50. Pak Raden

4.4K 501 30
                                    

Kirana terkikik. "Ini memang mobil orang lain, bosnya mbak yang nyewa."

Pandangan Bayu sontak melirik penghuni di balik kemudi. Dia lantas berbisik kepada Kirana. "Itu bosnya Mbak Kiran?"

Kirana menaikkan alis dan mengangguk. "Kasih salam dulu."

Bayu kembali melirik Gama dengan muka canggung. Dia agak seram melihat wajah Gama. Meskipun tampan, tapi ada sesuatu yang membuat kuduknya sontak merinding. Dia kembali menoleh kepada Kirana yang dengan sengaja menyenggol lengannya.

"Kenapa malah melongo? Sana kenalan," bisik Kirana.

Di balik kemudi, Gama menyipitkan mata melihat tingkah aneh adik laki-laki Kirana itu. Remaja tanggung itu tampak ragu dan sungkan. Namun, tak lama akhirnya dia menyapa Gama.

"Selamat siang, Mas. Kenalin saya Bayu, adiknya Mbak Kiran." Remaja itu menyodorkan tangan melalui kaca jendela mobil yang terbuka.

Tangan Gama terulur menjabatnya. Bibirnya mengulas senyum tipis dan mengangguk. "Gama."

Dingin. Gama bisa merasakan telapak tangan Bayu berkeringat dan dingin. "Kamu baik-baik saja?" tanya Gama begitu melepas jabatan tangannya dengan anak itu.

"Saya baik, Mas."

"Oke, kita harus menjemput mbak kamu satunya lagi. Sekarang lebih baik kamu masuk." Kirana segera menyuruh adiknya untuk duduk di kursi penumpang.

Namun, ketika Bayu hendak masuk mobil, dia terkejut bukan main melihat sosok lelaki berbaju adat jawa tengah duduk lebih dulu di sana.

"Astaga, Mbak! Aku kira di belakang nggak ada orang," seru Bayu, mengelus dada. "Permisi ya, Mas. Saya Bayu adiknya Mbak Kiran."

"Heh! Di belakang memang nggak ada siapa-siapa. Jangan aneh-aneh, deh," tegur Kirana yang sudah duduk lebih dulu ke tempatnya.

"Tapi Mbak, di sebelahku ada Pak Raden lho." Bayu mengerjap-ngerjapkan mata dan melirik ke sisinya kembali. Sosok itu masih ada di sana. Bahkan sekarang tersenyum padanya.

"Pak Raden gundulmu kuwi."

Gama yang langsung paham melirik ke kaca spion depan dan melihat sosok Sukma yang sedang bersandar melempar senyum. Jangan bilang Bayu bisa melihat jin itu. Astaga.

Sepanjang jalan menuju sekolah Rosma, Bayu terus memepet pintu mobil, berusaha menjaga jarak sejauh mungkin dengan Sukma. Meski itu terkesan sia-sia karena jaraknya mentok hanya terpaut dua jengkal saja. Bulu kuduknya makin merinding lantaran dia sadar hanya dirinya-lah yang bisa melihat sosok tersebut. Dia tidak tahu bahwa Gama juga bisa melihat Sukma dengan jelas.

Sesampainya di depan sekolah Rosma, Bayu segera beranjak turun. Dia tidak tahan dengan bau melati yang menyengat dari tubuh makhluk itu.

"Apa Bayu memiliki indera ke-enam?" tanya Gama kepada Kirana saat adik wanita itu turun dari mobil.

Pertanyaan itu membuat kening wanita itu mengerut. "Maksudnya?"

"Apa Bayu bisa melihat makhluk ghaib, hantu, atau sejenisnya?"

Bibir Kirana melipat ke dalam. Dia mengingat kejadian yang pernah membuat adiknya itu histeris tiba-tiba. Hanya saja, dia menganggap apa yang Bayu katakan cuma halusinasi. Bayu kecil dulu gemar bermain dan mengobrol sendiri. Sampai sekarang pun begitu, meski tidak sesering dulu.

"Saya kurang yakin. Kadang dia seperti memiliki gangguan psikologis. Cuma dia lebih bisa mengendalikan diri seiring bertambah usianya."

Gama menghela napas panjang. Selain dirinya sepertinya ada yang memiliki nasib sama. Bedanya mungkin kemampuan bisa melihat makhluk halus itu Gama dapatkan—konon kata almarhum kakeknya—dari kutukan. Sementara Bayu bisa jadi dari lahir sudah memiliki kemampuan itu.

"Dia bisa melihat saya, Tuan. Tapi saat saya ajak komunikasi dia melengos. Apa saya kurang ganteng, ya?"

Mendengar suara Sukma yang mengada-ngada membuat Gama memutar bola mata. "Cukur kumismu dulu, kumismu itu bikin takut manusia," sahut Gama menyeletuk tanpa sadar. Sehingga Kirana di sebelahnya kontan menoleh.

"Maksud Bapak apa?" tanya Kirana kaget. Dia meraba atas bibirnya. "Saya nggak punya kumis, Pak."

Gama meringis, lalu terkekeh pelan. "Saya nggak bicara sama kamu, Kirana."

"Lalu? Di dalam mobil sekarang cuma kita berdua loh, Pak."

Lelaki itu tidak menghiraukan ucapan Kirana, dia memilih beranjak turun dari mobil dan menyusul Bayu.

"Jangan melamun."

"Astaganaga!" seru Bayu terkejut. Dia segera berbalik dan menemukan bos kakaknya yang tampan sudah ada di sebelahnya, tengah terkekeh.

"Sori, saya ngagetin kamu."

Bayu mengusap dada berulang. Dia tadi sedang fokus menatap pintu gerbang sekolah kakaknya yang masih tertutup. Hingga tidak sadar ada seseorang yang mendekatinya.

"Kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Gama agak khawatir lantaran melihat keringat keluar dari dahi Bayu.

"Saya nggak apa-apa kok, Mas," ucap anak itu terlihat gusar.

"Wajah kamu pucat. Mau saya antar ke dokter?" Lagi Gama menawarkan bantuan.

"Nggak perlu, Mas. Saya beneran nggak apa-apa." Lengannya terangkat mengusap dahi.

"Kamu melihat Sukma di dalam mobil tadi? Ini yang bikin nggak nyaman?"

Bayu tertegun dan menoleh. "Sukma?"

"Iya. Yang kamu tadi sebut Pak Raden."

Mata Bayu sontak membulat. "Mas Gama juga bisa melihat dia?" tanya Bayu tak percaya. Dia pikir hanya dirinya saja yang bisa melihat makhluk itu.

Gama mengangguk pelan. "Dia teman saya. Kamu nggak perlu takut. Dia ... baik."

Kali ini Bayu menggaruk kepalanya yang tak gatal. Merasa tidak paham maksud lelaki dewasa di dekatnya itu. Teman?

"Dia sudah ada bersama saya sejak saya dilahirkan," terang Gama lagi. "Nggak ada yang tahu soal ini termasuk kakak kamu. Tapi berhubung kamu bisa melihatnya, jadi saya beritahu kamu."

Remaja tanggung itu sedikit menganga. Dari keterangan itu dia bisa menarik kesimpulan bahwa lelaki di dekatnya ini memiliki penjaga atau khodam. Bayu menelan ludah, kakinya refleks bergerak menjauhi Gama satu langkah.

Apa kakaknya baik-baik saja bekerja dengan lelaki itu?

"Ada apa? Kamu takut sama saya?" tanya Gama melihat tingkah remaja itu, yang tampak tegang.

Bayu menggeleng. "Mbak Kiran, apa dia baik-baik saja?" Hanya itu yang dia cemaskan.

"Dia baik. Kalau enggak, mungkin sudah lama resign."

Melihat keadaan kakaknya sekarang, memang tidak ada sesuatu yang mengkhawatirkan. Semoga saja makhluk itu tidak mengganggu kakaknya.

***

"Ya Allah! Bos Mbak cakep banget!" seru Rosma histeris saat Kirana mengenalkan Gama padanya. Sampai-sampai anak 17 tahun itu menutup mulutnya sendiri karena tak mau jeritannya keluar.

"Bener-bener meh podho koyo CEO-CEO ndek drakor lho, Mbak. Kok kowe gak pernah cerito nek nduwe bos ngganteng ngene tho, Mbak." Rosma dengan manja menggoyang-goyang lengan kakaknya itu.

"Ndak usah lebay, deh, Mbak. Ojo ngisin-ngisini," sambar Bayu yang memang sudah paham betul tabiat kakak perempuan keduanya itu.

"Ish, kamu ini Bayu. Mingkem ngopo," ujar Rosma jutek, lalu kembali tersenyum lebar saat menatap Gama. "Saya panggilnya apa, ya? Mas atau oppa?"

"Opa-opa, mbah wae sekalian." Kembali Bayu menyeletuk.

"Bayu, mingkem kowe!"

Gama hanya bisa nyengir melihat tingkah dua bocah di depannya. Adik perempuan Kirana yang satu ini sedikit berbeda. Dia ceplas-ceplos. Gama hampir saja kena cubit lantaran Rosma tampak begitu gemas melihatnya. Tingkahnya centil, sangat kontras dengan Kirana yang sedikit pendiam.

__________

Yang baru gabung silahkan follow authornya dulu ya, Gaes. 😉

The Devil inside YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang