48. Rumah Kirana

4.7K 500 10
                                    

"Rumah orang tua kamu di pegunungan atau bagaimana? Semakin jauh track-nya makin menegangkan," ujar Gama ketika mobilnya melewati jalan yang berbelok-belok. Sesekali naik turun lalu melewati tikungan tajam. Meskipun jalannya cukup halus namun kondisi jalan lumayan ekstrim. 

"Iya, Pak. Memang sedikit naik gunung, sih," sahut Kirana nyengir.

"Ini bukan sedikit lagi, Kirana. Tapi sudah banyak. Telinga saya sampai budeg karena jalannya terus naik."

Kirana menghela napas. "Bapak jangan menggerutu terus nanti kita nggak sampai-sampai."

Gama memang berhenti menggerutu, tapi sebagai gantinya lelaki itu terus saja berdecak. Apalagi ketika akses jalan mulai menyempit.

"Kirana kalau dari arah berlawanan ada pengendara mobil kita nggak bisa jalan, dan terpaksa mundur."

"Nggak akan ada, Pak. Di daerah sini jarang yang punya mobil."

"Dan kamu tahu, kita sudah menempuh perjalanan selama satu jam. Tapi rumah kamu belum juga tampak. Malah sekarang kita seperti masuk ke perkampungan pelosok. Kita nggak nyasar, kan?"

Kirana paham kekhawatiran Gama. Namun, rumah orang tuanya memang jauh dari mana-mana.

"Belok kiri, Pak. Itu rumah saya sudah kelihatan."

Gama menurut dan membelokkan kemudi. Matanya menyipit, mencari rumah yang Kirana maksud. Di depan sana memang ada bangunan. Namun, bangunan itu tampak usang dan... Nyaris roboh.

"Stop di sini aja, Pak," seru Kirana, membuat Gama sedikit kaget. Lelaki itu lantas mencari posisi nyaman untuk memarkirkan mobil.

"Itu rumahnya?" tanya Gama menuding bangunan yang sempat dia bilang usang.

Kirana mengangguk, lalu segera turun dari mobil. Dia bergerak membuka pintu mobil bagian belakang dan mengambil kantong-kantong belanjaan.

Mata Gama mengedar. Menyapu keadaan sekitar yang banyak pepohonan. Di sisi kiri mobilnya terdapat kebun singkong yang di belakangnya tumbuh pohon kelapa. Geser ke depan dia menemukan macam-macam tanaman palawija. Sisi sebelah kanan terdapat pekarangan yang ditumbuhi pohon nangka dan pohon sawo. Dua pohon yang menjadi tempat favorit makhluk ghaib sebangsa jin.

"Bapak mau tetap berdiri di sana atau mau ikut masuk?" tanya Kirana yang sudah siap dengan tentengannya.

"Kamu duluan, saya akan segera menyusul."

Tanpa menunggu lagi, Kirana bergegas jalan menuju rumah. Dia sudah sangat rindu dengan ibunya.

Membiarkan Kirana masuk ke rumah itu, Gama kembali mengedarkan pandang. Dia merasa memiliki ikatan dengan tempat ini. Namun, ikatan seperti apa, dia kurang begitu paham. Yang pasti, dia merasa pernah berada di sini. Padahal dia sangat yakin baru pertama kalinya datang ke sini.

"Kenapa, Tuan?" tanya Sukma yang sudah berdiri di sebelahnya. Makhluk itu tidak akan membiarkan Gama berkeliaran sendirian. Dia sama sekali tidak menduga kalau rumah orang tua Kirana banyak sekali penunggunya.

Ada gapura di jalan yang mereka lewati tadi. Namun, gapura tersebut tidak bisa dilihat oleh mata manusia biasa. Dua jin bermata bulat berjaga di gapura tersebut. Sukma sempat memberi salam kepada keduanya.

"Aku merasa pernah datang ke tempat ini, Sukma. Tempat ini tidak asing."

Sukma tersenyum. "Mungkin di dalam mimpi Anda, Tuan."

"Mungkin." Lelaki itu tidak mau ambil pusing, dia lantas bergerak menyusul Kirana yang sudah lebih dulu masuk ke rumah.

Ada jalan setapak pendek yang menghubungkan langsung ke depan pintu rumah beratap limas itu. Dinding rumah itu terbuat dari kayu dan berlantai tanah.  Tepat di samping pintu rumah itu terdapat kursi panjang yang terbuat dari bambu. Sementara di halaman depan rumah ada kayu bakar yang bertumpuk.

Gama melangkah pelan mendekati rumah tersebut. Namun, sebuah tepukan dari belakang menghentikan langkahnya secara tiba-tiba. Pria yang saat ini mengenakan kemeja biru muda itu sontak memutar badan. Mata legamnya menemukan sosok lelaki bercaping dengan sebuah cangkul pada bahunya.

Lelaki itu memiliki sorot mata teduh. "Mencari siapa, Le?" tanya lelaki itu seraya tersenyum.

"Saya datang bersama Kirana mau mengunjungi orang tua Kirana," sahut Gama. Masih ada sisa-sisa keterkejutan dari nada bicaranya.

Lelaki di hadapan Gama tampak tercenung sesaat. "Kamu siapanya Kirana?"

"Saya atasan Kirana, Pak."

"Bapak!"

Seruan yang datang dari arah rumah mengalihkan perhatian mereka. Di sana tampak Kirana yang tergopoh menghampiri.

"Nduk?" Lelaki di depan Gama sontak melepas caping yang dipakai lantas bergerak menyambut asisten Gama itu dengan senyum lebar. "Kamu sampai kapan, Nduk? Ndak kasih kabar ke Bapak," tanya lelaki itu memeluk Kirana.

Dari sana Gama tahu kalau lelaki yang menyapanya itu ayah Kirana.

"Kiran baru aja sampai kok, Pak."

"Ini kenapa atasan kamu malah ditinggal dan nggak diajak masuk?"

Kirana melepas pelukan ayahnya lalu melirik Gama. "Ini baru mau Kiran panggil, Pak."

"Mari, Nak. Silakan masuk ke gubug kami," ucap ayah Kirana sopan namun tetap terlihat bersahaja.

Rumah yang Gama masuki benar-benar definisi rumah gubuk. Bukan mengaku gubug, tapi di dalamnya ada fasilitas hotel berbintang. Bahkan Gama dipersilahkan duduk di sebuah bangku panjang yang disebut amben. Mirip kursi bambu di depan rumah, hanya saja lebih tinggi.

"Beginilah istana kami. Seadanya. Harap dimaklumi, ya, Nak," ucap Kartini, ibu Kirana, sembari menyuguhkan singkong rebus dan teh hangat. "Monggo silakan diombe."  (diminum)

Gama mengangguk dan tersenyum kikuk. "Terima kasih, Bu."

"Nak Gama, apa Kirana selama bekerja merepotkan Nak Gama?" tanya Sunarso, ayah Kirana. Meskipun bangga mendengar putrinya diterima kerja sebagai asisten pribadi, tapi Sunarso sedikit khawatir.

"Tidak kok, Pak. Saya yang mungkin selalu merepotkan Kirana."

Mendengar jawaban bosnya, kening Kirana mengernyit. Tumben sekali lelaki itu sadar.

"Oh itu tidak masalah, bukan kah memang itu pekerjaan Kirana? Iyo, tho?"

"Jadi, kalau Kirana nakal jewer aja, ya," sambut Kartini, membuat putrinya melebarkan mata.

"Ibu nggak boleh begitu," protes Kirana.

"Kalian pasti belum pada makan kan? Makan siang di sini sama-sama mau, ya?" tanya Kartini menawari mereka. "Memang sih masakan ibu nggak seperti orang-orang kota. Maklum masih hidup di desa. Masih ngandelin kebun sendiri juga. Karena warungnya jauh."

"Ibu, kayaknya kalau makan siang, Pak Gama nggak bisa deh. Pak Gama nggak biasa mak—"

"Siapa bilang?" sela Gama memangkas ucapan bawel Kirana. "Saya bisa makan kok sekalipun itu berbeda dari makanan yang ada di ibu kota."

"Wah kalau begitu, ibu siapin makan siang dulu. Kita nanti sama-sama makan di halaman belakang saja. Yang anginnya sepoy-sepoy," ujar Kartini langsung beranjak masuk ke dalam.

"Bayu dan Rosma biasanya pulang jam berapa, Pak?" tanya Kirana. Dia sangat tidak sabar bertemu dua adiknya.

"Biasanya pukul dua siang. Mereka pulang. Kadang malah Rosma pulang sangat terlambat karena dia sudah kelas tiga, ada jadwal tambahan."

Bibir tipis Kirana mencebik kecewa. Dia harus menunggu minimal dua jam lagi.

"Kalau kamu nggak sabar bertemu mereka, mungkin kita bisa jemput mereka di sekolahnya," ujar Gama tiba-tiba.

"Itu ide bagus. Nanti setelah makan siang kalian berdua bisa datang ke sekolah mereka," sambung Sunarso tersenyum. Dia lantas turun dari amben, dan mengajak Gama untuk makan siang bersama di halaman belakang rumah.




The Devil inside YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang