Gama mengamati kaki Kirana yang sekarang mengenakan sepatu sport brand luar negeri. Sepatu itu sangat pas membungkus kaki Kirana yang mungil. Dia mengangguk dan senyumnya sontak terbit.
Sementara Kirana diam kaku, pasalnya sudah lebih dari lima menit Gama mengamati kaki Kirana yang mengenakan sepatu. Pria itu memutarinya dengan sebelah tangan mengusap dagu. Sesekali mengangguk, sesekali seringainya muncul. Tatapan Gama membuat Kirana risih sendiri.
"Pak, sepatunya pas kok, nggak kurang dan nggak lebih," ujar Kirana yang lama-lama bisa jadi patung karena terus dipelototi Gama.
"Kamu pake pas olahraga. Jaga baik-baik jangan sampe rusak," sahut Gama menyudahi kegiatan konyol itu.
"Nggak bisa jamin, Pak. Kan sepatunya buat olahraga."
"Harus bisa. Karena kalau nggak awet, kamu harus ganti rugi."
Kirana mengembuskan napas pelan. Dia tidak pernah meminta Gama untuk membelikan sepatu. Kalau harus ganti rugi jelas Kirana tidak pernah setuju melakukannya.
"Kalau gitu sepatunya saya kembalikan saja."
Gama langsung mendelik. Dia berkacak pinggang sembari memutar menghadap Kirana. "Berani kamu nolak pemberian saya?!"
"Tapi Pak saya nggak pernah minta."
"Diam dan gunakan. Saya paling nggak suka ada yang menolak pemberian saya," sentak Gama jengkel. Telunjuknya mengarah ke tumpukan berkas di atas meja Kirana. "Sortir berkas itu sampai selesai. Jangan berani menghilang lagi."
Gama lantas menyambar jas dan melempar ke arah Kirana. "Pakaikan."
Kirana dengan sigap menangkap jas itu. Lalu langkahnya bergegas menghampiri Gama. Dalam hati Kirana dongkol bukan main. Berbagai umpatan berdesakan, tapi hanya sampai di kerongkongan. Jika sampai menyembur keluar, Kirana tidak akan selamat.
"Saya nggak ikut Bapak meeting?" tanya Kirana. Selama menjadi asisten pribadi pria itu, Kirana nggak pernah absen mengikuti meeting bersama si bos.
"Nggak perlu," sahut Gama ketus seraya memasukan kedua lengannya pada jas yang Kirana rentangkan.
Kirana beranjak ke depan Gama setelah berhasil memasangkan jas. Tangannya dengan cekatan merapikan dasi Gama yang miring.
"Baik nanti saya akan minta notulennya sama Mbak Lita," ujar Kirana sembari mendongak menatap mata Gama. Yang tidak dia prediksi, Gama juga tengah menunduk menatapnya. Sehingga keduanya bersitatap selama beberapa saat.
Kirana sampai bengong seperti orang linglung, tatap Gama berhasil menyihirnya. Tangannya yang tengah membenarkan kerah kemeja pria itu kontan turun. Dia membuang pandangan ke mana pun, menghilangkan rasa aneh yang tiba-tiba menyerang.
Melihat reaksi asistennya, Gama berdecih. Dia bergerak menyingkir sembari membenarkan kerah kemejanya sendiri. "Hanya ditatap begitu saja mukamu sudah memerah," ucapnya sembari berjalan keluar ruangan.
Kirana secara refleks meraba kedua pipi. Hangat. Tapi apa iya merah? Buru-buru dia kembali ke meja dan mengambil sebuah cermin kecil dari dalam tas. Semburat memerah tampak terlihat dari pantulan cermin. Kadang dia kesal memiliki wajah berkulit tipis. Pembuluh darahnya mudah sekali menampakkan reaksi yang berlebihan seperti sekarang ini.
"Aku enggak akan begini kalau matanya nggak melotot seperti mata ikan," gerutunya setengah mendesah sembari menurunkan cermin. Dia melirik pekerjaannya yang masih menumpuk, lalu menarik berkas-berkas yang menumpuk itu ke dekatnya.
Belum juga membuka berkas pertama, dia merasakan sesuatu mengenai kakinya. Seseorang telah melempar sesuatu dan mengenai kaki. Itu yang terlintas di kepalanya. Namun, di ruangan ini tidak ada seseorang selain dirinya. Kirana spontan memegang kepalanya yang berdenyut.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Devil inside You
Romansa"Kamu pikir, kamu itu siapa?! Berani sekali mengatur hidupku." Gama menatap tajam, penuh intimidasi kepada wanita yang kini terpojok dengan bibir bergetar. "Kamu itu cuma asisten! Aku ingatkan sekali lagi posisimu. Kamu itu cuma asisten!" bentak G...