63. Gegana

5.2K 642 93
                                    

Gama tidak bisa tidur. Dia berguling di atas kasur. Sedikit-sedikit mengubah posisi. Kadang miring, tengkurap, atau terlentang. Yang dia rasakan gelisah. Ucapan Kirana ketika dalam perjalanan pulang ke rumah yang menyebabkan dia seperti ini. Bibirnya terus saja menggumam, dan mengulangi jawaban Kirana.

"Apa yang kamu pikirkan ketika melihat matahari itu?"

"Kamu, Mas."

Saat itu Gama tertegun, dan anehnya koleksi kosakata yang dia punya mendadak raib entah ke mana. Hilang bak ditelan kegundahan. Bibirnya mengatup rapat hingga dirinya tiba di rumah lagi.

Gama menggeram dan menyingkap selimut. Dia terbangun dan kepalanya sontak menoleh, melirik jam dinding yang menunjukkan angka satu. Pukul satu dini hari, tapi dia masih terjaga hanya karena satu kata yang Kirana lontarkan. Sialan.

Kakinya beranjak turun dari ranjang. Tangannya lantas menggapai air putih yang selalu Kirana sediakan di nakas dekat tempat tidurnya. Segala tentang Kirana akhir-akhir ini mengganggunya. Gama tidak paham sebabnya apa, tapi itu benar-benar menyebalkan. Membuat konsentrasinya berceceran, dan beberapa kegiatannya berantakan.

Suara merdu burung hantu tengah malam terdengar, disusul lolongan anjing yang saling bersahutan. Terdengar menyeramkan bagi yang tidak terbiasa mendengar. Namun, bagi Gama itu hal biasa, sudah menjadi hiburan tiap malamnya juga saat terjaga seperti ini.

Angin malam berembus menggoyangkan tirai panjang jendela kamar yang terbuka, tepatnya tiba-tiba terbuka. Itu juga hal yang biasa untuk Gama, selama ada Sukma di dekatnya tidak akan ada yang berani mengganggunya.

"Tuan, kenapa belum tidur?" suara Sukma terdengar, sosoknya keluar dari balik sebuah guci yang berada di pojokan kamar. Guci yang diimpor langsung dari Cina itu menjadi salah satu tempat favorit Sukma.

"Apa Anda sakit?" tanya Sukma lagi, sembari menahan kuap. Meski makhluk halus dia juga butuh tidur. Wkwk.

"Sakit?" Gama berpikir apa yang seperti ini bisa disebut sakit? "Aku nggak tau. Sebelumnya aku nggak pernah merasa resah seperti ini."

"Ini sudah pukul satu dini hari, Anda masih saja gegana."

Gama mengerjap. "Gegana?" Kernyitan samar tampak pada dahinya yang lebar.

"Iya, gelisah galau merana. Masa Tuan tidak tahu?" cibir Sukma merasa sok pintar.

Bola mata Gama berputar. Apa pun istilah yang Sukma lempar, dia tidak peduli. "Apa Kirana sudah tidur?"

"Sekarang waktunya orang tidur, Tuan masih bertanya? Bukankah besok Tuan bekerja? Lebih baik Tuan istirahat. Saya juga mau lanjut istirahat." Sukma hendak berbalik dan akan masuk ke dalam guci, tapi Gama buru-buru mencegahnya.

"Tunggu, tolong kamu lihat kamar Kirana. Apa dia sudah tidur?" Gama menelan ludah, permintaannya mungkin terdengar absurd, tapi dia benar-benar penasaran.

Penjaga Gama yang terlihat mengantuk itu menjentikkan jarinya, lalu sebuah balon udara yang menampilkan sosok Kirana sedang terlelap terlihat di sana.

"Anda lihat? Nona Kirana sudah pulas. Mungkin mimpinya sudah sampai ke Jogja sekarang," ucap Sukma, menghela napas.

Melihat itu Gama malah melebarkan mata dan terlihat sebal. "Bagaimana dia bisa lelap begitu, sementara aku nggak bisa tidur?" Dia seolah tidak terima.

"Kalau begitu mending Anda tidur, jangan salahkan Nona Kirana, dia manusia normal yang jam segini sudah terlelap."

"Kamu mau bilang aku nggak normal, begitu?!" Gama menggeram keras.

"Saya tidak bilang begitu."

"Sana pergi, ucapanmu bikin aku tambah emosi saja." Sekali lagi Gama melirik wajah Kirana yang tampak tidak ada beban, padahal gara-gara wanita itu dia kesulitan tidur malam ini.

"Oke." Sukma menghilangkan balon udara yang menampilkan Kirana. Lalu dia segera masuk ke dalam guci.

"Kirana, kamu menyebalkan," gumamnya dengan bibir manyun.

***

Kirana mengetuk pintu kamar Gama, lalu menekan handle dan mendorongnya perlahan. Langkahnya terayun masuk, dan tatapnya tidak menemukan Gama di tempat tidurnya. Dia langsung menuju walk in closet untuk menyiapkan pakaian kerja lelaki itu setelah menyimpan satu botol infus water ke atas nakas.

Pilihannya jatuh ke sebuah kemeja berwarna silver plus dasi hitam. Dia juga mengambil satu setel jas, vest, dan pants berwarna abu untuk melengkapi penampilan bosnya hari ini. Dia lantas kembali menuju tempat tidur untuk merapikan kasur dan sprei yang berantakan.

Sampai dia selesai beres-beres, Gama tak kunjung keluar dari kamar mandi. Dia bergeser menuju ke pintu kamar mandi dan mengetuk bilah lebar berwarna putih tersebut.

"Mas, masih di dalam?" tanya Kirana dengan nada suara sedikit tinggi. Tidak ada bunyi gemericik air. Semuanya terdengar tenang. Tangan Kirana hendak mengetuk permukaan kayu itu lagi namun bunyi sesuatu jatuh ke lantai mengejutkannya. Sebuah pekikan menyusul kemudian.

"Aww!"

Mata Kirana melebar melihat bosnya terperenyak di lantai, tepat di bawah sofa. "Astaga, Mas Gama!" Dia bergegas menghampiri Gama. "Kenapa bisa jatuh begini, sih?"

Gama cuma meringis, dan menyambut uluran tangan Kirana yang membantunya berdiri.

"Mas nggak apa-apa?" tanya Kirana lagi.

"Saya jatuh, Kirana, masih tanya nggak apa-apa," sahut Gama ketus.

"Saya kira Mas lagi mandi tadi."

Gama berdecak. "Saya semalam ketiduran di sofa. Masa manusia sebesar ini kamu nggak lihat?"

Dengan bantuan Kirana dia duduk di tepian tempat tidur. Wanita itu lantas mengambil botol infus water yang sudah dia buka tutupnya, dan menyerahkannya kepada lelaki itu.

Kirana biarkan Gama menghabiskan isi botol tersebut. "Kenapa Mas tidur di sofa, kenapa dengan ranjang tidur ini?"

"Ranjang tidur ini terlalu dingin, nggak ada yang menghangatkan," jawab lelaki itu asal. Matanya melirik Kirana, ingin tahu reaksi wanita itu mendengar jawabannya.

"Kalau begitu beli penghangat ruangan. Nggak cuma ranjang nanti yang hangat, seluruh sudut ruangan bakal hangat juga," sahut Kirana dengan polosnya. 

Dan itu sukses membuat decakan Gama mengudara. Dia lantas beranjak berdiri. "Aku mandi dulu."

"Bajunya sudah siap. Saya harus ke bawah dulu sebentar."

"Jangan lama-lama, saya mandinya cepat," teriak Gama dari dalam kamar mandi.

"Dasar manja," gumam Kirana lalu segera keluar dari kamar Gama untuk turun ke lantai bawah.

Di lantai bawah tepatnya di meja makan, si Mbok tampak sedang merapikan peralatan makan.

"Den Gama belum bangun, Nduk?" tanya si Mbok, yang hari ini mengenakan kain batik dengan atasan sebuah kebaya berwarna maroon.

"Sudah, Mbok. Dia sedang mandi."

"Mbok sudah siapkan makan pagi buat kalian. Sana, lebih baik susul dia, nanti marah-marah lagi kalau kamu nggak ada," ucap si Mbok yang sangat tahu tabiat majikannya.

Mata bening Kirana memindai isi meja. "Oke, makasih, ya, Mbok," ucapnya seraya tersenyum.

"Kapan kalian menikah?" tanya si Mbok tiba-tiba.

Kirana sampai terbengong sendiri. "Menikah?"

Wanita tua itu mengangguk sembari tersenyum. "Iya, kamu dan Den Gama, kapan akan menikah?"

Kirana tertawa canggung mendengar lelucon ini. Bagaimana bisa menikah? Dia dan Gama bukan sepasang kekasih, hanya sebatas pembantu dan majikan.

"Kenapa si Mbok tiba-tiba tanya begitu? Saya dan Mas Gama itu cuma pembantu dan majikan, bukan sepasang kekasih. Mbok ini ada-ada saja." Dia beranjak hendak naik lagi ke lantai dua. Tapi ....

"Mbok pikir kamu orang yang tepat, Nduk. Buatlah dia merasa nyaman di samping kamu."


_____________

Kok Gama makin ke sini makin ke sana ya? Bhahahaha.

Yuk, Gaes. Goyang jempolnya lagi. Thanks buat yang always gak jadi silent reader 😘




The Devil inside YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang