33. Pria Arogan

5.3K 529 24
                                    

"Jadi, mana yang harus aku perbaiki?" tanya Nanang yang saat ini sudah duduk di kursi kerjanya.

Kirana mengangguk dan langsung mengeluarkan tas yang dia bawa. Dari sana dia mengeluarkan laptop mahal milik Gama lengkap dengan charger-nya.

"Wow, laptop mahal, nih," decak Nanang saat melihat merk laptop tersebut. Dia memutar benda persegi itu menghadapnya. "Jadi, bagaimana laptop ini bisa rusak?"

"Laptop itu jatuh dan kena lantai. Lumayan keras," terang Kirana. Dalam hati dia berharap Nanang bisa membantunya. Agar dia tidak perlu ganti rugi dalam jumlah besar.

"Aku coba lihat dulu."

Gama yang tidak mau duduk hanya memperhatikan lelaki setengah gondrong itu mengecek laptop miliknya. Sebenarnya perkara ganti rugi senilai lima ribu dollar itu dia tidak bersungguh-sungguh mengatakannya. Dia hanya suka dan menikmati wajah panik asistennya yang ceroboh itu.

"LCD-nya retak, dan kamu tahu harga LCD ori-nya berapa?" tanya Nanang kepada Kirana saat sudah selesai mengecek laptop tersebut.

"Nggak tau, Mas." Kirana menggeleng. Dia awam soal benda-benda elektronik.

"Yang pasti untuk memperbaikinya nggak murah, bisa sampai setengah harga laptop baru," terang Nanang membuat setengah bibir Kirana terbuka.

Jika harga baru laptop tersebut lima ribu dollar itu artinya dia harus membayar 2500 dollar? Itu masih sangat mahal bagi Kirana. Jika dikonversikan ke rupiah artinya sekitar 35 jutaan. Dengan kata lain, dia tidak akan mendapatkan gaji satu bulan. Itu pun masih kurang lima juta lagi untuk menggenapinya.

"Dan, aku nggak punya modal sebanyak itu, Kirana. Aku sarankan ini dibawa ke tempat servis resminya. Masih ada kartu garansinya, kan?"

"Itu...." Kirana menoleh kepada Gama, bermaksud menanyakan soal kartu garansi, tapi lelaki itu memilih menghindari tatapan Kirana. Sengaja.

Dia lumayan kesal karena Kirana sudah mengerjainya sampai ke tempat ini, hingga lengannya lecet-lecet, perempuan itu sama sekali tidak menghiraukannya.

"Kartu garansinya ada kan?" tanya Nanang lagi, lantas menutup kembali laptop tersebut.

"Aku nggak tau, Mas. Laptop ini punya dia, atasanku. Tapi, aku yang bikin laptopnya rusak."

Pura-pura tidak mendengar ucapan Kirana, Gama bergerak keluar dari ruangan sempit itu.

Nanang mengangguk dan mencoba memahami. "Coba kamu bujuk dia agar memberi kartu garansinya. Kalau punya kartu tersebut, kamu bisa mendapat servis gratis di bengkel laptop resminya," ujar Nanang memberi saran.

"Beneran, Mas?"

"Iya. Kamu tinggal cek nanti tanggal kadaluwarsa kartu garansi sebelum mengajukan klaim."

Kirana melirik Gama yang saat ini sedang berada di luar rumah. Sekarang dia paham, pria itu sedang mengerjainya.

"Oke, kalau begitu aku mau coba membawa laptop ini ke tempat servis resminya. Makasih, ya, Mas." Kirana memasukkan laptop kembali ke tas, lalu berpamitan dengan Nanang.

"Kirana, kamu ... sebaiknya hati-hati sama laki-laki itu," ucap Nanang dengan suara pelan. "Dia sedikit berbahaya."

Kirana ikut melirik arah pandang Nanang. Tanpa lelaki itu bilang pun, Kirana tahu Gama itu bahaya. Bahkan dia sudah merasakan seberapa bahayanya lelaki itu.

"Dia memiliki seorang penjaga. Penjaganya itu sosok tinggi besar, berbadan kekar, dan memiliki kumis melintang seperti Gatotkaca."

Kirana terbelalak. Selama ini Gama memang aneh, tapi dia tidak pernah berpikir sampai ke sana. "Bagaimana Mas Nanang bisa tahu?"

"Aku melihat sosok itu di sampingnya sekarang."

Wanita berambut panjang itu menutup mulut tak percaya.

"Tapi selama makhluk itu nggak mengganggu, kamu aman," ucap Nanang tersenyum.

Di perjalanan pulang, Kirana terus memikirkan ucapan Nanang. Dia merasa waswas berada di dekat Gama. Kejadian makhluk mengerikan yang muncul di kamarnya masih terekam jelas di ingatan.

"Kamu mau mengatakan sesuatu? Kenapa dari tadi melihat saya seperti itu?" tanya Gama, membuat Kirana terkesiap. Gama benar, sejak keluar dari rumah Nanang Kirana terus saja memperhatikan lelaki itu.

Kirana menggigit bibir, lalu diam-diam kembali memperhatikan Gama. "Soal laptop itu Bapak punya kartu garansinya?" tanya Kirana, menjadikan ini waktu yang tepat untuk menanyakan kartu garansi.

"Ada," sahut Gama santai. Namun, justru membuat Kirana merasa kesal tak terkira.

"Kenapa Bapak nggak bilang dari awal? Kalau begini, kan saya nggak perlu repot-repot pusing memikirkan laptop itu dari kemarin."

"Saya sudah bilang untuk membawanya ke layanan servis resmi, tapi kamu kekeh ingin menemui teman kamu itu."

Kirana tidak bisa membantah kenyataan itu. Karena memang dia yang bersikeras. "Tapi seandainya Bapak bilang dari awal bahwa semua bisa diatasi dengan kartu garansi mungkin saya akan menuruti ucapan Bapak." Kirana mengucapkan dengan lirih kata-kata terakhirnya.

"Itu saya lupa."

"Bapak sengaja membuat saya panik. Bapak sengaja melakukan itu," ucap Kirana dengan kepala menunduk. "Setelah semuanya bahkan Bapak tega melakukan ini sama saya," lanjutnya lantas mengigit bibir kuat-kuat agar tangisnya tidak meledak.

Gama memejamkan mata sesaat. Dia tahu kesalahannya besar kali ini. Hanya saja dia tidak mungkin mengakuinya di depan Kirana. Harga dirinya terlalu tinggi untuk meminta maaf secara langsung. Namun, dia berpikir akan melakukannya saat perempuan itu tertidur nanti.

Sepanjang perjalanan menuju ke rumah, Kirana bungkam. Tatapnya terus dia arahkan ke jalanan luar melalui kaca jendela di sampingnya.

***

Sukma menggeram pelan. Dia sendiri tidak percaya apa yang sudah dilakukan tuannya. Merenggut keperawanan Kirana dan membuat hati gadis itu terluka. Meski bukan dari golongan manusia, tapi dia memiliki hati. Masa bodo dengan jin lain yang menganggapnya jin baperan. Wkwk.

"Minta maaf dalam kondisi Nona Kirana sedang tidur itu namanya bukan minta maaf, Tuan. Anda mau minta maaf sama manusia atau patung?" komennya terdengar sinis.

"Lalu menurutmu aku harus meminta maaf terang-terangan?"

"Seorang Ksatria harus bisa dengan jantan mengakui kesalahannya."

Gama melirik sebal kepada khodamnya itu. Jin sialan itu selalu saja berbeda pendapat dengannya.

"Aku lebih tahu apa yang seharusnya aku lakukan. Berhenti menasehatiku seolah kamu makhluk paling bijak sedunia."

Sukma hanya menggeleng pelan melihat kelakuan Tuannya yang kadang sombong dan arogan.

"Anda sudah merebut hal yang paling berharga di hidupnya." Lagi Sukma mengingatkan.

"Aku akan tanggung jawab!" hardik Gama kesal. "Kamu dengar? Aku akan tanggung jawab. Meski nggak semuanya salahku! Asal kamu tahu, Sukma. Dia yang menyuruhku jangan berhenti! Dia menginginkannya juga!"

Masih dengan mimik tenang, Sukma terus mengawasi emosi Gama yang meledak-ledak sembari memainkan ujung kumisnya yang melintang.

"Ini bukan sepenuhnya salahku! Dia juga mau!" teriak Gama lagi.

"Tetap saja yang paling dirugikan itu pihak perempuan. Anda sudah meninggalkan satu jejak di sana yang tidak akan pernah Nona Kirana lupa," ujar Sukma. "Dan, Anda juga akan terus dibayang-bayangi oleh kesalahan Anda sendiri seumur hidup," lanjutnya tersenyum.

"Kamu menyumpahiku, Sukma? Berani sekali!" Gama mengepalkan tangan. Dadanya naik turun, kepalanya terasa mengebul.

"Saya hanya mengingatkan sebagai penjaga Anda, agar mau mengikuti kata hati Anda sendiri." Sukma menyilangkan sebelah tangan kanannya ke dada, lantas pamit dan menghilang.

Meminta maaf secara langsung? Buat apa lagi? Kemarin dia sudah melakukannya, saat Kirana masih tertidur di kamarnya. Tidak peduli Kirana mendengar atau tidak. Yang pasti dia sudah meminta maaf. Titik.

The Devil inside YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang