Perasaan Gama mendadak tak enak. Kirana membawanya ke sebuah pemukiman padat penduduk yang bahkan jalanannya tidak bisa masuk kendaraan roda empat.
"Bagaimana cara kita masuk ke sana?" Kening Gama berkerut dalam.
"Saya turun di sini saja. Bapak tidak perlu ikut saya masuk ke sana," ujar Kirana seraya melepas sabuk pengaman.
"Kirana, tunggu. Kamu yakin akan membetulkan laptop saya di sini?" tanya Gama sangsi. "Ini perkampungan kumuh yang memiliki gang-gang sempit."
"Teman saya tinggal di sini, Pak. Dia tukang servis."
"Tidak, lebih baik kita ke tempat servis resminya saja. Saya tidak mau laptop saya makin rusak."
"Itu tidak akan. Bapak silakan pulang saja. Karena tempat ini tidak nyaman buat Bapak." Kirana hendak membuka pintu mobil, tapi dia tidak bisa melakukannya. Mobil ini terlalu rumit, berbeda dengan yang biasa Gama gunakan untuk ke kantor.
"Kita ke sana sama-sama. Sebentar, saya cari tempat parkir yang aman dulu." Gama menggerakkan mundur mobilnya, lalu putar balik untuk mencari tempat parkir yang aman. Di seberang jalan pemukiman itu berdiri sebuh hotel murahan yang kelihatannya sepi pengunjung. Gama memutuskan memarkirkan mobil di sana.
"Maaf, Pak. Ini hanya untuk parkir tamu saja," ucap petugas parkir yang berjaga di pos pintu masuk. Tanpa banyak bicara, Gama mengeluarkan selembar uang seratus ribuan kepada penjaga tersebut. Lalu dengan cepat palang pintu yang menghalangi mobilnya terangkat naik. Wajahnya terlihat bosan melihat petugas parkir yang matanya langsung hijau melihat lembar uang.
Dia melajukan mobil memasuki lahan parkir hotel yang memiliki dinding berwarna orange itu.
"Saya rasa parkir di sini lebih aman dari tempat tadi," ucap Gama begitu mematikan mesin mobil.
Kirana tidak peduli dan lebih memilih menanyakan bagaimana cara membuka pintu mobil Gama yang aneh ini.
"Kamu bisa membukanya sekarang," ujar Gama setelah membuka kunci otomatis pintu.
Dengan hati-hati Kirana keluar. Dia tidak ingin lagi membuat barang milik Gama yang mahal ini lecet.
Matahari mulai merambat ke arah barat, membuat cuaca sedikit lebih manusiawi. Keduanya menyeberang jalan besar, lalu memasuki gang sempit yang kanan kirinya selokan.
Gama menutup hidung sesekali ketika bau tak sedap mampir ke indra penciumannya. Kontras dengan Kirana yang tampak santai melewati jalan sempit dan kumuh itu. Rumah-rumah petak tempat tinggal penduduknya saling berdempetan. Suara tangisan, tawa, dan teriakan bercampur baur, membuat suasana terasa bising.
Anak-anak tampak bahagia berlarian menabrak sana sini orang-orang yang ditemuinya. Belum lagi pengguna sepeda yang rela berbagi dengan pengguna motor dan becak. Salah satu dari mereka harus rela mengalah jika berpapasan dengan gerobak pedagang kaki lima.
Gama menghela napas beberapa kali ketika belum ada tanda-tanda Kirana akan menghentikan langkah.
"Kirana, sebenarnya di mana tempat tinggal teman kamu?" tanya Gama tak sabar.
"Saya kan sudah bilang biar saya sendiri yang datang ke sini," sahut Kirana sembari terus berjalan dengan pandangan lurus ke depan.
"Tapi kita sudah berjalan sangat jauh. Memangnya kamu nggak apa-apa jalan jauh begini. Kamu kan baru saja–"
Gama menjeda ucapannya ketika tiba-tiba saja Kirana menghentikan langkah. Wanita itu berbalik, dan menatapnya tajam. Dia tidak jadi melanjutkan kata-katanya dan ikut berhenti.
"Maksudnya itu kamu baru saja mendingan. Kalau berjalan sejauh ini nanti kamu sakit lagi gimana?" Merasa punya alasan yang masuk akal Gama kembali bersuara.
"Kenapa Bapak tiba-tiba peduli? Bukannya Bapak tidak pernah peduli soal hal itu? Mau saya kerja sampai tulang saya patah pun, Bapak biasanya nggak peduli," balas Kirana membuat pria di sebelahnya tertegun.
"Jelas saya peduli. Kalau kamu sakit akan banyak kerjaan yang tertunda. Jadwal saya kacau, dan yang penting tidak ada orang yang bisa saya suruh-suruh lagi."
Kirana mengetatkan rahang. Manusia satu itu memang tidak punya perasaan. Setelah merenggut satu-satunya mahkota yang dia punya, masih saja pria itu ingin menindasnya.
Kirana melengos dan kembali berjalan. Langkahnya terayun lebih cepat dari sebelumnya.
"Kirana, tunggu!" Gama beranjak menyusul wanita itu. Namun, nahas, dari tikungan depan tiba-tiba sebuah sepeda muncul tak terduga. Gama tak sempat menghindar hingga tubuhnya terjatuh bersamaan dengan robohnya sepeda dan penumpangnya.
"Sial," umpat Gama pelan ketika punggungnya mencium jalanan aspal yang keras. Dua sikunya terasa panas dan perih terkena kerikil jalan beraspal yang tak rata.
Kirana yang berjalan di depan segera berbalik, dan melebarkan mata ketika melihat bosnya terperenyak. Dia segera berlari menghampiri Gama yang tengah meringis kesakitan.
"Pak Gama, Astaga. Kenapa bisa jatuh begini?" Kirana berjongkok dan membantu Gama bangun. Dia lalu beralih menatap si pengguna sepeda. Seorang anak lelaki belasan tahun bertubuh ceking.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Kirana melihat bocah itu juga tampak meringis.
Bocah itu menggeleng. "Nggak apa-apa, Bu. Maaf, Pak. Tadi saya kurang hati-hati," ucap anak laki-laki itu sopan.
"Tapi sepeda kamu kayaknya rusak."
"Nggak apa-apa, Bu. Cuma penyok sedikit nanti bisa dibetulkan."
Melihat anak itu mengingatkan Kirana pada adiknya di kampung. Dia juga memiliki adik seusia anak itu.
"Sepertinya lengan Bapak terluka. Rumah saya dekat dari sini. Kalau mau, Bapak bisa mengobati luka Bapak di sana. Sekali lagi saya minta maaf," ucap anak itu lagi.
Gama mendengkus. "Tidak perlu, kam–"
"Boleh, kami akan ke sana, kamu punya betadine?" tanya Kirana memotong ucapan Gama.
"Ada, Bu. Emak saya punya."
"Oke, kami akan ke sana."
"Kirana, tapi kita kan–" Gama hendak protes, tapi buru-buru Kirana membantunya berdiri.
"Luka Bapak mesti dibersihkan biar nggak infeksi."
"Ini cuma luka kecil, kita jangan buang-buang waktu," ujar Gama yang merasa tidak perlu mengobati luka lecetnya.
Namun, Kirana tak peduli dan mengikuti anak itu yang menuntun sepeda di depannya. Mau tak mau Gama terpaksa ikut juga.
"Oh, iya. Siapa nama kamu?" tanya Kirana kepada anak laki-laki itu.
"Nama saya Ihsan, Bu."
"Ihsan. Oke. Kamu panggil saya kakak saja. Saya juga punya adik seumuran kamu. Nama saya Kirana. Dan, yang kamu tabrak itu bos saya namanya Gama." Kirana memperkenalkan diri sambil berjalan bersama anak itu.
Di belakang Gama melipat bibir kesal. Waktunya merasa terbuang sia-sia karena hal ini.
Kirana dan Gama sampai ke sebuah rumah petak yang memiliki satu akses masuk. Rumah itu terbuat dari papan GRC yang dicat warna biru. Ada teras kecil di depan rumah tersebut yang bisa dijadikan tempat duduk.
Anak lelaki bernama Ihsan itu menyandarkan sepedanya di gang sempit yang ada di samping rumah sebelum masuk ke rumah yang pintunya sudah terbuka sembari mengucapkan salam. Dia lalu mempersilakan Gama dan Kirana masuk ke teras.
"Ini rumah anak itu?" tanya Gama sembari mengedarkan pandang. "Bahkan saya nggak yakin ini bisa ditinggali manusia."
Kirana menarik napas dan menatap bosnya yang asal ceplos. "Nggak semua manusia di bumi seberuntung Bapak dalam hal materi."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Devil inside You
Romance"Kamu pikir, kamu itu siapa?! Berani sekali mengatur hidupku." Gama menatap tajam, penuh intimidasi kepada wanita yang kini terpojok dengan bibir bergetar. "Kamu itu cuma asisten! Aku ingatkan sekali lagi posisimu. Kamu itu cuma asisten!" bentak G...