Kirana dipaksa memilih barang yang dia suka. Namun, melihat harganya saja Kirana sudah tidak minat. Dia hanya terus menggeleng ketika Raja menawarkan satu per satu tas yang ada di etalase.
"Atau kamu mau merk lain, Gucci, LV, Dior, Burberry, Givenchy, Fendi atau ...."
"Enggak, Pak. Saya nggak mau." Kirana menatap lelaki itu putus asa, lantas melirik jam tangannya. "Mungkin lebih baik kita langsung makan saja, Pak."
Raja kembali tersenyum. "Oke. Tapi, tunggu. Saya ada sesuatu buat kamu, tapi kali ini saya mohon kamu jangan nolak."
Dahi Kirana berkerut, dia lantas menurut saja ketika Raja membawanya menaiki lift menuju 10th floor. Lelaki itu membawanya ke salah satu gerai elektronik yang menjual produk smartphone. Kirana membiarkan Raja berbicara kepada salah seorang pramuniaga di sana, sementara dirinya berkeliling untuk melihat produk yang dijual.
"Kirana," panggil Raja, tangan lelaki itu menunjukkan sebuah smartphone yang memiliki logo bergambar apel digigit.
Kirana mendekat dan melihat apa yang Raja tunjukkan. "Pak Raja mau beli ponsel baru?" tanyanya.
Raja tidak menjawab dan tersenyum. "Bagus enggak?"
"Bagus, kok."
"Oke." Raja kembali menghadap pramuniaga. "Saya mau ini, ya, Mas."
Kirana menelan ludah melihat bagaimana dengan mudahnya Raja membayar benda seharga lebih dari dua puluh juta itu. Dia lantas menghela napas dalam dan tidak begitu peduli.
Secanggih apa pun ponsel di sini, itu tidak akan membuat Kirana tergiur. Dia cukup tahu mengukur diri. Memiliki ponsel merk Cina murahan saja sudah lumayan, Kirana tidak mengharapkan apa pun, yang terpenting dia bisa menghubungi orang tuanya di kampung. Peduli setan dengan gaya dan tren.
"Yuk, saya sudah selesai."
Kirana menoleh dan menemukan Raja sudah selesai bertransaksi. Keduanya kembali menyusuri lantai mal yang licin dan berkilau.
"Kamu mau makan apa?" tanya Raja.
Kalau ditanya makan apa, jelas Kirana bingung. Dia tidak bisa menilai mana makanan enak jika berada di tempat seperti ini. "Saya nggak tau, Pak. Asal halal dan rasanya nggak aneh saya makan sih, Pak."
Kekehan Raja mengudara, dan Kirana takjub melihatnya, kadar ketampanan lelaki itu naik dua kali lipat saat tertawa pelan seperti itu. Ya Tuhan, adem banget liatnya.
"Oke, kita ke restoran Jepang aja, ya."
Ke mana pun, asal tidak disuruh nenggak racun, Kirana pasti ikut. Mereka memutuskan makan di salah satu restoran Jepang di lantai LB, tepat di samping supermarket foodhall.
Restoran berkonsep Jappanes itu, memiliki meja-meja yang lumayan privasi. Setiap meja berada dalam satu kubikel yang berbeda, sehingga kenyamanan pengunjung benar-benar terjaga. Keunikan lain, pesanan tidak diantar langsung oleh pramusaji, tapi diantar menggunakan conveyor yang berjalan sendiri hingga sampai ke meja pengunjung.
Meski bingung dengan menu yang disuguhkan dan sedikit sangsi tentang rasa, Kirana akhirnya memutuskan memilih menu paling aman, chiken teriyaki rice bowl. Namun, Raja menambahkan lagi varian lebih banyak seperti, shushi, gyuniko roll, salmon skin, inari dan juga matcha ice cream sebagai dessert.
"Semoga kamu suka. Dan, setelah ini saya harap kita bisa jadi lebih akrab," ucap Raja, lagi dan lagi menunjukkan senyum ajaibnya yang membuat hati Kirana 'nyes' adem.
Sulit untuk menolak pesona Raja si tampan dan ramah, hanya saja jika Gama tahu, Kirana pasti akan digantung hidup-hidup.
Kirana meringis bingung. Dia tidak bisa menjanjikan apa pun meskipun sudah diajak makan di tempat mahal. Dia mulai menarik mangkok nasinya mendekat, dan bergerak memakannya pelan. Di pikirannya sekarang hanya ingin cepat menandaskan makanan lalu pulang. Waktu bebasnya hampir habis, dan dia tidak mau terkena makian Gama lagi.
"Ucapan terima kasih dari saya karena kamu sudah menolong saya di kampung tadi."
Kirana yang sedang menikmati matcha ice cream, sontak terhenti. Raja mendorong sebuah paper bag ke dekatnya. Paper bag yang Kirana tahu di dapat dari galeri smartphone di lantai 10.
"Ma-maksudnya?" tanya Kirana bingung.
"Ponsel ini buat kamu, sebagai ucapan terima kasih saya."
Sekarang Kirana paham. Namun, ucapan terima kasih dengan ponsel seharga puluhan juta itu terlalu berlebihan. Tangannya mendorong kembali paper bag itu.
"Maaf saya nggak bisa terima. Saya tidak mengharapkan apa pun."
Wanita di hadapan Raja sekarang memang beda. Biasanya Raja akan melihat binar pada mata wanita yang diberi benda mahal. Namun, yang Kirana lakukan malah menolak. Padahal ponsel wanita itu benar-benar sudah butut, dan astaga, entah apa merk ponsel yang dia pakai. Terlihat sangat murahan.
"Kamu menolak saat diajak memilih baju dan tas. Jadi, aku berinisiatif membelikan ini. Bawa, ya, ini kan sudah dibeli juga. Kamu memang nggak ngarep apa-apa, cuma saya ingin memberi." Raja mencoba memberi sedikit pemahaman tentang hadiahnya.
"Tapi, Pak. Ini berlebihan."
"Hanya ponsel, apanya yang berlebihan?"
Memang hanya ponsel, tapi harga dan mereknya yang membuat dia gamang.
"Saya nggak bisa terima." Kirana menggeleng lemah.
Raja tampak menarik napas panjang dan mengembuskannya. "Kalau kamu nggak mau terima, lihat di sana." Dia menunjuk sebuah tabung aluminum yang berfungsi sebagai tempat sampah. "Buang saja ponsel ini di sana."
"Buang?!" Kirana terbelalak. "Ya jangan dibuang juga, Pak Raja kan bisa pake."
"Saya sudah punya. Buat apa?"
Kirana menunduk. "Saya juga punya meskipun nggak sebagus merek itu. Tapi yang penting buat saya bisa berkomunikasi udah cukup."
Pemikiran wanita itu benar-benar sederhana, Raja makin kagum saja dibuatnya. Terlebih dia sudah bertahan di sisi Gama, itu artinya wanita itu bermental kuat.
"Jadi, izinkan saya kasih kamu merek yang bagus. Saya yakin ini akan sangat bermanfaat buat kamu." Raja mendorong paper bag itu lagi. "Saya mohon, terima. Jika pada akhirnya kamu akan membuang ... atau terserah mau kamu apakan, saya tidak masalah."
Ya Tuhan, Kirana melepas napas lelah. Manusia satu di depannya ini tidak mau menyerah juga, bahkan memberi pilihan yang mencengangkan. Mau tak mau akhirnya, benda itu Kirana ambil juga.
"Jika Gama tidak membenciku mungkin aku bisa mengantarmu dan mampir ke rumahnya," ucap Raja ketika akhirnya kegiatan makan mereka selesai. "Eh, ini boleh beraku-kamu kan? Lebih enak begitu menurutku, sih. Kesannya lebih akrab."
"Terserah, Pak Raja saja. Dan ... Saya bisa pulang sendiri, kok," sahut Kirana menyesap terakhir gelas ocha-nya.
"Kamu juga jangan saya-saya terus dong, Kirana. Kamu boleh kok, aku-kamu juga. Kita sekarang kan teman. Dan, jangan panggil aku 'pak' cukup Raja saja."
Ini dua kakak beradik kompak sekali tidak ingin dipanggil dengan sebutan 'pak' padahal itu panggilan yang menurut Kirana paling pas.
"Itu nggak sopan, Pak."
Biar gimanapun Kirana merasa baru mengenal lelaki itu. Dia tidak mau sok akrab terlebih Raja sudah memiliki tunangan.
"Kalau begitu kamu bisa panggil aku Kak atau Mas."
Maksa sekali. Namun, itu tidak menggoyahkan Kirana untuk memanggilnya 'pak'.
"Saya lebih nyaman memanggil Pak Raja."
Lelaki itu tampak menghela napas dan tidak berminat mendebat lagi. "Oke, kalau gitu ayo aku antar kamu pulang," katanya seraya berdiri.
"Lho, bukannya tadi bilang nggak mau mengantar saya, Pak?"
"Siapa yang bilang begitu? Aku cuma bilang mungkin nggak bisa mampir, karena Gama nggak akan suka melihatku di rumahnya."
Hufft.
_________Jangan lupa ramaikan yak
KAMU SEDANG MEMBACA
The Devil inside You
Romance"Kamu pikir, kamu itu siapa?! Berani sekali mengatur hidupku." Gama menatap tajam, penuh intimidasi kepada wanita yang kini terpojok dengan bibir bergetar. "Kamu itu cuma asisten! Aku ingatkan sekali lagi posisimu. Kamu itu cuma asisten!" bentak G...