47. Meninjau Pabrik

4.7K 492 31
                                    

Beberapa detik lalu seluruh tubuhnya terasa kebas. Tidak banyak yang bisa Kirana lakukan selain mematung. Berdiam ketika Gama memberikan sentuhan lembut pada bibirnya. Lelaki itu masih menunduk, memeluknya dengan erat sembari mengulum bibir bawahnya.

Tidak ada balasan. Kirana tetap memilih diam. Meski dirinya sudah tidak memberontak lagi.

Pelan akhirnya wajah Gama menjauh. Ibu jarinya mengusap bibir tipis Kirana yang basah. Tidak ada ekspresi apa pun pada wajah Kirana. Wanita itu tidak marah atau mengucapkan apa pun sebagai lambang rasa kesal karena lagi-lagi Gama bertindak kurang ajar dan impulsif.

Kaki Gama melangkah mundur lalu berbalik. "Kamu sudah siap kan? Kita keluar sekarang saja," ujar Gama sembari mengambil ponsel dan dompetnya. Seperti tidak pernah terjadi sesuatu, lelaki itu beranjak menuju pintu.

Kirana melepas napas dan mengusap wajah. Isi kepalanya mendadak rumit. Dia tidak mengerti sebenarnya apa yang Gama inginkan darinya lagi. Meraih tas, dia segera beranjak menyusul Gama. Seperti lelaki itu, dia pun akan bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Gama masih berdiri di depan lift ketika Kirana keluar. Lelaki itu sengaja menunggu agar bisa sama-sama ke restoran. Suasana canggung tiba-tiba menyergap ketika keduanya berdiam di dalam elevator. Satu sama lain tidak ada yang memulai obrolan hingga tiba di lantai tempat restoran berada.

Kirana langsung bergerak menuju buffet untuk memilih menu sarapan setelah meng-scan kartu kamarnya. Selain aneka roti dan nasi, terdapat juga menu sarapan tradisional seperti  gethuk, cenil, kue putu dan klepon. Dia mengambil bubur sumsum yang dicampur bubur mutiara, gethuk, cenil serta teh hangat.

Sementara Gama, seraya terus mengawasi Kirana, dia mengambil menu aneka roti, bubur kacang hijau dan teh hangat. Dia menyusul Kirana yang sudah lebih dulu duduk.

"Kamu habis makan sarapan begitu banyak?" tanya Gama mengedikkan dagu ke arah nampan Kirana.

Kirana tidak menjawab, pura-pura menganggap lelaki itu tak ada. Dia lebih memilih menikmati sarapan paginya daripada bercengkrama dengan atasannya itu. Hingga makanan pada nampannya tandas, Kirana masih membisu.

Gama sadar Kirana sedang mendiamkannya. Dan karena rasa egois yang tinggi, dia pun memutuskan bungkam. Membiarkan wanita itu tenggelam dalam pikirannya sendiri.

"Sebaiknya Anda meminta maaf. Padahal sudah saya ingatkan jangan bertindak macam-macam," ucap Sukma, melihat Kirana membisu dan memasang wajah lempeng tanpa ekspresi.

"Meminta maaf untuk sebuah ciuman? Aku nggak akan melakukannya," tolak Gama. Harga dirinya bisa jatuh kalau dia meminta maaf.

"Nona Kirana itu wanita baik-baik, nggak seharusnya Anda memperlakukan dia seperti ini. Belum cukup kah Anda membuatnya terluka?"

Gama melirik kesal penjaganya itu, lalu mendengus. Lagi-lagi dia diingatkan tentang kesalahannya. Entah sudah berapa kali Gama katakan bahwa semua yang terjadi bukan paksaan. Seandainya paksaan sudah pasti Kirana akan melaporkannya ke polisi.

"Kalau pun Nona Kirana melaporkan Anda ke polisi, mereka pasti tidak bisa membantunya karena dia tidak memiliki bukti," ucap Sukma suatu kali. "Malang benar nasib gadis itu."

Saat ini Gama tengah menunggu Kirana di dalam mobil yang dia sewa. Wanita itu bilang akan mengambil barang-barang yang dia beli di pasar kemarin.

"Sedikit saja Anda mengalah, Tuan." kembali Sukma memberinya nasihat.

"Lebih baik kamu diam, Sukma. Aku tidak butuh petuahmu!" hardik Gama jengkel.

Sukma hanya bisa menggeleng, lalu segera pindah posisi ke bagian belakang mobil begitu melihat Kirana keluar dari lobi hotel. Wanita itu menyimpan barang-barang segambreng yang dia beli ke jok belakang tepat di sebelah Sukma. Setelahnya dia bergerak masuk ke pintu depan, duduk bersebelahan dengan Gama.

"Sudah nggak ada yang tertinggal?" tanya Gama melirik Kirana dengan ujung matanya.

Wanita itu hanya menggeleng tanpa menoleh, lalu pandangannya beralih ke tablet yang baru saja dia keluarkan dari tas.

Pelan Gama membuang napas, lalu bergerak melajukan mobil meninggalkan halaman hotel. Membelah jalanan pagi Kota Jogja yang lumayan... Dingin.

Pabrik yang rencananya akan memproduksi pakaian jadi ada di wilayah Bantul. Seperti apa yang sudah Kirana bilang sebelum insiden ciuman itu terjadi,  seorang laki-laki bernama Pak Dharma sudah berdiri dari kejauhan. Dan begitu mobil Gama menepi tepat di parkir depan pabrik, lelaki berambut klimis itu menyambut kedatangan mereka.

"Selamat pagi, Pak Gama dan Bu Kirana. Bagaimana perjalanannya? Menyenangkan?" sambut Pak Dharma menjabat tangan keduanya berganti.

"Pagi Pak Dharma. Jogja memang kota yang luar biasa jadi perjalanan kami benar-benar menyenangkan," sahut Gama terdengar ramah, sangat kontras sikapnya jika sedang berbicara dengan Kirana.

Pak Dharma langsung mengajak mereka untuk meninjau pabrik. Menjelaskan beberapa detail masing-masing station di departemen produksi. Produk pakaian jadi ini berbahan dasar kain sutra  yang akan diekspor ke luar negeri. Jadi, memang membutuhkan sumber daya manusia yang berpengalaman dalam mengolah lembaran kain menjadi benda siap pakai. Lantaran bahan bakunya sendiri sudah terbilang cukup mahal, Gama tidak ingin mempekerjakan orang bagian produksi secara asal.

"Terakhir adalah bagian packing. Yang rencananya berada tepat di sini, Pak," ucap Pak Dharma mengakhiri tour mereka di departemen produksi.

"Katanya hari ini ada rencana pemasangan mesin produksi, Pak?"

"Benar, Pak. Seperti yang Bapak lihat mesin-mesin pemotong dan jahitnya sudah berdatangan. Kami akan mengurusnya bersama para teknisi dan maintenance kami. Progressnya akan terus kami laporkan ke pusat," tandas Pak Dharma.

Kurang lebih sekitar dua jam Gama dan Kirana berada di Pabrik. Sekitar pukul setengah sebelas keduanya meninggalkan pabrik dan bertolak ke desa tempat tinggal orang tua Kirana.

"Apa kamu akan memasang wajah seperti itu terus bahkan di depan orang tuamu nanti?" tanya Gama saat kembali melalui jalanan kota.

Sepanjang melakukan peninjaun Kirana lebih banyak diam. Dia hanya sesekali menyahut, selebihnya Gama yang terus berinteraksi dengan Pak Dharma. Sampai sekarang pun rasanya wanita itu malas mengeluarkan kata-kata.

"Fine, saya minta maaf. Tadi pagi itu saya refleks," cetus Gama akhirnya. Dia mengembuskan napas kasar, lalu kembali fokus memperhatikan jalanan. Namun, tidak ada reaksi apa pun dari Kirana.

"Kamu benar-benar akan terus mendiamkan saya, Kirana?" tanya Gama mulai tak sabar.

"Minta maaf dengan ikhlas, Tuan. Kalau Anda begini, kentara sekali jika Anda minta maafnya karena terpaksa," sahut Sukma yang duduk di jok belakang.

Gama mendengus. Paling malas berurusan dengan wanita, ribet. Kalau ngambek lama.

"Kalau kamu terus mendiamkan saya, kita batalkan rencana ke rumah orang tua kamu."

Ucapan Gama kali ini dengan cepat mendapat respons dari Kirana. "Bapak nggak bisa seenaknya membatalkan janji begini dong."

Sudut bibir Gama naik ke atas. "Harus diancam begini kamu baru mau merespons. Kenapa pita suaramu beberapa saat lalu? Rusak?"

Kirana melengos sebal. Lelaki sombong itu benar-benar pandai membuatnya jengkel. Harusnya Gama sadar kelakuan minusnya-lah yang membuat Kirana jadi seperti ini. Main nyosor seenak jidatnya sendiri.

"Saya harap Bapak tidak mengulangi kejadian tadi pagi," ucap Kirana pelan.

"Saya nggak janji."

Jawaban Gama membuat Kirana serta-merta menatap kesal lelaki yang tampak fokus mengemudi itu. Seandainya membunuh itu halal, dia akan melakukannya sekarang juga. Menikam Gama ketika sedang konsentrasi menyetir sepertinya menyenangkan.
                                                                                            
_________

Malam ini aku mau mudik, teman-teman. Jadi, aku up sekarang. Doakan perjalanannya lancar ya.

The Devil inside YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang