama. Dia sangsi dengan ucapan Gama yang bilang suka masakan ibunya.
"Saya makan ini saja."
"Bapak yakin?"
"Hm."
Kirana lantas melihat Gama mengambil nasi. Setelahnya dia mengambil tempe goreng yang masih hangat. Terakhir dia mengambil daun singkong rebus plus sambal. Mata Kirana terus mengawasi Gama yang mulai makan dengan tenang, tanpa protes, dan tanpa celaan yang biasa lelaki itu lakukan. Bahkan Gama tampak menikmati saat mencoba ikan kecil goreng krispi dicocol sambel.
"Masakan ibu Kirana benar-benar enak," puji Gama. "Ini namanya ikan apa?" tanyanya sembari menunjukkan ikan-ikan kecil bertepung itu.
"Itu namanya ikan wader, banyak di sungai dekat sini, Nak. Kirana dulu juga mencari ikan wader bersama adik-adiknya," terang Sunarso.
Diam-diam Kirana tersenyum tipis melihat bosnya makan dengan lahap. Entah itu karena lapar atau memang doyan.
Setelah kegiatan makan selesai, Gama dan Sunarso masih duduk-duduk di belakang rumah namun isi amben sudah berganti dengan cangkir-cangkir kopi. Menikmati semilir angin yang berembus pelan melalui dedaunan. Sementara Kirana dan ibunya memilih masuk ke dalam rumah.
Gama memperhatikan atap berbentuk limas yang tampak usang. Gentengnya ada yang sudah melorot, dan disangga sebuah bilah bambu agar tidak ambruk. Gama yakin kalau hujan atap usang itu bocor. Lalu, tatapnya bergeser ke lantai tanah berwarna hitam. Namun, dari semua kekurangan itu, Gama sama sekali tidak melihat kesedihan dari kedua mata ayah Kirana yang duduk di sebelahnya itu. Mereka tampak menikmati keadaan.
"Mohon maaf, Bapak tidak berniat merenovasi rumah ini?" Gama tergelitik menanyakan hal yang terbilang sensitif.
Sunarso mengalihkan pandang ke gubugnya. "Ingin sebenarnya, Nak. Agar Ibu dan anak-anak bisa tidur dengan nyaman. Tapi biaya renovasi rumah tidak sedikit. Saya lebih memprioritaskan sekolah anak-anak dulu," sahut Sunarso sambil tersenyum. Tidak ada kesedihan atau raut tersinggung pada wajahnya.
Seolah paham, Gama hanya bisa mengangguk. "Tapi saya yakin Kirana nanti bisa merenovasinya. Gaji dia cukup besar."
Sunarso sedikit terperanjat. "Maaf, Nak Gama. Beberapa hari lalu saya kaget Kirana mengirimi kami uang banyak. Anak itu bilang dia baru gajian. Tapi, itu terlalu banyak, dia tidak pernah memberi kami uang sebanyak itu." Ada jeda sesaat sebelum Sunarso melanjutkan ucapannya. "Sampai saat ini uang itu utuh nggak kami gunakan sama sekali. Maaf kalau saya harus bertanya, memangnya gaji anak itu sebulannya berapa? Saya takut itu uang ... Nak Gama pasti tahu kekhawatiran saya."
Lelaki berhidung bangir itu mengangguk, dan melengkungkan bibir penuhnya. "Uang yang Kirana kirim itu halal kok, Pak. Gaji sebagai asisten pribadi itu sekitar 30 jutaan. Dan akan bertambah seiring bertambahnya lama kerja."
Mulut Sunarso terbuka lantas mengangguk. Lelaki itu tampak sedikit syok. "Pantas saja anak saya jadi cantik begitu ternyata gajinya besar." Sunarso terkekeh singkat. "Terima kasih Nak Gama sudah mau menerimanya bekerja. Semoga putri saya tidak merepotkan Nak Gama."
Dari dalam rumah terdengar suara tawa Kirana dan ibunya. Entah dua wanita itu sedang membicarakan apa, sepertinya terdengar seru.
Gama hanya tersenyum. Sesekali Kirana merepotkan namun tidak sesering dia merepotkan wanita itu. Entah kenapa sekarang Gama malah merasa gaji yang dia berikan untuk asistennya kurang.
"Pak, Bapak. Lihat ini anakmu, Pak. Dia bawa oleh-oleh banyak banget." Kartini keluar dari rumah sembari menunjukkan beberapa baju. "Ini baju bagus buatmu, Pak. Batik baru nih, adem bahannya."
Sunarso melebarkan senyum dan mengusap kain yang Kartini tunjukkan. Mata teduhnya lantas bergeser ke ambang pintu belakang rumah. Di sana Kirana tengah berdiri sembari tersenyum melihat kebahagiaan ibu dan ayahnya itu.
Gama yang ikut melihat kebahagiaan mereka, tanpa sadar juga ikut mengulas senyum. Pemandangan seperti ini jarang sekali dia lihat. Selain bahagia, ada sinar kebanggaan yang orang tua Kirana tunjukkan.
***
"Ini sekolahnya?" tanya Gama ketika mobilnya berjalan dengan gerakan lambat di depan sebuah sekolah SMP.
"Iya, ini sekolah Bayu. Sebentar lagi bel pulang bunyi, kita tunggu saja."
Gama mengangguk, lantas menepikan mobil ke pinggir jalan. Keduanya bertahan duduk di dalam mobil sembari menunggu anak-anak sekolah bubar.
"Kamu dulu juga sekolah di sini?" tanya Gama mengawasi bangunan sekolah yang lebih mirip gudang bagi dirinya.
"Iya. Cuma ini sekolah yang paling dekat dengan rumah. Lima ratus meter dari sini ada sekolah SMA Sekolahnya Rosma dan saya dulu juga di sana."
Terdengar bunyi keras lonceng dari arah bangunan sekolah yang membuat Kirana langsung menegakkan punggung. Dari arah gerbang sekolah, anak-anak sudah berhamburan keluar. Ada yang berjalan kaki dan ada juga yang bersepeda.
"Adikmu naik sepeda?" tanya Gama, memperhatikan anak-anak berseragam putih biru itu saling berlomba keluar dari gerbang utama sekolah.
"Dia berjalan kaki. Kalau Rosma biasanya diantar Bapak pake sepeda. Saya harus turun dulu, Pak. Nanti Bayu nggak bisa melihat saya."
Gama membiarkan Kirana keluar dari mobil. Wanita itu berdiri di samping mobil sembari mencari sosok adiknya di tengah banyaknya anak-anak sekolah.
Matanya sontak berbinar ketika melihat Bayu keluar dengan temannya. Dia berseru memanggil adiknya itu, lalu melambaikan tangan ketika dari jauh Bayu menoleh.
Remaja tanggung itu menyipitkan mata melihat Kirana. Dia tampak terbengong sesaat sebelum menyadari siapa yang memanggilnya itu. Bayu tersenyum lebar hingga gigi-giginya tampak. Dia berpamitan kepada temannya lalu bergegas menghampiri Kirana.
"Mbak! Ya Allah ternyata Mbak Kiran!" serunya girang sesampainya di depan wanita itu. Dia meraih tangan Kirana dan menciumnya, lalu menarik Kirana dalam pelukannya.
"Kamu kayaknya makin jangkung aja sih, Bay?"
"Namanya juga lagi dalam masa pertumbuhan, Mbak. Mbak Kiran pulang kapan?" tanya Bayu melepas rangkulannya.
"Tadi sebelum jam makan siang. Belum lama kok. Yuk, sekarang kita jemput Rosma. Dia hari ini ada les tambahan enggak ya?"
"Hari ini nggak ada, Mbak. Dia pulang jam dua."
"Ayo, kalau begitu kita ke sana dulu."
Bayu tampak kaget saat Kirana membuka pintu mobil. "Loh, Mbak? Kita naik mobil ini? Aku pikir tadi ini mobil orang lain."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Devil inside You
Romance"Kamu pikir, kamu itu siapa?! Berani sekali mengatur hidupku." Gama menatap tajam, penuh intimidasi kepada wanita yang kini terpojok dengan bibir bergetar. "Kamu itu cuma asisten! Aku ingatkan sekali lagi posisimu. Kamu itu cuma asisten!" bentak G...