Kirana menatap takjub pesta ulang tahun berbalut syukuran di hadapannya. Di desa Kirana, yang namanya syukuran biasanya hanya mengundang para tetangga sekitar untuk berdoa bersama. Dan yang wanita itu lihat saat ini, bukanlah syukuran yang ada di bayangannya. Ini lebih mirip seperti pesta modern yang sering dilakukan para konglomerat di film-film yang pernah dia lihat.
Saat masuk ke sebuah ruangan yang lebih mirip ballroom, Kirana sempat tertegun. Jika Gama tidak segera menarik tangannya mungkin dia akan berubah menjadi patung. Jujur, Kirana merasa terintimidasi dengan situasi ini.
Orang-orang berdiri berkelompok sambil memegang gelas kaca yang entah berisi cairan apa. Sesekali dia mendengar tawa, dan percakapan random orang-orang itu. Semua yang datang berpakaian bagus dan rapi. Kirana refleks melirik penampilannya sendiri.
Dia bersyukur karena si Mbok meminjamkannya satu set pakaian mewah ini padanya.
"Pak, di mana ayah Bapak?" bisik Kirana seraya menyapukan pandangan mencari sosok Sultan yang menjadi tuan rumah acara ini.
"Mungkin di kamarnya," jawab Gama asal karena dia pun sedang mencari posisi ayahnya.
"Gama!" seru seseorang membuat pria yang saat ini mengenakan setelan jas hitam itu menoleh.
Silvana tampak mendekat dengan balutan gaun malam panjang yang memiliki belahan pinggir hingga ke atas paha. Rambut wanita itu dicepol tinggi-tinggi sehingga lehernya yang jenjang terekspos dengan jelas. Wanita itu tersenyum seperti biasa.
"Wow, kamu datang bersama Kirana?" sapa Silvana mengulum senyum lantas melirik pada Kirana.
"Selamat malam, Mbak," sapa Kirana sedikit canggung. Sekarang malah dia merasa terintimidasi dengan penampilan wanita di depannya. Selain memiliki belahan kaki yang panjang, gaun yang wanita itu kenakan juga memiliki kerah rendah.
"Selamat malam, Kirana," sahut Silvana membalas senyum Kirana tak kalah manis. Wanita itu kembali menatap Gama. "Kamu mau temui ayahmu sekarang? Beliau ada di kolam renang bersama ibu kamu."
"Ibuku sudah meninggal, Sil," sahut Gama cepat. Yang langsung membuat Silvana melipat bibirnya ke dalam. Meski begitu, wanita itu bisa menguasai keadaan dan segera menggandeng lengan Gama.
"Aku antar ke sana ya. Udah lama banget kamu nggak datang ke rumah ini. Ayah kamu pasti senang melihatnya," ujar silvana menarik lengan kokoh itu.
Kirana yang tidak mau ditinggal di suasana pesta asing ini segera menyusul. Silvana membawa Gama melewati sebuah pintu kaca, setelah membelah kerumunan tamu undangan yang hadir. Mereka lantas muncul di ruang berbeda yang tak kalah menakjubkan.
Di belakang, Kirana hampir berdecak kagum melihat kolam renang memanjang berbentuk elips, airnya bercahaya memantulkan warna biru elektrik yang mempesona. Di tempat ini suasana tidak terlalu ramai. Kirana juga melihat sebuah meja memanjang, berisi berbagai hidangan yang tampak menggiurkan. Perutnya yang kosong tiba-tiba memberontak melihat deretan makanan tersebut. Namun, tentu saja dia akan menahannya sebentar.
"Lihat, siapa yang datang," seru Silvana. Membuat beberapa orang yang berkumpul di depan sana menoleh.
Kirana melihat Raja berdiri di samping seorang pria paruh baya duduk menggunakan kursi roda. Selain Raja, ada juga wanita cantik setengah baya di sana.
"Wow, ayah dapat kejutan," sambut Raja.
Suasana canggung seketika menyergap. Gama tidak menyukai situasi ini. Matanya lurus menatap laki-laki tua yang duduk di sebuah kursi roda, laki-laki yang beberapa tahun ini tidak sudi dia lihat. Laki-laki yang masih saja terlihat angkuh akan kedatangannya.
Kirana yang menyadari situasi ini kontan beringsut berdiri di sisi Gama. Karena Silvana sudah kembali ke sisi Raja. Hening memeluk semua yang ada di sana meski suasana sekitar masih ramai.
"Selamat ulang tahun, Pak. Semoga Bapak selalu sehat dan panjang umur."
Seketika semua perhatian teralihkan oleh ucapan Kirana. Wanita itu tersenyum sangat lebar, tapi saat semua mata di depannya tertuju padanya senyum itu perlahan surut. Dia salah tingkah, biar bagaimana pun dia orang asing di sini.
"Siapa dia?" tanya wanita cantik paru baya yang tak lain adalah istri Sultan Raharja. Lebih tepatnya istri kedua.
"Perkenalkan sa—"
"Dia asistenku," sahut Gama cepat memangkas kata-kata Kirana yang akan memperkenalkan diri.
Tesier—nama wanita itu—mengangguk, lalu tersenyum ramah. "Sepertinya dia bertahan lebih lama dari asisten kamu sebelumnya, ya. Hebat."
Itu pujian bagi Kirana, namun terdengar mengejek di telinga Gama. Dia lagi-lagi muak dengan situasi ini. Apalagi ayahnya dari tadi hanya diam saja.
"Ini." Kirana menyodorkan dengan sopan paper bag yang dia bawa kepada Sultan. "Maaf kami tidak sempat membawa kado istimewa."
Namun, lelaki itu sepertinya tidak berniat menyambutnya. Hanya helaan napas berat yang bisa Kirana lihat.
"Kirana, biar aku simpankan." Silvana langsung mengambil alih paper bag tersebut. Dia sedikit mengintip isinya dan berseru kecil. "Wow isinya kue kering wijen kesukaan Om Sultan. Pasti Gama kan yang kasih tau kamu ini."
Kirana hendak menjawab namun lagi-lagi Gama menyambar.
"Tidak. Kirana melihatnya dari internet."
"O-oh, begitu." Silvana meringis kikuk, pandangannya diam-diam bergeser melihat sosok Sultan yang lagi-lagi hanya menghela napas.
"Selamat ulang tahun, Ayah," ucap Gama tanpa berniat menghampiri lelaki tua itu untuk sekedar memeluk.
Tanpa diduga, Sultan malah membuang muka mendapatkan ucapan selamat dari anaknya itu. "Masih ingat punya ayah, heh?"
Ucapan itu begitu lirih namun terasa menohok di hati Gama. Dia merasa seperti tamu yang tak diundang.
"Masih menganggapku ayah setelah terus-terusan menolak undangan makan malam keluarga?"
Kirana yang mendengar kalimat itu menelan ludah. Dia dengan segera melirik wajah Gama yang auranya kini sudah berubah tak menyenangkan.
"Masih dendam dengan keputusanku yang kamu anggap tidak adil?"
"Sayang, kendalikan emosi kamu. Tidak baik untuk kesehatan kamu," ucap Tesier menenangkan suaminya.
"Anak sombong itu benar-benar kurang ajar," hardik Sultan tampak jengkel.
Gama bergeming. Dia masih bisa mengontrol diri karena berada di tengah para tamu undangan. Dua tangannya sudah mengepal erat, sementara rahang tegasnya mengatup rapat. Kirana sangat hapal mimik itu.
"Ayah, bukan kah lebih baik ayah menyambut putra ayah?" Raja ikut bersuara. "Gama sudah lama nggak datang ke rumah ini. Dia datang karena ingat dengan hari ulang tahun ayah."
"Aku nggak ingat," timpal Gama spontan, membuat Raja menoleh sebal. Padahal lelaki itu sedang mencoba menenangkan ayahnya.
"Si brengsek ini," umpatnya kecil.
"Aku pergi," ucap Gama, tangannya meraih pergelangan tangan Kirana lalu menarik perempuan itu dan berbalik.
"Gama, tunggu sebentar." Tesier berusaha mencegah. Wanita itu menggapai lengan Gama yang sudah dia anggap sebagai anak sendiri. "Kamu sudah lama nggak pulang ke rumah, seenggaknya kamu harus makan malam bersama kami dulu."
Gama menyingkirkan dengan pelan tangan Tesier dari lengannya. Dia sakit hati dengan sikap ayahnya yang masih saja angkuh.
"Jangan dengarkan ayahmu, oke? Kita makan malam bersama dulu, ya." Tesier masih saja membujuk.
"Biarkan dia pergi." Suara berat Sultan terdengar lagi. "Kesombongannya itu akan membakar dirinya sendiri."
Mendengar itu membuat api dalam dada Gama makin berkobar. Tanpa mengucapkan apa pun lagi, sebelum semuanya menyembur keluar, langkahnya langsung bergegas meninggalkan pesta sialan itu.
_______
Lupa semalam mau update. Hampir juga telat sahur...
KAMU SEDANG MEMBACA
The Devil inside You
Romance"Kamu pikir, kamu itu siapa?! Berani sekali mengatur hidupku." Gama menatap tajam, penuh intimidasi kepada wanita yang kini terpojok dengan bibir bergetar. "Kamu itu cuma asisten! Aku ingatkan sekali lagi posisimu. Kamu itu cuma asisten!" bentak G...