"Mbak nginep di sini, kan?" tanya Bayu ketika mereka kembali lagi ke rumah.
Saat ini ketiga kakak-beradik itu sedang berkumpul di kamar Rosma, kamar yang sama pernah Kirana tempati dulu.
Kepala Kirana menggeleng. "Kayaknya enggak, bos Mbak mana mau tinggal di gubuk kita."
Bibir Rosma mencebik kecewa. Dia padahal berharap mereka bisa tinggal meskipun semalam. Tapi, gadis 17 tahun itu sadar rumahnya memang sudah tidak layak huni. Pandangannya refleks menyapu atap rumah yang kalau hujan bocor lalu helaan napasnya terdengar berat.
"Coba rumah kita udah direnovasi, pasti Mas Gama mau menginap di sini," ujarnya terdengar sedih.
Kirana meraih tangan adiknya, dan menepuknya perlahan. "Sabar, ya. Doakan Mbak, biar bisa ngumpulin uang banyak. Jadi, kita bisa renovasi."
"Aku juga ingin cepat lulus biar bisa bantu Mbak Kiran nyari duit."
"Nggak usah dipikirin. Kamu belajar dulu yang bener."
Kirana lantas menoleh kepada Bayu yang dari tadi hanya diam menatap kedua kakaknya. "Kowe ngopo meneng ae?" tanya Kirana heran. (kamu kenapa diam aja?)
"Mbak Kiran kontrak berapa tahun sama Mas Gama?" tanya anak itu tiba-tiba. Kediamannya dari tadi memikirkan perihal kontrak kerja kakaknya.
"Sebenarnya Mbak masih dalam masa percobaan, sih. Nanti kalau udah enam bulan kerja, baru deh tanda tangan kontrak kerja yang sesungguhnya," sahut Kirana. Namun, sejurus kemudian keningnya berkerut. "Kenapa kamu tiba-tiba nanya kontrak kerja Mbak?"
Alih-alih menjawab, remaja lima belas tahun itu meringis. "Nggak po-po, sih, gur teko tok." (nggak apa-apa, sih, cuma tanya doang)
"Boleh nggak, sih, kalau aku lulus sekolah kerja di tempat Mas Gama? Mbak bisa masukin aku ke sana nggak?" tanya Rosma dengan wajah penuh binar.
"Nggak tau kalau itu, Ros. Mbak juga kan nggak sengaja kerja jadi asistennya Pak Gama. Kan awalnya Mbak cuma daftar jadi cleaning servis. Ya, kan Mbak cuma lulusan SMA, bukan sarjana," terang Kirana. Ingatannya sontak kembali ke waktu pertama kali dia mendapat tawaran menjadi asisten bos. Semua benar-benar mendadak, dan tidak ada persiapan apa pun.
"Cleaning servis kok bisa jadi asisten bos, sih?"
Kirana mengangkat bahu. "Mbak juga nggak tau. Bingung juga waktu itu tiba-tiba orang HR nawarin jadi asisten pribadi CEO."
"Mas Gama itu CEO juga?" tanya Bayu melebarkan mata.
"Iya, CEO sekaligus owner, sih."
Tiba-tiba Rosma menyatukan tangannya, lalu pandangannya menerawang ke atas. "Cowok impian aku banget Mas Gama."
"Cuma impian, kan? Berarti emang cuma ada di mimpi," cibir Bayu membuat Rosma mendengus.
"Intinya kalau kalian mau kerja di perusahaan Pak Gama ya, harus sarjana dulu. Nanti bisa deh daftar yang bagian kantornya. Kalau cuma lulusan SMA atau SMK ya paling jadi operator produksi doang. Nah, kayak sekarang tuh, di pabrik Pak Gama di Bantul lagi buka lowongan buat operator produksi," terang Kirana lagi.
"Sek, Mbak. Apa nama pabriknya itu PT. Sri Jaya Sakti?"
"Nah, benar, Ros. Di BKK dekat sekolah kamu buka lowongan nggak?"
"Owalah, jadi pabrik itu punya Mas Gama? Keren banget. Bulan lalu banyak yang daftar lewat BKK SMK sebelah, Mbak."
Kirana mengangguk. "Ini cabang ketiga. Ada juga di Semarang dan Ngawi kalau nggak salah."
Dua remaja di depan Kirana menganga takjub. "Dia pasti kaya raya," bisik Bayu.
Soal itu Kirana tidak berkomentar. Tanpa dia sahuti pun pasti mereka tahu.
"Rasanya kayak apa ya jadi orang tajir melintir di usia muda begitu?" Bayu mengetuk-ngetuk dagunya. Entah pertanyaan itu ditujukan pada siapa.
***
Telinga Gama mendadak berdengung. Dia bisa merasakan seseorang tengah membicarakannya. Mata tajamnya lantas melirik ke dalam rumah. Dia mendengar ada tawa di sana. Lalu entah bagaimana tawa itu bisa membuatnya melengkungkan bibir ke atas.
"Nak Gama mau menginap di rumah kami?" tanya Sunarso yang tengah sibuk memindahkan kayu yang sudah kering ke sisi rumah.
"Sepertinya nggak, Pak. Besok soalnya sudah harus pulang ke Jakarta," sahut Gama. Dia lantas bergerak mendekati Sunarso. "Mau saya bantu, Pak?"
"Eh, nggak usah, Nak. Sudah, sudah, duduk saja. Ini juga sudah hampir selesai. Nanti tangan Nak Gama malah kotor."
Gama mundur lagi dan memutuskan duduk di kursi panjang di dekat pintu depan rumah.
"Kenapa, ya, Pak, tempat ini rasanya nggak asing buat saya?" tanya Gama seraya mengawasi area sekitar rumah. "Padahal ini pertama kalinya saya datang ke sini."
Sunarso menoleh sesaat. "Kok bisa begitu, ya, Nak?"
"Saya juga nggak tau, Pak. Di sini saya merasa lebih tenang daripada di Jakarta. Padahal juga saya lahir dan besar di Jakarta."
Sunarso mengangkat kayu terakhir, dan menaruhnya di tumpukan paling atas. "Mungkin hanya dejavu, Nak. Saya juga sering merasa begitu."
Kepala Gama sontak mengingat soal tanda lahir di punggung kanan Kirana. Dia tergelitik menanyakannya. Hanya saja bagaimana caranya? Lokasi tanda lahir itu terletak di bagian tubuh Kirana yang tertutup, rasanya aneh kalau Gama menanyakannya. Dia memutuskan menelan rasa penasaran itu.
"Bayu itu istimewa, ya, Pak? Pasti sulit menjadi dirinya."
Sunarso menghentikan aktivitas sejenak. Dia lantas beranjak menuju tempat penampungan air, menyiduk isinya dengan tempurung kelapa bertangkai yang menyerupai gayung. Dia lantas mencuci tangannya.
"Nak Gama tahu dia memiliki kemampuan bisa melihat makhluk halus, ya?"
Respons Sunarso tampak santai. Dia sepertinya tidak merasa keberatan Gama mengetahui fakta itu."Iya, Pak. Dia sama seperti saya."
Sunarso tersenyum sembari mendekati Gama. "Saya juga tahu, Nak. Kamu memiliki penjaga yang selalu ada di sampingmu itu, kan?"
Serta-merta Gama terperanjat. Dari pertama dia datang, lelaki setengah baya itu tampak tidak bereaksi apa pun. Pembawaannya begitu tenang. Tidak seperti Bayu, yang langsung pucat pasi begitu melihat keberadaan Sukma.
"Bapak bisa melihatnya?"
Sunarso tersenyum seraya mengangguk. Dia lantas menghela napas dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Apa Nak Gama tahu juga keadaan yang sebenarnya di tempat ini?"
"Penjaga saya menutup mata batin saya, Pak. Untuk saat ini hanya dia yang bisa berinteraksi dengan saya. Saya juga tidak tahu, kenapa dia melakukan itu."
"Dia sudah menjagamu dengan baik, Nak. Mata batin Bayu juga sudah saya tutup sebenarnya, hanya saja terkadang dia masih bisa melihat mereka."
"Memangnya di sini ada apa saja, Pak? Saya cuma dikasih tahu bahwa di depan itu ada gapura yang dijaga makhluk bermata bulat. Selebihnya Sukma tidak memberitahu apa-apa lagi." Dia jadi penasaran apa saja yang sebenarnya ada di lingkungan rumah orang tua Kirana ini.
Satu hal lagi yang Gama baru sadari. Dia tidak bisa membaca pikiran lelaki di sampingnya ini. Sama seperti dirinya kepada Kirana.
"Lebih baik, Nak Gama nggak perlu melihat."
Obrolan keduanya belum berakhir ketika Kirana dan dua adiknya, serta ibunya keluar. Gama menoleh dan menemukan Kirana sudah menenteng tas.
"Kita sebaiknya kembali sekarang, Pak. Nanti kemalaman," ujar Kirana. Menengok jam tangan.
"Oke." Gama bergerak turun dari kursi panjang bambu itu.
"Mas Gama nggak mau nginep di sini barang semalam aja, gitu?" tanya Rosma dengan nada manja.
Gama menatap Kirana sesaat, lalu tatapnya beralih ke Rosma. "Mungkin lain kali. Kalau kami datang ke Jogja lagi," sahut Gama, membuat bibir Rosma mencebik.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Devil inside You
Romance"Kamu pikir, kamu itu siapa?! Berani sekali mengatur hidupku." Gama menatap tajam, penuh intimidasi kepada wanita yang kini terpojok dengan bibir bergetar. "Kamu itu cuma asisten! Aku ingatkan sekali lagi posisimu. Kamu itu cuma asisten!" bentak G...