62. Api Cemburu

6.2K 577 33
                                    

"Makan malam?"

Dua alis Kirana naik mendengar ajakan makan malam yang Raja sampaikan lewat telepon.

"Iya, Nona. Kamu ada waktu?" tanya Raja di ujung sana.

Kirana tidak langsung menjawab. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja. "Apa ini usaha Anda untuk meminta saya membujuk Pak Gama agar mau membantu soal pembebasan tanah itu? Kalau benar, lupakan, Pak. Saya tidak bisa melakukannya."

"Tentu saja bukan, Nona. Saya sudah lama sebenarnya ingin mengajak kamu makan malam, tapi belum menemukan momen yang tepat karena akhir-akhir ini benar-benar sibuk," bantah Raja di seberang sana.

Ini masih terasa janggal di telinga Kirana. Untuk apa lelaki yang sudah memiliki tunangan mengajaknya makan malam?

"Bagaimana, Nona Kirana? Apakah weekend ini kamu punya waktu?" tanya Raja lagi, sedikit memaksa.

"Saya tidak tahu, Pak. Karena waktu saya milik Pak Gama."

Terdengar desahan di ujung sana. "Kalau begitu, beritahu saya kalau kamu punya waktu longgar. Kapan pun kamu bisa."

Kirana menggigit bibir. Entah apa sebenarnya yang laki-laki itu mau, sehingga memaksa sekali ingin bertemu.

"Kirana, kamu sudah menelepon departemen penelitian dan pengembangan soal produk baru yang baru mereka ajukan?"

Suara Gama terdengar kemudian, membuat Kirana harus segera mengakhiri sambungannya dengan Raja.

"Maaf, Pak. Saya harus bekerja lagi, selamat siang," ucap Kirana lantas segera menutup panggilan. Dia segera menghadap Gama setelahnya.

"Sudah, Pak. Mereka bilang produk kita akan siap beredar di pasaran satu bulan dari sekarang," sahut Kirana. Wajahnya masih tampak tegang gara-gara telepon Raja tadi. Seandainya Gama tahu, lelaki itu pasti akan murka.

"Good." Gama mengangguk lantas memutari meja kerja dan duduk di kursi kebesarannya. "Saya baru mendapat rekomendasi kampus yang cocok buat kamu. Di sana ada kelas malamnya. Kamu bisa melihat profil kampusnya nanti. Kalau menurut saya, sih, kampus itu lumayan bagus, meskipun swasta."

Gama tampak serius dengan rencana menyekolahkan Kirana kembali. Dia sampai turun tangan untuk mencari kampus yang cocok dengan jam kerja Kirana.

"Kelas malamnya cuma sampai pukul sepuluh, jadi nggak akan bikin kamu capek," ujarnya lagi. Lalu bergerak membuka berkas yang akan dia tandatangani.

"Terima kasih, seharusnya Bapak nggak perlu melakukan itu. Saya sudah terlalu banyak merepotkan."

Setelah ini Kirana merasa akan makin susah lepas dari Gama. Lelaki itu memang sedikit sudah bisa mengontrol emosi, tapi sekarang Kirana yang ketakutan. Takut tidak bisa mengontrol perasaannya.

Mendengarnya, lelaki yang mengenakan kemeja navy itu mengangkat wajah. "Kamu mulai lagi. Saya nggak mau dengar penolakan, ya, Kirana."

Wanita berhidung runcing itu meringis. Kadang dia berpikir apa yang Sukma bilang bahwa Gama tidak bisa membaca pikirannya kurang sedikit akurat. Nyatanya lelaki itu bisa tahu apa isi kepalanya saat ini.

"Saya akan terus pantau kamu sampai kamu benar-benar berkuliah di sana," ucap Gama lagi. "Saya juga ingin punya asisten yang cerdas."

Wanita berambut lurus yang berdiri di depan Gama itu tidak menjawab. Agak tersinggung juga dengan kata-kata terakhirnya. Jadi, selama ini Kirana kurang cerdas menurutnya? Kalau begitu kenapa lelaki itu mempertahankan dia jadi asisten? Menyebalkan.

Kirana melepas napas kencang-kencang sebelum berbalik ke mejanya lagi. Membiarkan bosnya itu berkutat pada tumpukan berkas yang harus dia tanda tangani.

***

"Harusnya kamu seneng dong, dapat perhatian gitu dari Pak Gama," komentar Lita, ketika Kirana curhat tentang keinginan Gama yang akan menyekolahkannya.

"Aku nggak mau berhutang budi. Bikin nggak bebas dan nggak nyaman," sahut Kirana, yang masih saja gamang soal lanjut sekolah ini.

"Kalau saran aku, sih, selagi ada dan bisa, kamu nikmatin aja kebaikan Pak Gama." Lita mendekat ke arahnya dan berbisik. "Jarang-jarang loh, Devil Boss macam dia, berbuat baik gini."

Yang Lita katakan benar. Gama itu setannya setan. Namun, sejak peristiwa di Jogja sifat setannya agak terkontrol. Sampai-sampai lelaki itu memberi kesempatan Kirana lanjut sekolah lagi.

"Jadi, jangan sampai kamu sia-siakan kesempatan ini." Lita menepuk pundak Kirana meyakinkan. "By the way, cuma kamu yang bisa begini, kamu benar-benar punya mental kuat membersamai Pak Bos. Salut aku sama kamu."

Saat kembali ke mejanya, Kirana membuka alamat website kampus yang Gama rekomendasikan. Dia membaca dengan seksama informasi yang ada di sana. Hingga sampai menemukan button bertuliskan daftar.

Kirana menekannya lalu mengisi formulir pendaftaran yang ada di sana. Jujur, dia deg-degan saat menulis namanya sendiri. Dia tidak pernah membayangkan akan bisa bersekolah lagi. Itu mimpi yang terasa mustahil baginya.

Kirana mencetak formulir pendaftaran yang sudah dia isi. Senyumnya terbit saat membaca ulang. Dia memberikannya kepada Gama ketika lelaki itu kembali.

"Good job. Kamu siap kan jadi mahasiswa?" tanya Gama dengan senyum ciri khasnya.

"InsyaAllah saya siap, Pak," ucap Kirana tersenyum seraya menatap Gama lurus-lurus. "Terima kasih sudah memberi saya kesempatan."

"Asal kamu menggunakan kesempatan itu sebaik mungkin, saya akan membiayai semua pendidikan kamu, Kirana."

Kirana tersenyum. Hal-hal seperti ini sama sekali tidak pernah dia duga. Gama yang baik, Gama yang perhatian, rasanya masih aneh buat Kirana.

Detik berikutnya tiba-tiba ponsel yang ada di genggaman Kirana berdering. Dering yang lumayan membuat gendang telinga rasanya mau pecah.

Kirana mengangkat tangan dan melihat caller ID si penelepon. Dia mendesah ketika lagi-lagi Raja-lah yang menelepon.

"Kenapa nggak diangkat?" tanya Gama dengan dahi berkerut.

"Umm, nggak penting kok, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu, ya, Pak." Kirana undur diri dan segera beranjak meninggalkan ruangan. Dia tidak menuju meja kerjanya, tapi menuju pintu keluar.

Gama di tempatnya heran melihat tingkah Kirana yang agak gugup saat ponselnya berdering.

"Sukma, kamu tahu siapa yang menelepon Kirana?" tanya Gama sembari mengusap dagu curiga.

Makhluk itu lantas muncul tepat di depan Gama. "Raja, Tuan. Kakak tiri Anda sedang berusaha mendekati Kirana."

"Apa? Berani sekali dia. Mau apa dia melakukan ini?"

"Sejauh ini sepertinya tidak ada tujuan tertentu. Mungkinkah kakak tiri Anda itu menyukai Nona Kirana?"

"Omong kosong!" seru Gama mengebrak meja. "Awas jika dia berani menyentuh Kirana."

"Kalau Nona Kirana suka kenapa tidak?"

"Itu tidak mungkin, Sukma," hardik Gama tampak jengkel. Urat-urat pada pelipisnya tampak menonjol.

"Apanya yang tidak mungkin? Selain tampan, Raja adalah sosok yang baik hati dan sopan. Dia mudah memikat. Saya rasa jika Nona Kirana terpikat itu hal yang sangat wajar." Sukma makin membuat Gama kebakaran jenggot.

Lelaki bertubuh kekar itu gusar mendengar apa yang Sukma katakan. Cyntia dan Silvana sudah jatuh ke pelukan Raja. Kali ini dia tidak akan membiarkan Kirana berdekatan dengan pria itu.

"Sukma, kamu jaga dan awasi Kirana. Aku tidak mau dia terjebak rayuan keparat itu."

Sukma menyeringai melihat api cemburu di mata tuannya. "Tugas saya itu menjaga Anda, Tuan. Saya tidak bisa menjaga orang lain. Itu sudah bukan ranah saya."

"Kamu kenapa jadi ikut menyebalkan begini?" dengus Gama jengkel.

"Saya hanya menjaga kode etik sebagai khodam."

Gama menganga tak percaya. Apa khodam sekarang punya kode etik? Tidak masuk akal!

_______

Under Cover bab 6 udah up lho. Yang belum baca cuss baca gih heheh

The Devil inside YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang