"Bapak tidak apa-apa?" tanya Kirana lirih.
Sejak mengajak Kirana keluar dari rumah besar Sultan, Gama terus saja diam. Tatapnya fokus ke depan jalan, tapi pikirannya mengembara entah ke mana. Salah, dia memang selalu salah di mata ayahnya. Bahkan ketika dirinya mencoba mengalah untuk datang ke rumah itu, lelaki tua itu sama sekali tidak menyambutnya.
"Apa saya terlihat baik-baik saja?" sahut Gama dingin.
"Bapak mau makan?" tanya Kirana lagi, yang langsung menyadarkan lelaki itu bahwa Kirana saat ini pasti kelaparan.
Gama membelokkan kemudi ke sebuah restoran terdekat tanpa menyahut pertanyaan Kirana. Seorang pelayan restoran menyambut mereka di depan pintu masuk, serta mengantar keduanya ke sebuah meja yang cukup untuk dua orang.
"Padahal di pesta ultah Pak Sultan tadi banyak makanan loh, Pak. Kalau ki—"
Kirana sontak menghentikan ucapannya ketika mendapat pelototan tajam dari Gama. Sedikit meringis, dia lantas bergerak duduk.
Entah Gama membawanya ke restoran apa, semua menu yang ada di katalog terasa sangat asing. Namanya juga aneh-aneh.
"Kamu mau pesan apa?" tanya Gama begitu dia selesai menyebutkan nama menu yang dia pesan kepada pelayan restoran. Dia memperhatikan Kirana hanya membolak-balik buku dengan dahi yang sesekali mengernyit.
"Saya ... " Kirana bingung. Dia menatap berganti Gama dan pelayan—yang sedang menunggunya memesan. "Bapak sajalah yang pesan," putus Kirana mendorong buku menu ke dekat Gama.
Lelaki yang terlihat tampan dengan setelan jas mahalnya itu menghela napas, lalu menoleh kepada pelayan. "Samakan pesanannya dengan saya saja."
"Baik, Pak. Kalau begitu mohon ditunggu," ucap pelayan itu lantas bergerak undur diri.
"Kamu lapar kan? Kenapa malah nggak mau pesan makanan?" tanya Gama heran.
"Saya bukannya nggak mau pesan, tapi saya nggak mudeng, Pak, nama-nama menu tadi. Dan Bapak liat apa yang di depan kita sekarang?"
Kirana menunjuk dengan matanya deretan sendok di depannya dari yang berukuran terkecil hingga terbesar ada di sana.
"Sendok, garpu, dan pisau serta peralatan makan lainnya," sahut Gama heran. Apa masalahnya?
"Kenapa mereka menyediakan begitu banyak bahkan ketika makanan kita belum datang?"
Ingin marah, tapi rasanya percuma saja mengingat Kirana hanya seorang lulusan SMA dan berasal dari kampung. jadi, Gama hanya bisa menghela napas.
"Kita nanti akan menggunakan alat-alat itu. Tunggu saja pesanan kita datang," ucap Gama akhirnya.
Diam-diam Kirana mengawasi wajah tampan Gama, pria itu memasang wajah kaku dan keras ketika berhadapan dengan Sultan. Gestur tak nyaman juga sempat Kirana lihat.
"Apa Bapak masih marah?" tanya Kirana. Rasanya tidak nyaman terus diam selama proses menunggu makanan.
"Kamu akan melihat saya benar-benar marah kalau nggak mau berhenti bertanya, Kirana."
Wanita pemilik mata bulat itu langsung melipat bibir. Pandangannya dia edarkan ke manapun, asal bukan ke wajah seram bosnya.
Syukurlah karena pesanan mereka akhirnya datang. Namun, alangkah terkejutnya Kirana ketika melihat menu yang dihidangkan di hadapannya itu. Dia tidak menduga kalau Gama akan memesan menu udang sebesar itu.
"Pak, ini udangnya besar banget. Gimana cara saya makannya?" tanya Kirana setengah berbisik seraya mencondongkan badan ke depan Gama.
"Itu namanya lobster. Kamu tinggal mengambil dagingnya dengan garpu, dan meremukkan capitnya yang keras menggunakan alat ini," terang Gama seraya menunjukkan penjepit khusus.
Alis Kirana berkerut. Dia menyentuh kaki dan tangan lobster yang menjuntai. Menyeramkan. Dia sedikit menyesal karena meminta Gama untuk memesankan makanan. Sementara itu, Gama malah terlihat begitu mudah menikmati makanan itu dengan santai.
"Kenapa diam? Bukannya kamu lapar?"
Kirana nyengir, lalu menatap sekeliling. Seandainya boleh, dia ingin makan menggunakan tangan langsung, tapi melihat keadaan dan konsep bintang lima yang restoran ini miliki, itu akan memalukan kalau dua tangannya ikut maju saat sedang menikmati makanan.
Di tengah kebingungan itu, tangan Gama terulur mengambil piring lobster milik Kirana. Tanpa banyak bicara lelaki itu mengeluarkan daging lobster itu dan menaruhnya di piring Kirana. Bahkan Gama yang meremukkan capit lobster tersebut.
"Makan sekarang," ucapnya begitu selesai mengeluarkan isi perut lobster milik Kirana.
Kirana tidak dapat menyembunyikan senyum melihat piringnya telah terisi penuh daging lobster yang melimpah. "Terima kasih, Pak." Dengan bumbu yang luar biasa nikmat, dia akhirnya bisa menikmati makan malam itu.
***
Saat pulang kembali ke rumah, Kirana membawa langkahnya ke dapur alih-alih langsung menuju kamar. Dia mencari beberapa ruas jahe merah di rak bumbu-bumbu palawija. Hanya dengan penerangan lampu strip dapur, wanita itu membakar beberapa ruas jahe tersebut di atas kompor. Dia juga menyiapkan gula merah yang diiris tipis, serta dua batang serai.
Dia teringat dengan ucapan Silvana, bahwa amarah Gama bisa reda kalau mengonsumsi minuman jahe. Mood Gama malam ini buruk, dan entah untuk alasan apa Kirana ingin menghiburnya meski hanya dengan segelas minuman jahe. Untuk ukuran orang yang pernah melecehkannya, Gama tak sepatutnya dia kasihani. Harusnya Kirana senang melihat Gama diperlakukan tak adil di depan keluarganya. Namun, alih-alih puas, hati Kirana malah tak nyaman melihat Gama terluka.
Minuman jahe hangat dan aromanya yang kuat berhasil Kirana buat. Dia bergerak ke atas, menuju kamar Gama. Anggap saja ini sebagai ucapan terima kasih karena lelaki itu sudah membantu mengeluarkan daging lobster dari cangkangnya.
Kirana mengetuk pelan pintu kamar Gama sebelum mendorongnya. Dengan hati-hati dia membawa nampan berisi satu gelas minuman jahe masuk.
"Kamu bawa apa?" tanya Gama tanpa menoleh, lelaki itu tengah duduk di sofa dengan pandangan menunduk, menatap sebuah buku di tangannya.
"Saya membuat minuman jahe untuk Bapak," sahut Kirana meletakkan nampan ke atas meja.
Pandangan Gama sontak teralihkan mendengar kata jahe. Tatapnya melirik sebuah gelas berisi cairan kemerahan itu.
"Kamu yang buat atau si Mbok?" tanya Gama kembali menggeser bola matanya ke buku yang dia pegang.
"Saya. Di kampung saya sering membantu ibu membuat wedang jahe dan bandrek. Tiap malam Bapak dan ibu saya berjualan minuman itu," terang Kirana yang lagi-lagi berhasil mengalihkan perhatian Gama.
"Jadi ini resep dari mereka?" tanya Gama terdengar penasaran.
"Bisa dibilang begitu."
"Selama ini nggak ada yang bisa mengalahkan rasa minuman jahe yang si Mbok buat. Jadi, kita lihat apa minuman jahe buatanmu itu bisa mengalahkannya." Gama tersenyum miring, menyingkirkan buku di tangan lalu meraih gagang gelas di hadapannya.
Uap wedang jahe itu masih mengepul. Gama bisa mencium aroma jahe dan serai yang kuat di sana. "Kamu menambahkan serai dan jeruk nipis di sini?"
Kirana mengangguk. Dia lantas mengawasi lelaki itu meniup pelan permukaan atas gelas dan menyesap isinya perlahan.
Rasa manis gula aren bercampur rasa jahe dan serai yang kuat serta-merta memenuhi kerongkongan lelaki itu. Hangatnya menyebar hingga ke dalam perut. Gama menyukai rasanya. Dia lantas kembali menyesap perlahan, bahkan dia menggunakan tatakan gelas untuk menuang cairan merah itu agar uap panasnya cepat hilang.
Perasaannya yang kacau tiba-tiba membaik setelah dia berhasil menghabiskan setengah isi gelas. Jujur, rasa minuman itu jauh lebih nikmat daripada buatan si Mbok.
___________
Ujung-ujungnya Kirana juga yang menghibur Gama. Udah bisa ketebak belum yang bakal jatuh cinta di sini siapa duluan?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Devil inside You
Romance"Kamu pikir, kamu itu siapa?! Berani sekali mengatur hidupku." Gama menatap tajam, penuh intimidasi kepada wanita yang kini terpojok dengan bibir bergetar. "Kamu itu cuma asisten! Aku ingatkan sekali lagi posisimu. Kamu itu cuma asisten!" bentak G...