36. Rumah Keluarga Raharja

5K 502 17
                                    

Gama menyentak tangan dan menarik sedikit lengan jasnya, menengok jam tangan. Sudah hampir pukul tujuh, tapi Kirana masih saja belum turun. Beberapa kali dia menengok dengan bosan ke atas, dan sudah tiga kali juga dia meneriakan nama Kirana.

Dia belum berangkat ke rumah ayahnya, tapi emosinya sudah ingin meledak saja gara-gara menunggu perempuan itu dandan.

"Nona Kirana sedang berusaha tampil cantik, Tuan. Kita tunggu sebentar lagi," ucap Sukma yang ikut menunggu juga.

"Mau pake dempul satu kilo pun nggak akan ada yang berubah dari wajahnya. Dia akan tetap menjadi gadis kampung."

Sukma hanya menghela napas, lalu pandangannya ia jatuhkan ke atas. Sudut bibirnya sontak melengkung begitu melihat sosok Kirana muncul dari atas tangga.

"Gadis kampung itu malam ini berubah jadi putri yang sangat cantik."

Gama berdecak tanpa peduli ocehan Sukma, dia membunuh bosan dengan terus mengutak-atik ponsel. "Sekali bebek tetap saja bebek," gerutunya, tanpa mengalihkan pandang dari layar ponsel.

"Tidak, Tuan. Kali ini dia berubah jadi angsa. Lihat ke atas."

Secara refleks pandangan Gama bergulir ke atas. Tepatnya di sepanjang garis tangga penghubung antara lantai satu dan dua. Di sana dia menemukan Kirana mengenakan gaun off shoulder berbahan brukat, memamerkan bentuk bahu indahnya. Bahkan tanda lahir di belakang pundaknya juga tampak. Gaun berwarna golden brown itu mengikat erat pada pinggangnya, dan menjuntai indah sepanjang betis.

Tangannya menggenggam sebuah tas tangan, sisi lainnya menjinjing paper bag. Tungkainya yang panjang tampak indah dengan alas kaki berhak tinggi.

Rambut lurus Kirana bahkan berubah agak ikal dengan poni menjuntai ke samping. Pulasan make up pada wajahnya membuat wanita itu tampak makin indah dipandang. Gama sendiri sampai melongo, dia akan terus seperti itu jika Sukma tidak segera menyentaknya.

"Jadi, karena ini saya harus menunggu kamu berjam-jam?" Gama berdiri, menenggelamkan sebelah tangan ke saku celana.

Dahi Kirana mengernyit.

"Kamu mau pamer di sana dengan penampilanmu sekarang, heh? Buat apa kamu berpenampilan seperti ini?!"

Kirana nyaris memutar bola mata. Bukannya dapat pujian malah dapat makian.

"Jadi, menurut Bapak saya harus berpenampilan seperti apa? Sama seperti mau kerja? Atau seperti saat mau pergi tidur?" Kirana melengos dan berdecak. "Nggak masuk akal, apa dia nggak lihat penampilan dirinya sekarang? Menyebalkan," gerutunya dengan suara pelan.

Gama tampak kehilangan kata-kata. Sebenarnya dia menyukai penampilan wanita itu, hanya saja entah kenapa mulutnya malah berkata yang tidak-tidak. Sukma di sebelahnya sampai terkikik.

"Daripada Anda membuang waktu berdebat, lebih baik berangkat sekarang, Tuan. Anda tidak mau kan kalau sampai Nona Kirana benar-benar memakai piyama tidur?" tanya Sukma lantas terkikik lagi.

"Sial," umpat Gama sebal. "Kita pergi sekarang," ujarnya lantas berjalan lebih dulu ke depan.

Kirana mencebikkan bibir, dan merutuki pria berbahu lebar itu. Dia lantas segera berjalan menyusul di belakang Gama.

"Bapak menyetir sendiri lagi?" tanya Kirana ketika melihat Gama menghampiri mobil mininya yang terparkir di depan halaman.

"Hm," gumam Gama seraya membuka pintu mobil untuk Kirana. "Masuk cepat."

Kirana menurut dan bergerak masuk. Jika dalam situasi seperti ini, dia merasa dirinya ini seorang putri. Meskipun bekerja dengan Gama adalah hal yang menyebalkan, tapi dia tidak memungkiri banyak hal baru yang dia temui.

"Kamu bawa apa di tas itu?" tanya Gama melirik sekilas paper bag yang yang ada di pangkuan Kirana.

Siang tadi, Kirana membaca profil pemilik Raharja Grup. Di sana disebutkan jika ayahnya Gama itu menyukai kue wijen kering less sugar. Jadi, Kirana sempat menelepon sebuah bakery dan memesan kue tersebut yang akan dia jadikan buah tangan.

"Ini kue wijen kesukaan ayah Bapak," sahut Kirana menepuk pelan paper bag tersebut.

"Oh." Bahkan Gama tidak memikirkan hadiah untuk ayahnya, tapi gadis di sampingnya ini malah membawa sesuatu.

"Itu kue kesukaan ayah Bapak, kan?" tanya Kirana sedikit mencondongkan kepala ke depan.

"Dulu dia suka. Nggak tau kalau sekarang." Gama menyahut malas, dengan pandangan lurus ke depan jalanan.

"Nggak mungkin kan kesukaan seseorang dengan cepat berubah?" tanya Kirana lagi namun ini ditujukan ke diri sendiri. Dia lantas menoleh kepada Gama lagi. "Bapak nggak penasaran saya tahu makanan kesukaan Pak Sultan dari mana?"

Akan seru kalau Gama tidak bisa menebak jawabannya.

"Wikipedia mungkin."

Wanita yang tampil begitu menawan malam ini mengerutkan bibir lantaran Gama bisa menjawab pertanyaannya dengan benar.

"Jadi, Bapak beneran nggak membawa kado? Saya juga baca kalau beliau mengoleksi sepatu sport. Kenapa Bapak nggak mencoba memberinya sepatu olahraga dengan merek yang sama pernah Bapak beri ke saya?" Kirana menganggap idenya itu berlian. Dia yakin hubungan ayah dan anak itu akan membaik jika saling memberi hadiah ulang tahun.

"Dia sudah tua, sepatu sport yang dia koleksi tidak pernah dipakai lagi. Lari sebentar saja napasnya sudah putus-putus, memberinya sepatu sama saja menghinanya."

Wajah Kirana terlihat kecewa. Sarannya memang tidak masuk akal, tapi memberi sesuatu yang seseorang sukai lebih terkesan meskipun si penerima tidak bisa menggunakannya lagi. Apa lagi Gama anaknya, harusnya lelaki itu bisa memberi perhatian lebih.

"Sebentar lagi kita sampai. Di sana nanti kamu tidak boleh berbuat yang aneh-aneh, paham?" Gama membelokkan kemudi ke sebuah kawasan residen.

"Paham, Pak."

"Tinggalkan jiwa kampunganmu, jangan tampakkan di sini."

Wanita bermata bulat itu melirik Gama kesal. Namun, yang dilirik tampak tak peduli dan lebih memilih meminta security untuk membuka gerbangnya.

Security segera membukakan gerbang secara otomatis dan membiarkan Gama memasuki kawasan itu. Kirana pikir setelah memasuki gerbang utama matanya akan dimanjakan dengan deretan rumah bergaya modern yang saling berjejer. Namun ternyata yang dia temui sepanjang jalan hanya taman-taman yang penuh lampu jalan.

"Ini bukan perumahan, Pak?"

"Perumahan, tapi perumahan khusus keluarga Raharja."

Orang kaya memang beda. Untuk satu rumah saja membutuhkan seluruh tanah perumahan. Di depan, Kirana melihat mobil-mobil keren berderet sepanjang jalan. Dia bisa menduga kalau mobil-mobil itu milik tamu ayahnya Gama. Dia juga melihat sebuah rumah yang mirip istana tampak menjulang dari kejauhan.

"Pak, apa itu rumahnya?" tanya Kirana dengan mata melebar.

"Hm."

"Woah, saya pikir rumah Bapak adalah rumah yang paling keren. Ternyata ada yang lebih keren lagi," puji Kirana sembari terus memperhatikan rumah bak istana itu. "Bangunannya bercahaya."

"Biasa saja. Di kota banyak rumah lebih bagus daripada tempat membosankan itu."

"Tapi bagi saya yang baru pertama lihat, ini luar biasa, Pak."

"Di dalam nanti sembunyikan wajah bodohmu itu."

Serta merta wajah takjub yang Kirana tunjukan berubah ke mode biasa. Bosnya benar-benar pandai mematahkan segalanya.

Tidak seperti mobil-mobil lain yang di parkir di sepanjang jalan, Gama melajukan mobilnya terus melewati sebuah taman air mancur, memasuki rumah besar keluarga Raharja.

Melihat betapa megahnya rumah itu, Kirana hanya bisa menahan napas.
"Ba-bapak pernah tinggal di rumah ini, kan?"

"Masa kecil saya dihabiskan di rumah ini," sahut Gama bertepatan dengan tangannya yang menggerakkan kemudi menuju teras rumah yang luas.

The Devil inside YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang