43. Perkara Kamar

5.2K 503 9
                                    

Rasa rindu menyeruak ke dalam hati Kirana ketika kakinya menapak di bumi Yogyakarta, tanah kelahirannya. Dia rindu bapak dan ibu, serta kedua adiknya. Meski tidak berbekal apa pun kecuali pakaian yang melekat di tubuh dan tas yang tersampir pada bahunya, Kirana tak menjadikan itu sebagai masalah.

Keduanya dijemput oleh seorang laki-laki setengah baya yang mengaku dari perusahaan yang akan bekerjasama dengan perusahaan Gama. Lelaki dengan sebuah blangkon di kepalanya itu mengenalkan diri bernama Dibyo. Gama dan Kirana diantar langsung menuju kantor perusahaan untuk menemui klien mereka.

"Saya yakin dengan pemasaran yang bagus, produk kami di sini akan berkembang sangat pesat. Sasarannya masih anak muda. Bahkan produk olahan kami bisa didistribusikan ke restoran atau kafe-kafe yang saat ini sedang menjamur," terang Gama ketika pada akhirnya dia selesai mempresentasikan materi kepada kliennya.

Perwakilan klien tersebut seorang wanita berperawakan tinggi dan juga lelaki yang memiliki tubuh agak gemuk. Keduanya tampak tertarik dengan penjelasan Gama. Apalagi ketika Gama menyodorkan kemasan produk yang ikonik sebagai sampel.

"Kemasannya menarik, Pak Gama. Lain daripada yang lain. Sepertinya produk Anda sangat bersaing," ujar perempuan tinggi yang duduk tepat di hadapan Gama.

"Betul, Bu. Kami memiliki designer khusus untuk kemasan produk kami."

Dua klien itu mengangguk. Penjelasan Gama selanjutnya membuat mereka yakin untuk lanjut ke proses berikutnya setelah deal soal harga. Tidak membutuhkan waktu lama akhirnya Gama memperoleh kesepakatan itu. Jika tes pasar lancar, tidak menutup kemungkinan untuk membuat pabrik baru di kota ini.

"Selamat, Bapak kembali memperoleh kesepakatan dengan klien," puji Kirana tulus. Kirana akui CEO-nya itu pandai memersuasi lawan.

Namun, pujian tersebut tidak disambut baik oleh lelaki arogan itu.

"Itu hal yang biasa. Entah sudah berapa kali Raharja Grup diuntungkan oleh kemampuan saya itu," ucap Gama sombong. "Ini lah waktunya menggiring klien-klien dari sana agar berbelok ke perusahaan kita."

"Akan lebih baik kalau kita tidak mengambil klien dari pesaing kita, Pak. Hal seperti itu hanya menimbulkan masalah."

"Karena saya memang ingin membuat masalah dengan mereka." Gama berjalan mendekati mini bar. Di sana ada sebuah teko serta bubuk kopi instan. "Selama perusahaan itu masih eksis, selama itu pula saya akan terus membuat mereka kebakaran jenggot. Tujuan akhir saya adalah bisa mengakuisisi perusahaan itu."

"Biar gimana pun itu perusahaan keluarga Bapak. Gimana bisa Bapak ingin menghancurkannya?" tanya Kirana tidak habis mengerti. Meskipun dia tidak paham masalah yang terjadi, tapi rasanya jahat sekali. Perusahaan itu kan juga tempat bergantungnya para karyawan.

"Siapa yang akan menghancurkan perusahaan itu? Saya hanya bilang ingin mengakuisisi perusahaan mereka. Itu saja," kilah Gama mengedikkan bahu.

Kirana menghela napas panjang lalu menengadahkan tangannya. "Mana kunci kamar saya, Pak?"

Gama yang saat ini sedang membaca kemasan kopi dengan merek hotel tempatnya menginap, menolehkan kepala, lalu melirik tangan Kirana yang menadah.

"Nggak ada kunci. Saya hanya memesan satu kamar."

"Apa? Terus saya menginap di mana?"

"Di sini sama saya."

Kali ini mata Kirana sukses melebar. Satu kamar dengan Boss Devil? Yang benar saja!

"Saya nggak mau," tolak Kirana dengan tegas.

Gama kembali melirik wanita itu dengan dahi berkerut. "Kenapa nggak mau? Saya memesan kamar yang cukup luas. Dan kamu bisa lihat sendiri begitu lebarnya tempat tidur itu."

Wanita 22 tahun itu tak percaya. Dia merasa sudah dikerjain sekarang.

"Silakan Bapak tidur di kamar ini. Saya akan memesan kamar lain." Kirana segera berbalik menuju pintu keluar. Namun....

"Satu langkah kamu berani keluar dari kamar ini, maka akan saya pastikan gaji kamu bulan ini tidak keluar."

Kirana kontan berbalik badan dan menganga. Mudah sekali lelaki itu mengatakan hal yang sangat krusial bagi Kirana itu? Dasar devil, bisanya cuma mengancam.

"Saya ingatkan sama Bapak kalau saya ini perempuan. Bagaimana bisa Bapak meminta saya sekamar dengan laki-laki?" Rasanya emosi Kirana sudah mencapai leher. Ingin segera dimuntahkan.

"Memang kenapa? Toh kita pernah tidur bersama."

Mata Kirana makin membulat. "Lalu apa Bapak pikir karena itu sekarang saya mau tidur sama Bapak lagi? Bapak jangan salah menilai saya. Saya bukan perempuan yang seperti ada di pikiran Bapak."

"Memangnya kamu tahu apa tentang pikiran saya?" tanya Gama seraya menyipitkan mata.

"Setelah kejadian itu pasti Bapak berpikir kalau saya ini wanita murahan dan perempuan gampangan. Karena itu Bapak sekarang mengajak saya untuk satu kamar dengan Bapak."

Tanpa Kirana duga telunjuk Gama mengacung ke arahnya. "Saya nggak pernah berpikir begitu, ya. Kamu terlalu berprasangka buruk sama saya. Saya meminta kamu tinggal di sini juga agar saya nggak perlu repot jika membutuhkan sesuatu. Ingat, Kirana. Kamu itu kerja sama saya 1x24 jam nonstop. Paham?!" 

Gama membalikkan badan. Jika dituruti, pasti amarahnya kembali meledak. "Kamar ini dilengkapi satu kasur tambahan yang ada di balik dinding itu. Kamu bisa tidur di sana," ujar Gama melempar bungkus kopi instan lalu bergerak membanting diri ke atas kasur. "Dia benar-benar bawel dan merepotkan. "

Bibir Kirana yang belum kembali lurus seperti semula terus saja mencibir. Tangannya bergerak menarik sebuah tempat tidur dari dalam dinding. Dia yang sedang jengkel kepada Gama mendadak takjub melihat ada sebuah tempat tidur lengkap dengan kasurnya di sana. Kemarahannya serta-merta menguap begitu saja. 

Hanya .... Wanita itu melihat dirinya sendiri. Bagaimana mungkin dia mengenakan pakaian begini sepanjang malam?

"Pak saya izin keluar sebentar," ucap Kirana, membuat Gama yang tengah duduk mendongak.

"Mau ke mana? Tadi kan sudah makan siang."

"Saya mau membeli pakaian. Saya nggak mungkin terus-menerus pakai baju ini."

Mata Gama bergulir memindai penampilan Kirana dari ujung kepala sampai kaki. "Memang ada apa dengan baju kamu?"

Kirana mendebas dan menatap sebal bosnya itu. "Seandainya Bapak bilang dari awal saya yang ikut, saya bisa mempersiapkan baju ganti. Saya ke sini nggak bawa apa-apa selain baju ini dan tas."

"Ooh." Gama mengangguk-angguk. "Ya sudah sana."

Kirana baru akan membuka pintu kamar ketika Gama memanggilnya kembali. "Saya ikut saja."

Wanita itu hanya mengedik dan membiarkan Gama mengikutinya. Siang hari di mana-mana terasa menyengat. Sebelum keluar dari hotel, Kirana sempat meminjam topi lebar yang ada di lobi hotel.

"Yuk, Pak. Saya mau ke pasar Beringharjo dekat Malioboro. Di sana ada baju santai yang murah-murah."

Kirana bergerak menjauhi bangunan hotel dan menghampiri sebuah delman yang mangkal di pinggir jalan seberang hotel.

"Kirana, kamu serius mau naik delman?" tanya Gama, membuat Kirana urung naik.

"Serius dong, Pak. Naik mobil malah merepotkan. Lokasinya kan dekat, searah lagi."

"Tapi—"

"Kalau Bapak mau naik mobil nggak apa-apa, kok. Biar saya naik andong ini. Ayo, Pak Kusir kita ke Pasar Beringharjo." Kirana bergerak  dengan hati-hati menaiki delman.

"Siap, Mba'e."

"Tunggu! Saya ikut." 

_________

Wkwkwk nggak mau ditinggal juga kan Gama.


The Devil inside YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang