52. Menggosok Punggung

5.3K 527 18
                                    

Ada perasaan berat yang menggelayut ketika jarak mereka makin jauh dari rumah desa itu. Bukan hanya Kirana, Gama juga. Lelaki itu—entah untuk alasan apa—merasa kehilangan, seiring gerakan mobilnya yang menjauh dari rumah orang tua Kirana berada.

Waktu lima jam rasanya masih kurang bagi Kirana. Rasa rindunya masih saja menggunung, belum luruh sepenuhnya. Nyaris senja keduanya sampai di hotel. Kirana langsung bergerak ke kamar mandi begitu membuka pintu kamar.

"Kirana, saya duluan yang mandi," sela Gama menghentikan langkah Kirana yang hendak masuk kamar mandi. Dengan terpaksa wanita itu mundur, mengalah.

"Silakan, Pak." Dia sadar pasti Gama kecapean setelah menyupir di track yang tidak mudah dilalui. Kirana hendak menuju tempat tidur saat pintu kamar mandi kembali terbuka. Kepala Gama menyembul di sana.

"Bisa tolong gosok punggung saya?" tanya lelaki itu.

Kirana terpana sesaat mendengar permintaan lelaki itu. Tumben sekali Gama meminta sesuatu dengan nada sopan, sampai-sampai Kirana tidak bisa menolak. Meskipun dirinya lelah juga, dia tidak mungkin membantah. Tungkainya bergerak masuk ke kamar mandi menyusul Gama.

"Lengan atas saya juga terasa pegal," ujar Gama yang sudah kembali berendam di bathtub. Lelaki itu memunggungi Kirana.

Sebelum menyentuh punggung Gama dengan sebuah penggosok punggung, Kirana menarik napas dalam-dalam. Bahu lebar dan lengan kekar lelaki itu sedikit membuat dadanya berdebar. Mengingatkannya pada hari saat lengan kokoh itu merengkuh tubuhnya sanggup membuat Kirana merinding.

Mata Gama terpejam kala tangan halus Kirana mulai menggosok punggungnya yang terasa pegal. Dan, saat telapak tangan wanita itu menyentuh kulit lengannya, desiran hangat tiba-tiba hadir, membuat aliran darahnya menderas.

Kirana melakukan tugasnya dengan baik meski jantungnya seperti hendak melompat dari tempatnya. Dia berusaha terus fokus menggosok punggung dan memijat lengan Gama. 

"Apa ini sudah cukup, Pak?" tanya Kirana.

Mata Gama terbuka. "Belum. Bisa kamu pijat tengkuk saya?" pinta Gama lagi.

Kirana hanya mengangguk dan menuruti apa mau pria itu. Dia mulai menekan dan mengurut leher bagian belakang pria itu dengan hati-hati. Menekan dari atas lalu turun melebar ke bagian pundak.

"Ah, enak sekali, Kirana. Otot-otot saya sudah mulai mengendur lagi," ucap Gama. "Apa kamu mau saya pijat juga?"

Kirana menurunkan tangan seketika. Debarannya malah menggila mendengar tawaran Gama.

"Kenapa berhenti?" tanya Gama menoleh ke belakang.

"Tidak apa-apa. Apa ini sudah cukup, Pak?" tanya Kirana lagi. Dia merasa harus cepat keluar dari kamar mandi.

Tanpa Kirana duga, Gama berbalik dan langsung mencekal tangannya. Dia terkejut saat lelaki itu menariknya mendekat. Untuk beberapa saat tatap keduanya bertemu, sebelum telapak tangan Gama pindah ke sisi wajah Kirana.

Harusnya Kirana segera menjauh ketika wajah Gama makin mendekat. Namun, itu tidak dia lakukan. Hingga akhirnya bibirnya kembali lelaki itu bungkam dengan sebuah lumatan yang sanggup menggelitik perutnya.

Kirana melenguh kala ciuman pria tampan itu makin menuntut. Dia merasa sebentar lagi akan kehilangan akal sehat, kalau ini tidak segera dihentikan.

Prakkk!

Ciuman keduanya serta-merta terurai, mendengar suara benda terjatuh tiba-tiba.

"Sial," umpat Gama kesal.

Kirana menoleh dan mendapati sebuah lukisan yang tergantung di dinding depan wastafel terjatuh, teronggok di lantai marmer kamar mandi. Rasa malu sontak menghantam. Tanpa berpikir panjang, dia bergegas keluar dari kamar mandi dengan wajah merah padam.

***

Kirana jatuh terduduk di tepian tempat tidur. Merutuki kebodohannya sendiri yang bisa-bisanya hanya diam saat lagi-lagi Gama bertindak kurang ajar. Matanya merapat. Bertanya pada diri sendiri tentang semua yang terjadi. Ada apa? Ada apa dengan dirinya?

Tanpa sadar air matanya menetes. Belum, dia belum jatuh cinta, tapi rasanya sudah sesakit ini. Rasanya ada sesuatu yang menusuk jantungnya. Nyeri dan perih.

Kirana menggeleng, mengusap pipi dengan kasar. Dia tidak boleh cengeng. Hatinya sangat yakin semua akan baik-baik saja. Ini bukan cinta, bukan.

Ketika sibuk mengusap air mata, pintu kamar mandi terbuka. Sosok Gama dengan rambut yang masih basah keluar dari sana. Handuk putih melilit di pinggangnya.

Lelaki itu melirik Kirana sesaat, lalu bergerak mendekati nakas, menghubungi bagian maintenance hotel.

Kirana bergegas menyiapkan pakaian ganti sebelum bosnya mengamuk. Selembar kaos berkerah berwarna putih serta celana chinos hitam. Dia menyimpan pakaian itu ke atas tempat tidur Gama. Wanita itu tidak sadar jika Gama sudah selesai menelepon dan bergerak mendekat padanya. Hingga ketika tubuhnya berbalik, Kirana terperanjat sampai dirinya jatuh terduduk di atas tepian tempat tidur.

Gama mengernyit dengan tingkah asisten itu. Seperti sudah melihat hantu saja. Tubuhnya sedikit membungkuk dan condong mendekati Kirana. Gama menikmati wajah panik asistennya yang kemerahan. Mata wanita itu sampai harus memicing ketakutan saat wajahnya kembali merapat.

"Kamu bikin baju saya kusut, Kirana," bisik Gama tepat di samping telinga Kirana, membuat mata wanita itu terbuka seketika.

Kirana menoleh ke belakang, ternyata baju yang sudah dia siapkan malah dia duduki. Buru-buru dia menyingkir. 
"Maaf, Pak. Biar saya ganti lainnya saja."

"Nggak perlu. Ini saja nggak masalah." Gama meraih celana panjang dan bergerak membuka lillitan handuk.

"Pak!" seru Kirana, menghentikan tangan Gama yang tengah membuka lillitan handuk. "Pake bajunya di kamar mandi saja." Wanita itu menutup wajah dengan dua tangan.

"Memang kenapa? Toh kamu sudah liat semuanya."

Ya Tuhan, Kirana buru-buru membalikkan badan. "Kalau begitu cepat Bapak pakai."

Diam-diam Gama mengulum senyum. Sembari mengenakan pakaian, lelaki itu terus memperhatikan tingkah lucu asistennya.

"Saya sudah selesai. Kamu bisa membuka mata kamu," ucapnya setelah menaikkan resleting celana.

"Bapak mau makan malam sekarang?" tanya Kirana membalikkan badan dengan ragu. Dia membuang napas lega ketika melihat Gama sudah mengenakan pakaian lengkap.

"Saya mau makan malam di restoran hotel saja. Kalau kamu mau ke Malioboro lagi saya persilakan."

"Serius, Pak? Jadi, saya boleh jalan-jalan sendirian?"

Gama yang tengah menyisir rambut menggumamkan kata boleh. "Kamu harus kembali sebelum pukul sembilan malam."

Kirana tersenyum lebar. "Baik, Pak." Dia lantas segera melesat menuju kamar mandi.

Gama kembali menarik sudut bibirnya ke atas. "Apa sebahagia itu diberi kebebasan?" gumamnya sebelum beranjak mengambil laptop.

"Sudah saya ingatkan agar Tuan tidak berbuat macam-macam di kamar ini. Tuan belum menikahi Nona Kirana," ujar Sukma yang duduk bersila di atas nakas.

Lelaki pemilik tulang hidung tinggi itu mendesah. "Lagi-lagi kamu menyuruhku menikah. Aku cuma menciumnya. Penghuni di sini terlalu sensitif," gerutunya sebal. "Yang dia jatuhkan itu barang milik hotel. Seperti bisa menggantinya saja."

"Kalau Anda sudah menikah dengan Nona Kirana, Anda bisa bebas melakukan apa saja," sahut Sukma lagi.

Gama membuka laptop dan mulai fokus bekerja. "Lebih baik kamu awasi Kirana. Dia mau jalan-jalan sendirian."

"Lalu Anda bagaimana?"

"Aku mau tinggal di kamar saja. Mungkin juga akan meminta layanan kamar untuk mengantar makan malam. Masih ada yang harus aku kerjakan."

_______

Buset deh, di kampung sinyalnya bikin ngelus  dada. Buffering terus, euy.

Oh iya teman-teman, aku mengucapkan selamat hari raya idul fitri bagi yang merayakan. Minal aidzin wal faizin. 🙏

The Devil inside YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang