19. Lari Sore

5.8K 554 22
                                    

Kirana menggerakkan kedua tangan ke samping kanan, lalu menahannya dalam hitungan delapan ketukan. Kemudian berganti ke arah kiri sebelum kakinya berlari-lari kecil. Dia sudah mengenakan pakaian olahraga lengkap. Celana trening panjang dan hodie. Hanya satu yang kurang, sepatu. Kirana mengerang sebal. Gama pasti akan membiarkannya lari tanpa alas kaki keliling kompleks. Itukan memalukan. Lebih baik Kirana ngegym saja kalau begini.

Kirana baru akan memutar langkah, tapi di belakangnya sudah berdiri Gama yang sepertinya sudah bersiap untuk lari sore.

"Mau ke mana kamu?" tanya Gama dengan suara tegas.

"Pak, gimana kalau kita olahraga di ruang gym aja?" tanya Kirana, dengan kaki saling menginjak satu sama lain.

"Sekali-kali olahraga di luar juga perlu."

Kirana nyengir seraya menggaruk kepala yang tak gatal.

"Kenapa kamu cengar-cengir? Cacingan?"

Ya Tuhan, ya kali nyengir dia sangka cacingan. Kirana mencebikkan bibir.

"Sudah, buruan. Nanti kesorean." Gama mulai melakukan pemanasan dengan lari-lari kecil.

"Tapi, Pak. Saya nggak punya sepatu olahraga."

Gama sontak berhenti bergerak, pandangannya lalu dia gulirkan ke bawah kaki Kirana. Sejenak dia membuang napas.

"Temuin si Mbok. Pinjam sepatu sama dia," perintah Gama. Namun, Kirana yang mendengar malah melongo.

"Serius, Pak?"

"Iya, si mbok punya beberapa. Kamu jangan remehin si mbok, tua-tua begitu dia rajin olahraga, nggak kayak kamu."

Kirana kembali nyengir. Diam-diam dia takjub juga sama si Mbok. Sulit dipercaya jika wanita tua itu masih rajin olahraga.

"Udah buruan temui si Mbok!" sentak Gama yang melihat Kirana masih saja bengong di tempat.

"I-iya, Pak." Cepat-cepat Kirana melesat masuk ke rumah. Tujuannya jelas mencari si Mbok. Biasanya wanita itu jam segini ada di ruang laundry sedang menyetrika baju-baju tuannya.

"Mbok!"

Sudah Kirana duga si Mbok sedang menyetrika. Wanita tua itu menyahut.

"Mbok, memang si Mbok beneran punya sepatu olahraga?" tanya Kirana, pertama dia harus memastikan dulu. Bukannya dia tidak percaya ucapan si bos.

"Iya ada, kenapa, Nduk?"

Mata Kirana mengerjap. Ternyata gaul juga si Mbok. "Boleh saya pinjam enggak, Mbok?"

"Boleh, dong. Kamu pilih aja di rak sepatu yang ada di depan kamar si Mbok ya. Cari yang sesuai sama ukuran sepatu kamu."

Kirana meloncat girang, dan mengucapkan terima kasih sebelum meluncur ke kamar si Mbok. Bukan hanya sepatu olahraga saja yang si Mbok punya ternyata, ada beberapa widges juga.

"Si Mbok bener-bener gaul, aku aja lewat," decak Kirana hampir tak percaya. Dia menggaet sepasang sneaker berwarna putih yang sesuai dengan ukuran kakinya. Lalu dia bergegas menyusul Gama ke depan.

"Kirana!!!"

Suara Gama menggelegar sampai terdengar ke dalam rumah, Kirana mempercepat langkah. "Iya, Pak!"

"Kamu itu benar-benar perlu di-charging ya! Cepet!" Gama yang sudah lari di tempat pun segera mulai kegiatan larinya. Dia melewati potongan paving blok yang tertata apik di halaman taman depan rumah. Lalu bergerak keluar gerbang rumahnya.

Kirana di belakang menyusul setengah berlari. Rambutnya yang dia kuncir satu terayun seiring langkahnya yang terus maju. Dia berhasil mengejar Gama yang memang berlari pelan.

Ternyata yang melakukan joging sore tidak hanya mereka. Apa lagi ketika mereka sampai di taman kompleks. Suasana ramai. Bahkan ada penjual es krim di sana dan beberapa camilan.

Kirana baru tahu jika suasana sore di kawasan rumah ini ramai. Biasanya dia tenggelam dalam pekerjaan sampai malam, pulang-pulang pun masih harus mengurus keperluan bosnya. Mana sempat dia keluar hanya sekedar mengelilingi komplek?

Rumah Gama sebenarnya bukan bagian dari komplek perumahan ini. Rumah dengan luas bangunan kurang lebih 400 meter persegi itu berlokasi tepat di belakang perumahan. Menjadi satu-satunya rumah yang paling mewah di antara rumah-rumah sekitarnya. Dan yang baru Kirana tahu ternyata komplek di depan rumahnya itu memang milik pria itu. Dia sengaja membangun properti di sekitaran rumah agar tidak merasa tinggal sendirian setelah memisahkan diri dari keluarga.

"Saya tidak tahu kalau tempatnya seramai ini. Tidak seperti di rumah Bapak, sepi kayak kuburan," ujar Kirana sambil terus berlari kecil di sebelah Gama.

"Tapi kamu betah juga tinggal di rumah yang kamu anggap kuburan itu," ejek Gama, dengan pandangan yang masih lurus ke depan. Tidak seperti Kirana yang pecicilan melihat suasana taman komplek yang dipenuhi anak-anak dan remaja.

"Ya, mau gimana lagi, saya kan kerja. Kalau ditanya tempat mana yang paling bikin saya betah, jelas saya akan jawab rumah saya di kampung, Pak."

"Nggak ada yang nanya. Udah buruan lari. Jangan kalah sama anak-anak itu." Gama menambah kecepatan lari. Meninggalkan Kirana yang masih saja sibuk menonton orang.

"Pak, tungguin saya!" Kirana cepat-cepat mengejar Gama, meskipun sedikit susah payah.

Kirana melihat beberapa wanita yang juga tengah lari sore menyapa Gama. Dan bosnya itu hanya membalas seadanya sambil terus berlari. Kirana sendiri makin ketinggalan jauh di belakang. Napasnya bisa-bisa putus kalau harus menyeimbangi lari Gama yang memiliki kaki panjang.

"Kak Gama, tunggu!"

Mata Kirana refleks menoleh, dan pandangannya bergulir mengikuti langkah cepat seorang gadis yang berlari melewatinya dan menyusul Gama di depan. Dahi Kirana spontan berkerut melihat gadis itu.

"Siapa gadis belia itu?" gumamnya terus memperhatikan interaksi mereka dengan mata menyipit.

Kirana bisa mengira umur gadis itu sekitar 15 tahun. Jenis gadis yang baru mekar. Gadis tanggung yang belum bisa dibilang dewasa, tapi juga tidak bisa dibilang anak-anak. Keduanya tampak akrab. Tapi seakrab-akrabnya Gama, ekspresinya tetap saja sama. Lempeng. Masih mending cuma lempeng, kalau sudah mode macan ngamuk, semua sumpah sarapah di dunia ini ingin rasanya Kirana lempar ke mukanya.

Kirana bisa mendengar sayup-sayup suara obrolan mereka, karena Gama memelankan speed larinya.

"Ke mana aja sih, Kak? Nggak pernah kelihatan. Rumahnya juga sepi banget," tanya gadis itu yang masih belum Kirana tahu namanya.

"Sibuk kerja."

Irit, padat, dan teramat jelas. Kirana mencibir dalam hati.

"Kapan main ke rumah lagi? Ibu nanyain Kaka terus loh."

"Ibu kamu sakit?"

Ditanya apa jawabnya apa. Tapi itu membuat Kirana penasaran. Sepertinya mereka akrab, dan terdengar seperti Gama sering main ke rumah gadis itu.

"Enggak sih, Kak. Cuma nanya aja. Kangen kali sama kakak," ujar gadis itu lantas tertawa manja, membuat Kirana lagi-lagi mengernyit.

Kirana masih terus mengekori mereka sambil terus berlari cepat menyeimbangi langkah kaki Gama. Dia harus sangat berusaha, padahal Gama berlari pelan.

"Tau enggak, Kak, Minggu kemarin Kak Cyntia datang ke rumah lho."

Ucapan gadis itu membuat Gama berhenti berlari secara mendadak. Kirana yang berada di belakang pria itu tidak menyangka langkah Gama akan berhenti secara tiba-tiba. Sehingga dia terus saja berlari, dan tanpa bisa dicegah Kirana menabrak kencang punggung Gama di depannya. Tubuh wanita itu auto terjungkal ke belakang dan bokongnya sukses menghantam aspal.



The Devil inside YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang