26. Tanda Lahir

6.6K 643 12
                                    

Kirana meringis ketika dia berusaha menggerakkan bahu kanannya. Dia mencoba mengingat kembali bagaimana posisinya saat terjatuh di depan lift. Kejadian itu begitu cepat, dan tahu-tahu ada nyeri yang dia rasakan saat berusaha bangkit. Pelan Kirana membuka kancing blouse yang dia pakai, ingin tahu apa yang membuatnya senyeri itu saat bergerak.

Dia menarik turunkan blouse hingga batas lengan. Lalu langkahnya mendekati sebuah cermin besar yang ada di sisi kamar depan ranjang. Dia memutar badan, memunggungi cermin untuk melihat luka apa yang dia dapat di sana. Ternyata ada memar kebiruan berada tepat di atas tanda lahir yang dia punya. Memar itu tampak aneh karena bentuknya menyerupai cap jari-jari. Bukan hanya ada di bahu bagian kanan, memar kebiruan itu juga ada di dada kanan yang paling dekat dengan leher.

Saat Kirana menyentuhnya menimbulkan rasa sakit yang sedikit menyiksa. Kirana masih memperhatikan memar itu ketika tiba-tiba saja pintu kamarnya terbuka.

Kirana terkejut bukan main dan sontak membenarkan letak blouse. Di ambang pintu sosok Gama menjulang, menatap Kirana dengan pandangan sedikit menyipit.

"P-Pak Gama, Ba-Bapak... mau apa?" Kirana tergagap, dua tangannya erat memegang depan blouse- yang setengah terbuka agar tetap tertutup rapat.

Gama tidak menjawab, dia bergerak maju mendekati Kirana seiring dengan langkah wanita itu yang kian mundur.

"Buka bajumu," ucapnya dengan suara yang terdengar dalam.

Hal itu membuat mata legam Kirana sontak membulat. Apa-apaan!

"Maksud Bapak apa? Bapak sudah masuk ke kamar saya tanpa permisi, dan sekarang minta saya buka baju. Saya memang asisten Bapak, tapi saya juga tidak bisa Bapak perlakukan seenaknya begini," omel Kirana, yang merasa harga dirinya dilecehkan. Entah kekuatan dari mana, yang jelas dia lumayan kesal dengan ulah tuannya.

Masih menunjukkan eskpresi datar, Gama sedikit menggeram. "Luka di bahumu, saya ingin melihatnya."

Kirana sedikit terperangah, bagaimana sang bos bisa tahu? Namun, Kirana tidak mau menurut begitu saja kali ini. Dia menggeleng kuat. "Saya tidak apa-apa, Bapak silakan keluar saja."

Alih-alih pergi, Gama malah maju mendekat. Dia tidak peduli dengan reaksi Kirana yang akan kembali marah. Gama tidak suka dibantah, apalagi dilawan seperti tadi.

"Bap—" suara Kirana terpotong, ketika dua tangan besar Gama mencengkeram lengannya, lantas dengan gerakan cepat membalik tubuh mungil wanita itu, tepat menghadap cermin. Kirana tidak dibiarkan memberontak, bahkan bergerak. Cengkeraman tangan Gama terlalu kuat.

Gama sempat melirik wajah Kirana pada pantulan cermin. Wanita itu meringis, kesakitan. "Diam, kalau nggak mau tambah sakit," ujarnya, sarat akan ancaman.

Ketika Gama hendak menarik lengan blouse wanita itu, Kirana menahannya kuat-kuat di depan dada. Pria itu kembali menggeram.

L"Kamu mau saya merobek baju kamu?" Emosi Gama sontak naik dengan reaksi keras kepala Kirana. "Lepas tanganmu itu!" Dia melotot menatap Kirana melalui pantulan cermin, membentak wanita itu.

Kirana pasrah dan mengendurkan genggaman pada bagian depan tubuhnya. Dia memejamkan mata, saat dirasakannya tangan Gama mulai menurunkan blouse  hingga jatuh ke siku.

Gama bisa langsung melihat memar di sana. Memar yang terlihat aneh lantaran bentuknya yang mirip ruas jari. Biru kehitaman-hitaman seperti bekas cengkeraman, tepat di atas ... Gama menyipitkan mata melihat tanda lahir yang dikiranya sebuah tato tempo hari ketika Kirana mengenakan bikini.

Dia sedikit terpana dengan bentuk tanda lahir itu yang menyerupai bunga. Tepatnya dua bunga yang kelopaknya saling bersentuhan.

Lalu ketika dia mencoba menyentuhnya, sebuah bayangan seorang wanita cantik dengan mahkota di kepalanya berkelebat. Gama terkesiap ketika sebuah getaran hebat menyerang dadanya. Tiba-tiba saja jantungnya memompa darah lebih cepat dari biasanya.

Gama bergerak mundur merasakan reaksi aneh itu. Dia kembali menatap tanda lahir Kirana yang tampak bersinar.

"Sebenarnya kamu memiliki kekuatan apa?" bisik Gama dengan wajah heran dan bingung.

Kirana yang sedari tadi memejamkan mata, merasakan sebuah kejanggalan. Kelopak matanya perlahan terbuka, dan tatapannya langsung menemukan pantulan wajah memerah Gama di dalam cermin.

"Bapak baik-baik saja?"

Teguran Kirana membuat Gama sadar. Dia menatap wanita itu sesaat dan berusaha meredakan kinerja organ jantungnya yang berlebihan dengan menarik napas panjang.

Dia kembali mendekati punggung Kirana yang setengah terbuka. Selain tanda sialan itu yang membuat jantungnya mendadak tiba-tiba berpacu lebih cepat, ada hal lain juga yang membuatnya tak kalah bergetar. Suguhan pemandangan kulit seputih susu Kirana, tentu saja.

Mengalihkan pandang, Gama mengeluarkan sesuatu dari saku celana. Sebuah obat krim pereda nyeri yang dia dapatkan dari kotak P3K rumahnya. Dia membuka tutup tabung kecil krim tersebut dan mencoleknya sedikit.

"Ini akan mengurangi rasa sakit kamu," ucapnya sebelum mengoleskan krim tersebut ke memar kebiruan pada bahu Kirana.

Kirana berjengit kala jari Gama menyentuh kulitnya. Sejak Gama berhasil memaksanya membuka baju jujur saja Kirana sudah dibuat berdebar, tapi ternyata hal ini membuat Kirana lebih berdebar. Dia menahan napas saat jari Gama dengan lembut mengoleskan krim yang katanya bisa menghilangkan rasa sakit.

Ada aroma mint yang keluar dari krim itu, lalu panas dan segar terasa menyerap ke pori-pori kulit. Gama benar, rasa sakit itu perlahan membaik.

Gama kembali mencolek krim pada tabung kecil yang dia bawa, lantas kembali mengoleskan ke memar lainnya. Saat itulah dia melihat memar lain tepat di atas dada kanan Kirana yang membusung. Memar yang sama, bentuknya yang menyerupai ruas jari. Gama mendadak curiga jika ada  makhluk nakal yang mengganggu Kirana.

Jika memar itu akibat jatuh tadi, nggak mungkin bentuknya aneh seperti itu.

"Balikkan badanmu," titahnya. Yang sontak membuat Kirana kaget.

"A-apa?"

"Ada memar lain di dadamu."

Kirana kembali melebarkan mata, jangan bilang pria galak itu juga mau mengoleskan krim di sana. Tidak! Itu nggak mungkin Kirana biarkan.

"Itu biar saya saja yang melakukannya." Kirana membenarkan letak blouse lalu berbalik. "Biar saya saja yang melakukannya," ucapnya lagi seraya menadahkan satu tangan ke depan Gama. Tangan lainnya mencengkeram erat bagian blouse yang kancingnya terbuka setengah.

Gama tidak membantah, dia menaruh krim itu di telapak tangan wanita berkulit putih itu.

"Apa itu sudah ada sejak kamu lahir?" tanya Gama tiba-tiba.

"Apa?" tanya Kirana seperti orang bodoh.

"Tanda di bawah bahu kananmu."

"O-oh, itu ...." Kirana mengangguk kaku. "Ya, itu sudah ada sejak saya lahir."

Gama menelan ludah, kembali membayangkan tanda kecoklatan berbentuk dua bunga yang saling bersentuhan itu.

"Oke." Gama mengangguk.

"Ada masalah, Pak? Bukannya Bapak sendiri memiliki hal serupa?"

Dahi Gama mengernyit, lalu alisnya mengerut. Mata tajam itu lantas menyorot Kirana tak suka. "Kamu diam-diam memperhatikan tubuh saya?"

"Ah?" Kirana menggeleng tegas. Jelas dia tidak terima dituduh seperti itu.

Pria itu sendiri yang kerap menyuruhnya untuk membantu melepas atau mengenakan kemeja. Jangan salahkan Kirana dia bisa melihat tanda tiga bintang di pinggang pria itu. 

"Saya nggak sengaja. Bapak kan yang selalu meminta saya membantu mengenakan dan melepas kemeja. Kalau saya tidak melakukannya, Bapak marah-marah."

Keterangan Kirana membuat Gama refleks salah tingkah. Dia berdeham beberapa kali sembari memalingkan muka. "Itu bukan tanda, jangan sok tahu. Itu cuma tato biasa."

Oh ya? Awalnya Kirana juga menganggapnya demikian. Tapi setelah sering tanpa sengaja melihat, Kirana yakin itu bukan sebuah tato. Warna kecoklatan itu seperti tanda miliknya di bawah bahu kanan.

"Saya juga pernah melihat ..." Takut-takut Kirana menatap Gama. "Saya melihat sebuah keris yang timbul dari perut Bapak."

Tatap bak elang mengincar mangsa itu terbuka lebar. "Ka-kamu bisa melihatnya?"

________________


The Devil inside YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang