Kirana menggeliat dari tempat tidur luas milik Gama. Dia sudah terlalu cukup banyak terlelap. Dengan perlahan matanya lantas terbuka. Hal yang pertama dia lihat adalah langit-langit berwarna putih yang memendar. Lampu di tengah ukiran gypsum padam namun ada penerangan lain dari lampu di setiap sudut langit-langit.
Ini bukan kamarnya, jelas dia tahu. Ruangan ini lebih luas dari kamar miliknya. Furnitur di dalamnya juga tampak lain. Jika kamar Kirana menggunakan furnitur minimalis, kamar ini menggunakan furnitur mewah dengan khas Jawa yang kental. Seperti ranjang super big yang dia tempati misalnya. Ranjang ini memiliki ukiran kayu di bagian kepalanya, dan tiap sudutnya terdapat tiang kelambu berukir. Ada kain putih yang mengitari ujung tiang tersebut membentuk persegi. Kain putih itu juga membelit sisi permukaan empat tiang tersebut.
Kirana mencoba mengingat apa yang terjadi. Berawal dari dia yang akan diurut oleh seorang tukang pijat, dan munculnya sosok menyeramkan. Lalu dia sampai di sini. Berada di pelukan bosnya, hingga kehilangan akal.
"Ada apa ini?" tanyanya lirih. Dia tidak menemukan apa pun di tubuhnya kecuali selimut. Kain yang dia gunakan hilang entah ke mana. Kirana bergegas turun dari ranjang, tapi ternyata tidak semudah itu.
Pergerakannya terganggu oleh rasa nyeri di bagian kewanitaannya. Dia sedikit meringis. Lalu kepalanya sontak mengingat kembali sentuhan Gama padanya.
"Sial," umpatnya meremas selimut.
Dia mencoba kembali bangkit dengan pelan dan mendekati sebuah cermin yang ada di sana. Kirana menghela napas melihat kondisi dirinya yang berantakan. Namun anehnya, lebam di bagian dadanya raib. Dia mencoba melihat bahu kanannya pun sama. Bekas kehitaman-hitaman itu hilang. Dan, yang lebih ajaib lagi, badannya merasa segar dan lebih nyaman. Meskipun di bawah sana terasa mengganjal.
"Kirana, kamu sudah bangun?"
Kirana terkesiap. Tangannya refleks mencengkeram erat selimut yang menutupi tubuhnya. Dia lantas berbalik dan menemukan Gama.
Tatapannya langsung menunduk. Dia tidak berani melihat Gama setelah semuanya. "Iya, Pak."
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Gama seraya terus mengawasi gelagat perempuan di depannya itu.
"Sa-saya merasa lebih baik."
Kirana mengumpat dalam hati, menyalahkan sikap gugupnya. Lalu matanya melihat kaki pria itu maju. Secara spontan Kirana bergerak mundur. Namun, kaki itu terus maju, hingga pinggang Kirana membentur sebuah meja berukuran rendah–tempat cermin berada–di belakangnya. Kirana makin gugup dan tidak berani mengangkat wajah.
"Kirana, memar kamu sudah hilang," ucap Gama dengan pandangan takjub. Tangannya terangkat ingin menyentuh bekas lebam itu, tapi Kirana dengan cepat menghindar.
"Iya, Pak. Saya sudah sembuh." Kirana beringsut dan berusaha keluar dari situasi aneh ini. Namun, Gama dengan cepat mencekal lengan wanita itu. Hal itu membuat Kirana terkejut.
"Bapak mau apa lagi?" Kirana terserang panik.
"Saya tidak mau apa-apa. Saya cuma mau tahu keadaan kamu setelah kita—" Gama mengerjap.
Rasanya aneh menyebutkan apa yang sudah dia lakukan. Dia berdeham sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya. "Apa di sana masih sakit? Sa-saya baru saja menemukan sebuah artikel jika wanita mengeluarkan darah saat—" Shit! Gama gusar oleh kata-katanya sendiri. "Begini Kirana, saya sudah menyiapkan air hangat untuk berendam kamu. Menurut artikel, itu akan membuatmu lebih baik."
Gama buru-buru memalingkan muka setelah mengatakan itu. Tindakannya itu tak luput dari perhatian Kirana. Apa bosnya sekarang sedang malu? Ada semburat merah di wajah bersih Gama.
"Kamu sebaiknya bersih-bersih dulu," ucap lelaki itu lagi, lantas beranjak pergi dari sana.
***
Kirana memutuskan pergi ke kamarnya begitu Gama pergi. Dia tidak menuruti perintah pria itu untuk berendam air hangat. Masih bergelung dengan selimut, dia memperhatikan kamarnya yang sudah rapi kembali. Benda-benda yang sempat berserakan sudah kembali ke tempat semula. Tempat tidurnya juga sudah terpasang sprei baru. Tercium aroma mawar di sana.
Langkahnya membawa wanita itu mendekati ranjang tidur. Matanya mengedar mencari jejak yang mungkin makhluk itu tinggalkan. Rasa waswas masih menghinggapi.
"Ini kamarku, aku nggak boleh takut dengan kamarku sendiri," gumamnya pada diri sendiri.
Kirana kembali berdiri, dia menanggalkan selimut dan bergerak menuju kamar mandi. Di sana dia menyiram tubuhnya dengan air dingin. Mencoba menghapus semua jejak Gama dari sana. Dia menggosok kulitnya sampai terasa panas, lalu menyiram kembali dengan air, begitu seterusnya sampai dia menggigil.
Setelah melakukan ritual mandi dengan penuh emosi, dia bergegas mengenakan pakaian rapi. Dia hampir lupa memiliki janji dengan seorang teman untuk membahas perkara laptop milik Gama yang dia rusak.
Saat kakinya menuruni bilah anak tangga, tatapnya menemukan Gama duduk sendiri di sebuah sofa. Layar di depan pria itu menyala, tapi dia tidak memperhatikan, larut dalam lamunan.
"Pak, saya permisi keluar sebentar," ucap Kirana tanpa menatap si bos ketika dia berhasil menuruni serangkaian anak tangga yang memanjang.
Gama tersentak, dan langsung menoleh. Dilihatnya Kirana yang kini sudah berpenampilan rapi. "Kamu mau ke mana?" tanya Gama menegakkan punggung.
"Saya akan membetulkan laptop milik Bapak, karena saya tidak memiliki uang sebanyak lima ribu dollar."
"Apa tidak sebaiknya kamu istirahat saja? Kamu masih sakit, kan?"
Kirana menggeleng. "Saya baik-baik saja."
Gama pikir dia akan mendapat amukan dari asistennya setelah apa yang sudah dia perbuat. Atau diam-diam Kirana akan melaporkan ke polisi karena sudah berani melecehkannya. Gama menelan ludah, lalu menggelengkan kepala.
"Biar saya antar."
"Tidak perlu, Pak. Biar saya sendiri saja. Bapak nggak akan suka tempat yang saya tuju," tolak Kirana cepat.
Sesungguhnya dia juga ingin menghindari pria itu. Bayangan bagaimana pria berhidung bangir itu mengerang di atasnya masih sangat terekam jelas di kepalanya. Kirana bersyukur tidak despresi karena terus memikirkannya.
"Saya juga perlu tahu dan memastikan kondisi laptop saya, Kirana. Dan saya tidak mau orang itu malah tambah merusaknya."
Kirana lupa, Gama bukan orang yang suka dibantah. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Bapak tidak perlu khawatir soal hal itu. Teman saya sangat ahli menangani masalah seperti ini. Dia bisa membenarkan ponsel dan laptop jenis apa pun."
"Tetap saja saya nggak akan membiarkan orang lain menyentuh barang saya sesuka hati mereka."
Hampir saja Kirana menggeram dan membantah lagi jika tidak mengingat dirinya masih terlalu lelah.
"Terserah, Bapak, saja," ucapnya lantas beranjak melangkah.
Gama dengan cepat menyambar kunci mobil dan menyusul Kirana. Dia berbelok ke garasi rumah dan mengeluarkan mobil kesayangannya. Pria itu melajukan mobil berbentuk tipis itu menuju halaman rumah, menghampiri Kirana yang sudah berdiri di teras depan.
"Ayo, masuk," serunya saat berhenti tepat di samping Kirana.
Wanita itu sedikit heran melihat bosnya menyetir mobil sendiri. Biasanya akan selalu ada supir.
"Supir Anda ...."
"Dia sedang cuti. Cepat masuk." Gama mengedikkan kepala dan menyuruh Kirana segera masuk.
Tidak banyak mendebat, Kirana bergerak masuk ke sisi lain mobil keluaran luar negeri tersebut.
Setelah memastikan Kirana mengenakan sabuk pengaman, Gama melajukam kembali mobil berwarna hitam doff itu meninggalkan pelataran rumahnya yang megah. Kirana tidak tahu ada senyum kecil yang sedang pria itu coba sembunyikan.
_____________
KAMU SEDANG MEMBACA
The Devil inside You
Romance"Kamu pikir, kamu itu siapa?! Berani sekali mengatur hidupku." Gama menatap tajam, penuh intimidasi kepada wanita yang kini terpojok dengan bibir bergetar. "Kamu itu cuma asisten! Aku ingatkan sekali lagi posisimu. Kamu itu cuma asisten!" bentak G...