45. Makan Malam di Malioboro

4.5K 516 18
                                    

Lutut Gama saling bersentuhan dengan lutut Kirana. Lengan keduanya bahkan sesekali bersinggungan. Entah kenapa hal remeh temeh seperti ini menjadi begitu luar bisa bagi Gama. Dia terus mengawasi bagaimana lutut Kirana sesekali mendempel ke lututnya.

Di sisinya Kirana tampak tak peduli dengan hal itu. Wanita yang mencepol rambutnya tinggi-tinggi itu mengedarkan pandang ke sepanjang jalan Malioboro yang ramai di malam hari. Dia tampak menikmati suasana itu.

Dehaman keras Gama bahkan tidak bisa mengalihkan perhatiannya.

"Kita mau makan di mana?" tanya Gama, membuat Kirana menoleh padanya.

"Kita ke warung lesehan terang bulan," sahutnya lantas memutar kepala ke belakang. Menghadap bapak tukang becak. "Bapak tahu lokasi lesehan terang bulan kan, Pak? Itu loh yang ada di depan toko terang bulan. Katanya juga warung itu pernah didatangi artis."

"Njeh, Mbak. Kulo sumerep."  (saya melihat)

Gama menggaruk kepala mendengar jawaban tukang becak itu. Telinganya kembali terkena roaming seketika.

Kayuhan kendaraan roda tiga itu tidak lama kemudian berhenti di kawasan kuliner malam jantung kota Jogja. Gama yang turun terlebih dulu, menyusul kemudian Kirana.

"Berapa tadi ongkosnya, Pak?" tanya Gama sambil mengeluarkan dompetnya.

"Kalih doso ewu mawon, Mas," sahut driver becak itu seraya mengelap peluh dengan handuk kecil yang mengalung pada lehernya.

"Kalih doso ewu itu berapa?"

"Dua puluh ribu, Pak," timpal Kirana.

Gama mengangguk lalu mengeluarkan satu lembar uang lima puluh ribuan dan menyerahkannya kepada driver kendaraan tradisional itu. "Ini, Pak. Kembalinya buat Bapak saja," ucap Gama seraya tersenyum tipis.

"Ini beneran tho, Mas?" tanya Bapak tukang becak— yang bisa Gama perkirakan berumur sekitar empat puluh tahunan itu—seperti tidak percaya.

"Iya, benar, Pak."

"Alhamdulillah, matur suwun sanget, Mas," seru tukang becak itu lagi berucap syukur.

Melihat matanya yang bersinar, serta wajah lelahnya yang berbinar, entah kenapa membuat perasaan Gama ikut bahagia.

"Semoga rejeki Mas-nya bertambah banyak. Dan saya doakan semoga Mas dan Mbak-nya hidup bahagia dan langgeng."

Sontak ucapan Bapak tukang  becak membuat Kirana dan Gama saling pandang. Keduanya meringis canggung melihat kepergian tukang becak tersebut.

Lesehan terang bulan tampak ramai saat mereka berhasil menghampiri tempat itu. Tidak ada meja yang kosong, semua full.

"Yah, kayaknya kita kurang gercep, Pak." Kirana mencoba mencari tempat yang masih kosong. Namun, belum kunjung menemukannya.

"Apa kamu mau kita pindah ke tempat lain?" tanya Gama memberi pilihan alternatif. "Di sini masih banyak warung-warung lainnya."

Kirana menggeleng. "Saya inginnya makan di sini, Pak. Tapi kalau Bapak mau ke tempat lain nggak apa-apa kok, saya di sini saja nunggu ada tempat kosong."

Gama menghela napas, lalu ikut menyapukan pandangan. Entah apa yang istimewa di sini sampai-sampai Kirana kekeh ingin makan di tempat ini.

"Nah, Pak! Itu ada orang yang baru selesai makan. Ayo, kita ke sana, nanti  keburu direbut orang lain."

Tanpa sadar Kirana menggaet tangan Gama, dan menariknya melewati beberapa pengunjung. Tidak lupa dia mengucapkan permisi karena sudah bertindak tidak sopan demi sebuah meja.

The Devil inside YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang