Lebih dari satu minggu Kirana merawat Kartini hingga benar-benar siap untuk kembali pulang ke rumah. Selama itu pula wanita itu tak hentinya berkabar dengan Gama di Jakarta sana.
Seperti sekarang, dia sedang duduk di halaman belakang rumah sembari melakukan video panggilan dengan Gama.
"Jadi, kapan kamu mau pulang ke Jakarta?" tanya Gama di sana. Lelaki itu tampak masih berada di kantornya.
"Mungkin besok entah lusa." Kirana mengedikkan bahu. "Nanti aku kabari Mas lagi waktunya."
Gama melepas kacamata kerjanya dan mengurut pangkal hidung. "Mau aku jemput?"
"Nggak perlu, Mas. Nanti kamu malah kecapean. Maaf, selama aku di sini nggak bisa bantu kerjaan kamu."
"It's Ok. Ada Lita dan Maria."
Kirana mengangguk. Untuk beberapa saat keduanya hanya diam saling pandang. Jujur, Kirana merindukan lelaki itu. Gama meninggalkan Kirana ketika ibunya selesai operasi. Dan selama kurang lebih sepuluh hari masa pemulihan Kartini, mereka berpisah.
"Kenapa diam?" tanya Gama menjentikkan jarinya.
"Terima kasih. Terima kasih sudah mengizinkan aku lebih lama di sini," ucap Kirana tulus dari lubuk hatinya yang paling dalam. Sungguh luar biasa bagi Kirana, bos yang dulu dia anggap sebagai iblis itu mau bersikap baik padanya.
"Kamu harus membayarnya, Kirana. Jangan kamu pikir semua ini gratis," ucap Gama di sana. Yang lantas membuat senyum simpulnya lenyap seketika.
"Ba-bayar?" cicit Kirana terlihat syok.
Gama mengangguk. "Setelah kamu pulang, aku akan menagihnya."
Ternyata Kirana salah. Sekali iblis tetap saja iblis. Rasanya menyesal sudah berterima kasih padanya.
Gama di sana tampak menyeringai melihat wajah kesal Kirana.
Setelah panggilan video itu berakhir, Kirana menggerutu. "Manusia macam apa dia sebenarnya? Jadi, kebaikannya selama ini cuma pura-pura? Aku seperti sedang dibodohi." Kirana benar-benar menyesal sempat memuji lelaki itu baik.
Dia masuk ke dalam rumah dengan napas naik turun. Wajahnya tertekuk masam, bahkan saat Bayu menyapanya dia mengabaikan. Remaja tanggung itu sampai melongo melihat kakak pertamanya misuh-misuh.
"Mbak Kiran, ngopo e?" tanyanya bingung. Rosma yang baru masuk menimpali.
"Kangen kali mbe bojone." Dia menanggalkan kerudung sekolah yang dipakainya. Lalu beranjak mengambil air minum di dalam kendi bernama gogok. Gogok itu sejenis tempat minum yang menyerupai teko, terbuat dari tanah liat. Air putih yang tersimpan di dalam gogok tersebut rasanya segar dan dingin.
"Beruntung banget, ya, Mbak Kiran punya suami seganteng dan setajir Mas Gama," desahnya setelah membasahi tenggorokannya dengan air dari gogok tersebut.
"Beruntung apanya? Aku lho malah cemas mereka akhirnya menikah," ucap Bayu duduk di amben.
Mata Rosma menyipit. "Apa yang kamu cemasin? Mbak Kiran hidupnya bakal enak bersama Mas Gama. Dikuliahin lagi, punya rumah bagus, kerjaan enak dan hidupnya mewah. Ya ampun, impian semua wanita banget." Gadis tujuh belas tahun itu menangkupkan dua tangannya membayangkan hidup mewah bak putri raja.
Melihat kelakuan kakaknya itu, Bayu menghela napas panjang. "Aku malah nggak merasa Mbak Kiran akan hidup seperti yang kamu bayangin, Mbak. Secara logika aja ini kayak nggak masuk akal."
"Apanya yang nggak masuk akal?"
"Ya coba kamu pikir aja. Kita ini dari keluarga yang nggak punya, masa Mas Gama tiba-tiba mau menikah dengan Mbak Kiran? Pasti ada benefit yang Mas Gama terima."
Rosma berdecak mendengar analisa adiknya. "Kamu itu kebanyakan baca buku thriller jadi begini bawaannya curigaan mulu. Dah, ah. Aku mau lihat ibu." Rosma beranjak meninggalkan Bayu yang masih saja tampak berpikir tentang pernikahan Kirana yang baginya masih janggal.
***
"Kamu harus segera balik ke Jakarta, Kiran," ucap Kartini saat Kiran membantunya mengenakan pakaian. "Ibu udah sehat kok. Dan sudah mulai bisa beraktivitas sendiri."
"Iya, Bu." jika tidak mengingat kebutuhan hidup keluarganya, Kirana enggan berangkat ke Jakarta. Namun, sekarang bebannya bukan hanya bekerja, selain itu dia menyandang status baru, istri Gama. Tepatnya istri siri Gama.
"Kasihan suami kamu kalau kamu tinggal lama-lama," ucap ibunya lagi.
"Ibu kamu benar, Nduk. Kami bisa kok jaga ibu kamu," ujar Sunarso yang baru saja memasuki kamar. "Jadi, kamu nggak usah mengkhawatirkan ibu."
Mungkin memang Kirana sudah harus berangkat. Dari kemarin ayah dan ibunya berisik menyuruhnya pulang ke Jakarta.
"Kiran besok akan pulang naik kereta," sahut Kirana, dia sudah memesan kereta untuk keberangkatan pagi.
"Muka kamu jangan cemberut gitu tho, Nduk. Liat, ibu kamu aja udah seger banget begitu."
"Kiran nggak cemberut kok. Cuma masih ingin di sini lebih lama lagi aja."
Sunarso menarik napas panjang lalu menepuk bahu putrinya pelan. "Kamu katanya juga kuliah kan? Katanya mau jadi sarjana."
Tidak seharusnya Kirana bersikap seperti ini di depan orang tuanya. Baiklah, dia tidak boleh menjadi wanita manja. Bibirnya mengulas senyum sedikit.
"Memangnya kamu nggak kangen sama suami kamu yang ngganteng itu?" goda Kartini mencubit pinggang Kirana.
"Apaan sih, Bu. Ndaklah, ngapain kangen," sahut Kirana malu-malu.
"Heleh, pengantin baru kan pasti maunya bersama-sama terus. Ini malah belum malam pertama udah terpisah."
Kirana mencebikkan bibir. "Ya nggak apa-apa tho, Bu. Kan yang penting ibu sehat dulu." lengannya merangkul bahu ibunya dengan sayang. "Janji ya, Bu. Jangan bikin Kiran cemas dan takut lagi. Ibu dan Bapak di sini harus sehat semua."
"Insyaallah. Kami akan menjaga kesehatan. Soalnya kami ingin melihat cucu kami," sahut Sunarso, membuat Kartini terkekeh dan membenarkan ucapannya.
Semantara Kirana memanyunkan bibir dengan muka merah, menahan malu. "Ibu sama Bapak ngomong opo tho."
Kekehan itu makin panjang. "Anakmu malu, Bue."
Kirana buru-buru keluar dari kamar daripada mendapat ledekan terus dari orang tuanya.
Pukul sembilan pagi, Kirana sudah ada di Stasiun Yogyakarta. Kereta yang akan membawanya ke Jakarta akan tiba sekitar lima belas menit lagi. Hanya Sunarso dan Bayu yang mengantarnya ke stasiun kota.
Kirana baru saja selesai melakukan check in dan segera beranjak menghampiri adiknya yang tengah menunggunya di kursi tunggu.
"Bapak sama Bayu nggak bisa ikutan masuk ke sana. Jadi cuma bisa antar Kiran sampe sini," ucap Kiran menunjukkan tiketnya.
"Ya udah nggak apa-apa, Nduk. Kamu hati-hati saja nanti di kereta," sahut Sunarso, dia lantas memeluk putrinya. "Sampaikan salam bapak buat suami kamu."
"Yu, titip ibu sama Bapak, ya." Kirana berpamitan ke adiknya setelah melepas pelukan ayahnya.
"Beres, Mbak. Mbak di sana baik-baik, ya. Semoga Mbak Kiran selalu bahagia," ucap Bayu tersenyum kecil. Ada rasa nggak rela saat Kirana pamit.
Perlahan Kirana melangkah mundur dan melambaikan tangan. Dia lalu memasuki pintu utama menuju peron.
"Mas Gama bakal jagain Mbak Kiran dengan baik nggak yo, Pak?" tanya Bayu begitu Kirana menghilang dari balik dinding pembatas ruang tunggu.
"Yo iyo, dia kan suami Mbak kamu."
"Bayu takut eh, Pak. Takut Mas Gama ndak bisa bahagiain Mbak Kiran."
"Kamu ngomong opo tho, Le. Doakan yang baik-baik buat mereka ngono lho. Jangan malah mikir yang tidak-tidak."
Bayu nyengir, lalu menggaruk belakang kepalanya. "Rasanya aneh yo, Pak. Tahu-tahu Mbak Kiran udah jadi istri orang," ucapnya lantas terkekeh.
__________
Bentar lagi aku tamatin ya, Gaes.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Devil inside You
Romance"Kamu pikir, kamu itu siapa?! Berani sekali mengatur hidupku." Gama menatap tajam, penuh intimidasi kepada wanita yang kini terpojok dengan bibir bergetar. "Kamu itu cuma asisten! Aku ingatkan sekali lagi posisimu. Kamu itu cuma asisten!" bentak G...