41. Tantrum

5.4K 539 28
                                    

Kembali Gama menolak kerja sama dengan seorang klien. Padahal jumlah keuntungan yang mereka tawarkan lumayan besar. Dan, yang bikin Kirana mengernyit, lelaki itu malah menerima tawaran kerja sama dari perusahaan kecil, yang bahkan untuk operasionalnya masih butuh bimbingan. Kirana benar-benar tidak habis mengerti.

"Itu cuma strategi," ucap Gama. "Lebih baik bekerja sama dengan perusahaan kecil, tapi loyal daripada sama perusahaan besar tapi ujung-ujungnya nikung dari belakang," lanjutnya, saat dirinya dan Kirana berjalan di koridor lantai lima, sehabis meeting dengan klien.

"Tapi bagaimana bisa Bapak menyimpulkan mereka akan nikung kita?" tanya Kirana dengan langkah gegas, menyeimbangi langkah panjang Gama.

"Mudah sekali. Sekali tatap, saya bisa membaca apa yang mereka pikirkan."

Kirana kembali mengernyit lantas mengikuti Gama memasuki lift. "Memangnya Bapak bisa baca pikiran orang?" tanya Kirana, tapi kali ini tidak terlalu serius. Karena hal seperti itu mustahil.

"Bisa."

Jawaban Gama di luar dugaan. Kirana sampai menoleh untuk memastikan. "Yang benar, Pak?" Tiba-tiba Kirana merasa waswas. Dia sering sekali menyumpahi atasannya itu bila sedang kesal.

"Ya, itu benar. Saya memiliki kemampuan itu," sahut Gama tampak santai. "Kecuali kamu, saya bisa membaca pikiran orang yang berinteraksi dengan saya."

"Kecuali saya?" Ini kabar melegakan kalau benar.

"Ya, saya sangat kesulitan membaca pikiran kamu." Dia berbalik menghadap Kirana, membuat wanita itu serta merta memundurkan badan.  "Saya sangat penasaran kenapa saya susah sekali membaca pikiran kamu." langkahnya bergerak maju. "Apa kamu memiliki kemampuan khusus? atau kamu memiliki khodam yang menjaga kamu?"

Langkah Gama yang makin maju membuat Kirana mundur, hingga terjebak ke dinding lift. "Sa-saya nggak paham dengan maksud Bapak. Saya ini orang biasa, dan nggak punya kemampuan apa-apa." Kirana mulai merasa takut. Tatapan Gama mengintimidasi.

Sebelah telapak tangan Gama bersandar pada dinding lift, mengurung tubuh Kirana di antara dinding dan tangannya. "Kamu yakin?" tanya Gama dengan kepala menunduk, berusaha mencari mata Kirana yang sedari tadi tidak mau melihatnya.

"Saya yakin, kok."

"Aneh sekali. Kenapa saya nggak bisa membaca pikiran kamu? Bahkan dalam jarak dekat seperti ini."

Kirana seperti kehilangan napas sekarang. Gama belum juga mau menjauh. "Pak, bisa tidak, Bapak berdiri dengan posisi normal?"

Alih-alih menjauh, Gama malah menatap dirinya sendiri. "Memang posisi saya kenapa?"

"Tolong agak geser, Pak. Saya mau pindah," sahut Kirana kikuk. Gestur gusarnya tampak kentara dan itu malah membuat Gama tertarik untuk menggodanya.

"Saya suka posisi begini," ucap Gama menyeringai.

Kirana memejamkan mata sesaat sebelum dua telapak tangannya bergerak mendorong tubuh liat Gama. Namun, kekuatan wanita itu seolah tidak ada arti. Tubuh besar Gama bergeming. Tidak kehilangan akal, Kirana mendelosor ke bawah, lalu ketika bosnya lengah, dia beringsut membebaskan diri dari kungkungan Gama.

Gama tersenyum kecil dan bergerak mundur. "Kenapa kamu nggak mau dekat dengan saya? Takut jantung kamu copot?"

Kirana ingin mengabaikan, tapi lelaki itu bos di sini.  "Bapak terlalu percaya diri."

"Lalu apa ada alasan lain yang lebih masuk akal? " desak Gama lagi.

"Tentu saja ada, tapi itu nggak perlu saya sebutkan ke Bapak."

"Apa mungkin karena kamu takut jatuh cinta sama saya?"

Kirana melebarkan matanya. Woah, pria ini percaya diri sekali.

"Kenapa? yang saya katakan benar?" tanya Gama melihat reaksi Kirana yang seperti hendak menyangkal.

"Jelas saja nggak benar. Saya nggak mungkin jatuh cinta sama Bapak. Secuil pun saya nggak pernah bermimpi."

"Heh, sembarangan sekali kamu bicara," balas Gama sedikit tak terima. "Apa saya setercela itu sampai kamu bilang nggak mungkin jatuh cinta sama saya? Sombong sekali, kamu pikir si—"

Gama masih ingin lanjut mengomel, tapi terjeda ketika pintu lift terbuka dan memunculkan beberapa orang yang akan masuk.

Diam-diam Kirana tersenyum dan bersyukur ketika beberapa orang itu masuk ke dalam lift, memisahkan jaraknya dengan Gama.

Kirana keluar lebih dulu disusul Gama di belakangnya. Dia sengaja menunggu Gama, agar lelaki itu duluan berjalan. Kontras dengan dirinya yang sedang menahan senyum, wajah Gama tampak cemberut. Lelaki itu berjalan cepat mendahului Kirana.

"Bapak marah?" tanya Kirana sesaat setelah berhasil menyusulnya.

"Menurut kamu?" Jawab Gama terdengar dingin.

"Kekanakan," gumam Kirana.

"Kamu bilang apa?" tanya Gama seraya menghentikan langkah tiba-tiba, tatapnya jatuh menghujam kepada Kirana.

Kirana buru-buru menggeleng. "Saya nggak bilang apa-apa, kok, Pak."

Gama menggeram, lalu kembali berjalan dengan cepat menuju kantornya.

"Kirana," panggil Lita pelan saat Kirana melewati meja sekretaris.

Kirana berhenti berjalan dan menoleh. Dagunya mengedik seolah bertanya 'ada apa?'.

Lita yang penasaran menunjuk samar ruangan Gama. Lelaki itu baru saja masuk ke sana. "Si bos kenapa cemberut gitu?" tanya Lita penasaran.

"Biasa, lagi tantrum," sahut Kirana asal, yang mana langsung membuat Lita menutup mulut menahan tawa.

"Kamu pikir dia itu bayi?"

"Dia sebelas dua belas sama bayi. Suka ambek-ambekan nggak jelas."

"Ish, hati-hati kalau ngomong nanti dia dengar."

Baru saja Lita mengatakan itu dari dalam ruangan CEO, Gama berseru memanggil Kirana.

Spontan Lita mengumpat dan Kirana berjengit bersamaan.

"Aku ke sana dulu, Mbak," ujar Kirana buru-buru kembali ke ruangan Gama.

"Semoga nggak terjadi apa-apa. Pening aku kalau dengar Pak Gama marah-marah terus," gumam Lita, lantas kembali duduk di kursinya. Menjadi sekretaris tidak terlalu berat seperti menjadi seorang asisten pribadi. Beruntung Lita berada di posisi sekarang. Meskipun tidak bisa lepas begitu saja dari omelan Gama, setidaknya dia bisa sedikit bernapas lantaran tidak mendapat omelan tiap waktu seperti Kirana.

Di dalam ruangan CEO, Gama terus saja menampakkan wajah masam. Sampai detik dia menyuruh Kirana untuk membuatkan kopi, dia masih saja belum terima dengan ucapan  Kirana ketika masih berada di dalam lift.

"Kopi dengan sedikit gula aren," ucap Kirana menyajikan cairan panas dalam cangkir itu ke depan Gama.

Tidak ada ucapan terima kasih yang lelaki itu lontarkan, dia hanya melirik cangkir itu sekilas dan mengangguk.

Melihat tidak ada reaksi apa pun dari sang CEO, Kirana beringsut kembali menuju meja kerjanya. Di sana, dia mengawasi Gama yang tengah menekuri tablet. Sesekali bibir lelaki itu berkedut dan menggumamkan sesuatu.

Satu bulan lebih membersamai Gama, membuat Kirana mulai terbiasa dengan segala sifat dan sikap yang dimiliki lelaki tersebut. Meskipun ada satu hal yang membuatnya sangat terluka. Tangan Kirana sontak mengepal, mengingat bagaimana lelaki itu mengerang di atasnya hari itu. Hari yang membuat dunianya runtuh.

Namun, anehnya dia tidak berniat menuntut apa pun dari lelaki itu setelah semuanya terjadi. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya merasa baik-baik saja. Entah itu apa, yang pasti itu membuat tubuhnya terasa ringan.

"Kirana, siapkan file-file yang akan dibawa meeting ke Jogja," perintah Gama tanpa melepas pandangan dari layar tablet.

"Baik, Pak."

Namun tiba-tiba.... "Tidak perlu, kamu suruh Lita yang menyiapkan. Saya akan pergi bersama Lita saja. Saya sedang malas sama kamu."

Kirana menganga sesaat, tapi segera menutup mulutnya kembali dan mengangguk saja.

The Devil inside YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang