Dari dalam mobilnya Gama memperhatikan Kirana yang sedang berada di toko bunga. Wanita itu tengah memilih bunga yang dia inginkan. Sesekali bibir Kirana melengkung saat pemilik toko menunjukkan koleksi bunganya. Dahi Gama mengerut melihat Kirana tampak akrab dengan pemilik toko.
"Pemilik toko itu jeli. Dia menggunakan kesempatan untuk mengenal perempuan cantik seperti Nona Kirana," komentar Sukma yang ternyata juga tengah memperhatikan Kirana.
Gama tidak menanggapi. Kenapa mahkluk itu seolah sedang memojokkannya? Apa dia kira Gama tidak jeli? Gama membuang muka, malas memperhatikan asistennya yang keganjenan.
Tidak berapa lama Kirana kembali membawa satu buket bunga yang sangat cantik, perpaduan bunga lili, mawar, dan dafodil.
"Bunganya sangat cantik kan, Pak?" tanya Kirana begitu dia masuk kembali ke mobil.
Gama hanya melirik sejenak. Dia akui bunga itu memang cantik, tapi ketika matanya menangkap buket bunga lain di tangan Kirana alisnya mengerut.
"Saya cuma pesan satu buket, kenapa kamu bawa buket lain juga?" tanya Gama dengan mata yang menyeramkan.
"Oh iya, Pak. Kalau buket bunga krisan ini dari Mas pemilik tokonya tadi. Katanya gratis buat saya," sahut Kirana seraya menatap rangakaian bunga itu dengan takjub. "Mas-nya baik banget."
Gama mendecih. "Bukan dia yang baik. Tapi kamu yang keganjenan," komennya sadis, lalu meminta supir untuk melanjutkan perjalanan mereka.
"Keganjenan gimana?"
"Emang kamu pikir saya nggak tau kamu sok akrab sama tukang bunga itu? Norak sekali." Gama mengingat bagaimana Kirana yang menyisir rambutnya dengan tangan di depan laki-laki pemilik toko bunga itu. Dia yakin Kirana sengaja melakukan gerakan memancing hasrat itu.
"Dia sedang berjualan jadi beramah tamah kepada pembeli. Bukannya itu hal wajar? Lalu jika saya menanggapi keramahannya, di mana letak salahnya?" Kirana terpancing dengan kata-kata pedas yang Gama lontarkan. Selama ini dia diam saja jika Gama memperlakukannya sesuka hati. Tapi entah kenapa pagi ini dia ingin menimpali.
"Salahnya ada di hati Tuanmu, Nona. Dia cemburu," sahut Sukma lantas terkikik.
"Diam kamu, Sukma!" hardik Gama kesal. Yang langsung membuat Kirana terlonjak kaget.
Wanita itu sontak melirik ke arah bangku depan. Apa di sana ada mahkluk yang sering Gama panggil Sukma? Kirana memutuskan diam.
Gama paling tidak suka jika Sukma sudah berspekulasi tentang perasaannya. Mahkluk itu benar-benar minta dimusnahkan.
Mobil Gama memasuki area pemakaman bertaraf internasional setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam. Kirana pikir tadinya ini kawasan perumahan elit.
Kavling-kavling tanah yang dijual memiliki nama seperti hunian. Memang benar ini adalah hunian. Tapi hunian orang yang sudah meninggal.
Untuk beberapa saat Kirana merasakan tubuhnya sedikit merinding ketika mobil Gama melewati bangunan gereja megah yang memiliki menara runcing di atasnya. Setelah bangunan gereja, mereka juga melewati sebuah masjid besar. Lingkungan perbukitan ini sangat asri. Siapa yang mengira tempat yang indah ini adalah pemakaman. Taman-taman hijaunya sangat indah, ada danau buatan yang dipenuhi angsa.
Kirana masih tampak takjub melihat pemandangan di kawasan ini saat mobil Gama berhenti. Dia segera turun mengikuti Gama yang sudah memasang kacamata hitam.
Gama menaiki tangga lebar tanpa banyak bicara, lalu melewati sebuah jembatan di atas danau yang dipenuhi dengan bunga teratai. Di belakan, Kirana terus mengikutinya sembari memeluk buket bunga berukuran besar yang dia beli. Kemudian mereka kembali menaiki tangga landai dan melewati pohon rindang. Sepanjang mata memandang warna hijau segar memenuhi taman pemakaman ini.
Kirana juga melihat peziarah lain. Entah itu peziarah atau hanya orang-orang yang tertarik dengan tempat indah ini. Kirana kembali fokus mengikuti Gama yang saat ini memasuki sebuah bangunan berwarna putih beratap limas. Namun, saat Kirana hendak masuk, Gama melarangnya. Kirana hanya diperbolehkan berdiri di dekat pintu makam. Kirana menurut dan menyerahkan buket bunga itu kepada Gama.
Gama meletakkan buket bunga di atas makam yang terawat itu. Matanya yang tertutup kacamata hitam melihat pusara yang bertuliskan nama seorang wanita. Hanya dengan melihat pusara itu saja matanya yang biasa melotot kepada Kirana itu mengembun.
"Selamat ulang tahun. Maaf, aku baru datang dan baru mengucapkan sekarang," ucapnya pelan. Dia lantas menunduk dalam dan merapal doa dalam hati.
Gama menarik napas dalam sebelum kembali mengangkat wajah. Dan dia baru sadar ada buket bunga lain di sana. "Seseorang lebih dulu datang ke sini daripada aku," gumamnya, mengepalkan tangan. "Kamu pasti senang dia lebih dulu datang menemuimu."
Rahang Gama mengatup keras. Dia sangat tahu siapa yang datang lebih dulu daripada dia. Gama merasa payah, selalu saja terlambat. Dia selalu saja lebih mengutamakan perusahaan. Tidak heran jika kisah asmaranya selalu berakhir buruk.
Gama merasa tidak mood lagi berlama-lama di makam itu. Dia memutuskan berdiri dan beranjak. Ketika dia berbalik sebuah suara membuatnya berhenti.
"Terima kasih sudah datang."
Kadang Gama merasa beruntung memiliki kutukan ini. Dia bisa melihat wajah seseorang yang sudah tidak ada di dunia ini. Bahkan dia bisa mendengar suaranya. Meskipun dia tahu itu hanya jelmaan jin, tapi setidaknya bisa mengobati sejenak rasa rindunya.
Seperti suara merdu yang dia dengar sekarang. Sosok perempuan cantik dengan rambut lurus tergerai tampak berdiri di sudut makamnya sendiri. Perempuan bergaun putih itu tersenyum. Gama hanya membalas senyum itu sekilas lantas kembali melanjutkan langkah.
"Sudah, Pak?" tanya Kirana begitu Gama melewatinya.
"Hm." Gama hanya menggumam sembari terus mengayunkan langkah.
Kirana yang penasaran, akhirnya mendatangi makam tersebut. Dia memperhatikan batu pusara yang terukir indah itu.
"Raden Roro Cyntia Ayu," gumam Kirana membaca nama yang terukir di sana. "Halo, aku aspri Pak Gama. Kalau kamu siapanya Pak Gama? Pacarnya ya? Maaf ya, aku nggak tau kalau Pak Gama akan mengajakku ke makam, jadi aku nggak nyiapin apa-apa. Tapi, kebetulan aku dikasih bunga cantik dari pemilik toko bunga. Ini buat kamu saja. Siapa pun kamu, semoga kamu bahagia di sana," ucap Kirana seraya tersenyum.
Dia lalu meletakkan buket bunga di samping buket bunga milik Gama. Sejenak dia menunduk dan mengangkat tangan, mendoakan penghuni makam.
"Aku pergi dulu ya. Pak Gama itu galak, telat sedikit saja dia mengomel kayak emak-emak," ucap Kirana setelah selesai berdoa. Dia melambaikan tangan seraya tersenyum saat beranjak keluar.
Dia bergegas menyusul Gama. Seperti yang dia katakan di makam tadi, Gama akan mengomel kalau dia terlambat. Kirana tidak sadar, bahwa ada wanita cantik yang tersenyum padanya sejak tadi. Wanita yang sama yang juga tersenyum pada Gama beberapa menit lalu.
Ponsel Kirana berdering saat dia hendak melangkah menuju mobil. Dia segera menerima panggilan yang ternyata dari Gama.
"Ya, Pak?"
"Kamu lama sekali. Cepat temui saya di restoran dekat danau." Suara galak Gama mengudara.
"Iya, Pak."
Kirana dengan langkah gegas menuju tempat yang Gama maksud. Restoran, bahkan di tengah-tengah makam seperti ini ada restoran. Kirana berhasil menemukan restoran bergaya Eropa dengan dominan warna oren dan putih di dekat danau.
Dia mengayunkan kakinya, menaiki anak tangga menuju pintu restoran itu. Mata bulat itu mengedar saat dia berhasil masuk, dan tatapnya lantas berhenti pada sosok seseorang yang tengah duduk sendiri di salah satu meja. Gama, lelaki yang saat ini mengenakan setelan jas serba hitam itu tampak sedang menikmati secangkir kopi.
Ada yang bisa nebak siapa Raden Roro Cyntia?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Devil inside You
Roman d'amour"Kamu pikir, kamu itu siapa?! Berani sekali mengatur hidupku." Gama menatap tajam, penuh intimidasi kepada wanita yang kini terpojok dengan bibir bergetar. "Kamu itu cuma asisten! Aku ingatkan sekali lagi posisimu. Kamu itu cuma asisten!" bentak G...