Hingga jam makan siang menjelang, Gama belum kembali ke kantor lagi. Bahkan pria itu tidak menghubungi atau memberi kabar apa pun kepada Kirana. Padahal ada jadwal meeting yang harus lelaki itu hadiri.
"Mungkin Pak Gama langsung ke tempat meeting. Dia nggak menginformasikan apa-apa sama aku, sih," ujar Lita saat Kirana menanyakan tentang lelaki itu. "Kan yang biasanya tau segalanya kamu, Ran." Wanita itu menyenggol lengan Kirana, berniat menggoda.
Kirana itu meringis. "Nggak juga kok, Mbak. Kadang ada hal yang aku nggak tau tentang dia."
Lita tampak mendekat. "Selama hidup sama dia, apa aja yang udah kalian lakuin? Kamu pernah enggak liat badan Pak Gama?" Di akhir kalimat, Lita memelankan suaranya.
"Apaan sih, Mbak." Kirana merasa tidak nyaman tentang pembahasan ini.
"Aku penasaran sama sesuatu di balik kemejanya itu, Ran. Ya ampun, dada sebidang itu dan bahu selebar itu gimana ya rasanya?"
Lita memejamkan mata membayangkan pelukan hangat bosnya.
"Mbak, jangan ngayal deh." Dengan pelan Kirana memukul paha Lita, membuat mata Lita serta-merta terbuka lagi.
"Ish, kamu ini. Merusak khayalanku aja. Jadi, gimana?"
Dahi Kirana mengernyit. "Apanya yang gimana?"
"Kamu. Kamu udah pernah liat bahu sama dadanya itu nggak? Berbulu nggak?"
Kirana menggeleng merasa tak perlu menjawab pertanyaan konyol itu. Jangankan melihat, menciumnya saja sering. Tapi tentu saja hal itu tidak akan Kirana ungkapkan.
"Mbak Lita omongannya ngaco. Yuk ah, makan siang. Memangnya nggak lapar?"
"Keajaiban dunia sekali kamu makan siang bareng kita."
Maria lantas muncul sesaat kemudian. Dia mengambil dompet dan bersiap untuk turun.
"Pak Gama belum balik?" tanya Maria saat mereka sudah bergerak menuju lift.
"Tadi pas meeting pagi dia sempat balik," sahut Kirana. "Tapi pergi lagi," lanjutnya lirih, mengingat kemarahan Gama padanya sebelum pergi.
"Dia balik sendiri atau sama Bu Silvana?" tanya Maria lagi.
"Aku lihat sama Silvana." Lita menimpali.
Lift lantas terbuka, mereka bertiga lalu masuk ke kotak besi itu.
"Mereka masih berhubungan, ya? Aku pikir udah enggak," ujar Maria, membuat Kirana tanpa sadar menajamkan telinga.
"Masihlah, meski sempat renggang ujung-ujungnya juga mereka balik akur lagi. Pak Gama kan nggak bisa jauh-jauh dari Bu Silvana, meskipun Bu Silvana milik Pak Raja," ujar Lita yang sepertinya tahu banyak hal tentang hubungan mereka.
"Mbak Silvana menang banyak. Disukai sama dua kakak-adik yang tampannya nggak kaleng-kaleng." Maria lantas terkikik.
"Kamu kan tadi ada di dalam, Ran." Lita menoleh pada Kirana yang dari tadi hanya menyimak. "Tau nggak mereka di dalam membahas apa?"
Kirana geragapan namun dengan cepat dia menggeleng. "Aku nggak nyimak. Oh ya, Mbak. Hari ini aku bantuin kamu ngerjain laporan, ya. Barangkali Pak Gama nggak balik sampai sore nanti aku nggak ada kerjaan."
Kirana berusaha mengalihkan pembicaraan. Hatinya mulai panas mendengar tentang suaminya dan wanita yang pria itu cintai.
"Boleh."
"Gimana Pak Gama bisa move on ya kalau Bu Silvana maunya lengket terus begitu? Kalau seandainya hubungannya sama Pak Raja kandas, aku yakin sih mereka bakal jadian." Maria tampak belum mau berhenti membahas tentang mereka.
Kirana memejamkan mata sesaat. Kepalanya mendadak oleng. Pemikiran mereka tidak jauh berbeda dengan apa yang Kirana rasa. Apa yang akan terjadi seandainya perjodohan itu gagal?
Tentu saja Gama tidak akan menyiakan kesempatan itu. Lalu Kirana akan dicampakkan begitu saja. Menyedihkan sekali.
Kirana melangkah mundur saat sebuah notif pesan masuk. Dia langsung membuka pesan itu saat tahu yang mengirim pesan itu Gama.
Gama : [Aku nggak balik ke kantor.]
Kirana menghela napas berat membaca pesan singkat itu. Dia menatap dua temannya yang masih saja bergosip.
***
Gama benar-benar tidak muncul di kantor lagi hingga Kirana pergi kuliah. Lelaki itu marah padanya. Wanita itu mencoba menghubungi namun tidak ada respons.
Kembali Kirana menarik napas panjang dan mengembuskannya. Hatinya merasa tak tenang sekarang. Belajar pun rasanya susah fokus. Kirana lebih sering melihat ponsel daripada penjelasan dosen.
Sampai jam pulang kuliah, Gama masih belum juga menghubunginya."Kirana, sugar daddy kamu nggak jemput?"
Kirana menoleh mendapati suara itu. Rena, wanita yang mengaku teman dekat Nugo itu menghampiri. Tidak ada Nugo di sebelahnya. Kirana baru sadar waktu istirahat tadi Nugo juga tidak menyambanginya di depan kelas.
"Maksudnya apa, ya?" tanya Kirana dengan mata menyipit.
"Yang jemput kamu kemarin sugar daddy kamu kan?"
Dari awal berkenalan Kirana sudah merasa tidak cocok dengan perempuan ini. Dan sekarang bisa lihat sendiri kelakuannya. Sugar daddy dia bilang?
"Sori, dia bukan sugar daddy. Dia atasanku," sahut Kirana mencoba tidak terpengaruh.
"Iya, atasan kamu alias bos kamu itu pasti udah daddy-daddy kan? Dan kamu itu... Pasti peliharaannya."
Tangan Kirana sontak mengepal. "Jangan bicara sembarangan, ya. Kalau tidak tau apa-apa lebih baik diam."
Alih-alih merasa bersalah, Rena malah tambah menantang. "Aku nggak bicara sembarangan. Mana ada sih bos yang mau jemput bawahannya dengan mobil sekeren itu? Pasti deh itu bos kamu Om-Om yang lagi bosan sama istrinya."
Hati Kirana sedang tidak baik. Jika dia terus berdiri di sini dan meladeni omong kosong Rena, dia tak yakin bisa mengontrol diri.
Tanpa mengucapkan apa pun, Kirana bergegas pergi meninggalkan perempuan yang mulutnya tampak masih gatal itu.
Nyaris pukul sebelas malam Kirana baru sampai rumah. Dia bergegas menaiki anak tangga menuju lantai dua tempat kamarnya berada. Dengan napas yang sedikit tersengal dia membuka pintu kamar.
Tatapnya langsung menyasar ke tempat tidur berada. Dia menemukan Gama, suaminya di sana. Tidur dengan napas teratur seolah tidak ada beban.
Pelan Kirana menyeret kaki kecilnya mendekat. Dia terus menatap lekat suaminya seraya duduk di tepian tempat tidur.
Gama tertidur dengan posisi terlentang. Selimut menutupi tubuhnya sebatas dada. Ada gurat lelah di sana yang bisa Kirana lihat.
Kirana bersyukur Gama baik-baik saja. Puas memandangi wajah Gama yang terlelap, wanita itu beranjak ke kamar mandi setelah sebelumnya menyimpan tas di meja belajar.
Ada sebuah sudut di kamar ini yang sengaja Gama buat sebagai tempat belajar Kirana. Lelaki itu sampai sebegitu detailnya memperhatikan kebutuhan istrinya. Kirana sempat menyesal sudah membuat lelaki itu marah.
Kirana kembali dari kamar mandi dan sudah berganti dengan piyama tidur. Tanpa pikir panjang, dia ikut bergabung satu selimut bersama Gama. Tatapnya kembali melirik suaminya yang masih bergeming. Tidak ada tanda-tanda tidurnya terganggu. Lelap sudah membuatnya tak ingat apa-apa lagi.
Kirana bergerak mengubah posisi menyamping menghadap ke arah Gama. Dia pandangi lekuk sempurna wajah suaminya itu dari samping. Tampan.
Gama memiliki tulang hidung yang tinggi. Rahangnya membentuk sudut yang begitu jelas. Ada bulu-bulu tipis di sana yang belum sempat pria itu bersihkan, tapi bagi Kirana itu malah terlihat lebih seksi.
Seperti kata Lita, Gama memiliki bahu lebar dan dada bidang, yang kalau Kirana jatuh ke pelukannya terasa begitu nyaman. Oh, bersyukurnya Kirana memiliki makhluk sesempurna itu. Meskipun sikap lelaki itu kerap membuatnya sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Devil inside You
Romance"Kamu pikir, kamu itu siapa?! Berani sekali mengatur hidupku." Gama menatap tajam, penuh intimidasi kepada wanita yang kini terpojok dengan bibir bergetar. "Kamu itu cuma asisten! Aku ingatkan sekali lagi posisimu. Kamu itu cuma asisten!" bentak G...