34. Pecahan Cangkir

5.5K 535 19
                                    

Kirana kembali ke aktivitas semula. Melayani Gama. Sebagai seorang asisten dia akan profesional, meskipun tiap kali melihat wajah pria itu ingin rasanya mengumpat.

Dia sedang mengolesi roti bakar dengan selai nanas ketika Gama tampak turun dari lantai dua. Kirana menyudahi kegiatannya ketika Gama sudah mulai duduk di kursi paling ujung meja makan.

Roti bakar selai nanas itu dia simpan di piring bosnya. Lantas dirinya duduk kembali. Menemani Gama sarapan dalam diam.

"Kamu sudah mulai lupa dengan tugasmu?" tanya Gama dengan nada dingin.

Tanpa banyak bertanya, Kirana langsung meraih tablet dan membacakan jadwal harian Gama yang sudah dia susun.

"Jadi, ada rapat dewan direksi hari ini di Rajata Grup? Kenapa mereka mengundang saya?"

"Bapak masih ada saham sepuluh persen di sana," sahut Kirana. "Rapat ini untuk pemilihan CEO baru."

Gama tertawa sinis. "Apa artinya sepuluh persen? Bahkan di voting suara, sepuluh persen itu tidak ada gunanya. Saya tidak mau ikut rapat itu, dan tidak peduli juga sama CEO baru yang terpilih perusahaan itu," ujar Gama kembali ke mode datar. Tangannya meraih cangkir teh dan menyesapnya. Namun, baru sampai ujung lidah dia melempar cangkir itu menjauh dan cangkir itu pun jatuh membentur lantai dengan kencang.

Kirana yang duduk di sisi kanan meja cukup terkejut.

"Kenapa tehnya panas sekali?! Kamu masih dendam sama yang kemarin?!" bentak Gama kesal. Suaranya menggema seseantero rumah.

"Teh itu memang baru diseduh, Pak. Jadi, seharusnya Bapak hati-hati."

"Tidak usah dijawab! Dasar tidak berguna!" hardiknya lantas beranjak berdiri. "Bereskan lantainya," sambungnya lagi sebelum beranjak pergi.

Kirana menghela napas panjang dan berusaha menekan emosi. Pria itu benar-benar tidak tahu adab dan terima kasih. Mengambil sebuah pengki dari gudang, Kirana mulai memunguti puing-puing cangkir yang berserakan di lantai.

Setelah menyingkirkan pecahan cangkir porselen itu, dia mengepel lantainya yang basah tersiram cairan teh. Mengepel lantai pekerjaan yang lebih mudah daripada menjadi asisten Gama. Diam-diam Kirana menyesal pernah menerima tawaran menjadi asisten Gama. Meskipun melihat nominal gaji pertamanya membuat wanita itu oleng, dan pernah sempat berpikir akan menemani Bos Gama selamanya.

Kirana meraih tas kerja dan juga tablet setelah berhasil menyelesaikan pekerjaannya. Dia hendak melangkah saat matanya menemukan pecahan porselen di bawah kolong meja. Sontak Kirana menunduk dan mengambil benda itu karena bisa membahayakan.

Kirana berhasil meraih potongan porselen itu, tapi sial, potongan cangkir itu membuat jarinya terluka. Dia meraih tisu untuk menekan darah yang keluar dari ujung jarinya, lalu beranjak keluar menyusul Gama.

"Apa tak cukup membuatku mengeluarkan banyak darah dari kemarin?" gumamnya seraya terus berjalan keluar.

Gama sudah berada di dalam mobil lebih dulu bersama supir. Dia sudah menunggu cukup lama kedatangan asisten itu.

"Anda kembali membuat Nona Kirana terluka, Tuan."

Gama melirik si supir yang tiba-tiba bersuara. Supir itu tidak pernah berkomentar apa pun jika Gama tidak bertanya. Dia seperti robot akan bergerak sesuai perintah majikannya. Jadi, saat sekarang dia bersuara itu berarti ada jiwa lain di dalam raganya.

Siapa lagi kalau bukan Sukma?

"Apa maksud ucapanmu?" tanya Gama yang tampak kesal lagi.  "Dia sudah membuat lidahku melepuh," lanjutnya geram.

"Itu hanya soal sepele. Bahkan Anda tidak berlaku demikian saat Silvana melakukan kesalahan yang sama."

"Jangan samakan asisten itu dengan Silvana?!" bentak Gama kembali emosi. "Dan, keluar kamu dari tubuhnya. Kamu tidak bisa menyetir," perintah Gama, dan hal itu langsung Sukma turuti. Tubuh supir itu sedikit bergetar ketika Sukma keluar dari raganya.

Dari jendela kaca mobil yang tertutup, Gama melihat Kirana tampak terburu-buru berjalan menghampiri mobil. Wanita itu memutar dari arah belakang mobil dan masuk melalui pintu lain.

"Apa kerjamu sekarang selambat ini?" tanya Gama ketus.

"Maaf," gumam Kirana, tidak terlalu menghiraukan omelan Gama.

Perlahan mobil MVP itu bergerak meninggalkan pelataran rumah Gama.

Di dalam mobil hanya ada kebisuan. Gama sibuk dengan tablet, sementara Kirana sibuk menekan rasa sakit pada jarinya. Pecahan cangkir tadi lumayan dalam menggores kulit, jadi darahnya belum mau berhenti mengalir.

"Tuan, lihat apa yang asisten Anda lakukan," ucap Sukma, membuat Gama melirik Kirana dengan ujung mata. Saat itulah netranya yang tajam melihat bercak darah yang lumayan banyak di tisu yang Kirana genggam. Tatap terkejutnya membuat pria itu refleks meraih tangan Kirana dan melihat luka tersebut.

"Kenapa jarimu?" Ada darah yang terus keluar di ujung jari telunjuk Kirana.

Wanita itu menarik tangan kembali. "Saya nggak apa-apa."

"Nggak apa-apa gimana? Itu darahnya nggak mau berhenti. Marco, hentikan mobilnya di rumah sakit."

"Saya nggak apa-apa. Ini luka kecil jangan berlebihan. Saya cuma butuh plester."

Mendengar ucapan Kirana, Gama tampak salah tingkah. Namun, bukan Gama kalau tidak bisa menutupi semua dengan kearogannya. Dia mengambil sebuah sapu tangan dari saku jas, lalu kembali menarik tangan Kirana. Kali ini lebih erat agar wanita itu tidak seenaknya menariknya kembali.

"Pak, saya—"

Ucapan Kirana berhenti ketika dengan tiba-tiba Gama mengulum jarinya yang berdarah. Dia terkesiap melihat apa yang dilakukan pria itu. Gerakan refleks menarik tangan kembali gagal. Gama menggenggam tangannya begitu erat.

Jujur, Kirana merasa takjub dengan apa yang pria itu lakukan. Dia menelan ludah dan hanya bisa terdiam. Lalu bayangan Gama menyentuh setiap jengkal tubuhnya kembali berkelebat, memberikan sensasi-sensasi aneh sesaat pada perutnya.

"Darahnya sudah berhenti keluar," ucap Gama, lalu mengusap jari Kirana yang basah karena air liurnya menggunakan sapu tangan.

***

Kirana duduk di kursi panjang yang ada di depan sebuah minimarket. Mobil Gama ada sekitar dua meter dari posisi dia duduk, terparkir di bahu jalan. Suasana kota di pagi hari mulai bising dan kelihatan sibuk. Klakson kendaraan umum dan pribadi saling bersahutan. Langkah tergesa dari pengguna jalan, suara tawa dan percakapan terdengar sambil lalu mampir ke pendengaran Kirana.

Kalau boleh jujur dan boleh memilih, Kirana lebih suka tinggal di desanya yang sejuk. Yang masih rimbun oleh pepohonan. Yang lebih banyak lahan sawah daripada jalanan bising seperti ini.

Kirana menarik napas dalam dan mengembuskannya. Bahkan di kota ini dia tidak menemukan udara sesejuk di desanya.

"Ke marikan tanganmu."

Wanita yang hari ini rambutnya tergerai menoleh, dan mendapati sang bos sudah duduk di sebelahnya. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain menurut kalau tidak ingin Gama memarahinya lagi. Dia memperhatikan bagaimana Gama membalut lukanya dengan sebuah plester yang pria itu beli dari minimarket 24 jam di belakangnya.

"Pria ini aneh, kadang tampak seperti malaikat, tapi juga bisa menjadi iblis tiba-tiba," batin Kirana berucap bingung.

Gama menyimpan satu kotak plester ke telapak tangan Kirana. "Kamu simpan itu, ganti kalau plesternya sudah jelek," ucap pria itu tanpa menatap Kirana. Jalanan kota yang mulai padat lebih menarik daripada wajah bodoh asistennya. "Liat, kita akan sangat terlambat sampai kantor. Lain kali kalau bekerja itu hati-hati," gerutunya lantas beranjak berdiri.

"Terima kasih, Pak," ucap Kirana mengabaikan gerutuan Gama.

Gama melirik wanita itu yang tampak menunduk. Lalu tiba-tiba senyum kecil pria itu terbit. Diam-diam dia merasa bangga Kirana mengucapkan terima kasih, seolah yang dia lakukan adalah hal besar.




The Devil inside YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang