Ihsan keluar bersama seorang wanita dari dalam rumah membawa sebuah kaleng bekas kue kering.
Kirana yang duduk di kursi beton teras segera beranjak berdiri. Dia memperhatikan wanita paruh baya di samping Ihsan.
"Kak Kirana, ini ibu saya," ujar Ihsan mengenalkan wanita itu.
Kirana tersenyum memandang sosok bersahaja di depannya. Wanita itu mengingatkan Kirana pada ibunya di kampung. Dia segera mengulurkan tangan.
"Selamat sore, Bu. Saya Kirana," ujarnya mengenalkan diri.
Wanita itu tersenyum lalu menyambut uluran tangan Kirana. "Saya Tari, Nak Kirana."
"Senang bertemu dengan Bu Tari dan Ihsan. Saya minta maaf, tadi sepeda Ihsan terjatuh dan—"
"Kenapa kamu yang minta maaf, Kirana? Jelas-jelas bocah itu yang menabrak saya," sela Gama cepat. Dia kesal lantaran Kirana malah membawanya ke tempat yang lebih mirip kandang burung baginya.
Kirana menatap geram Gama yang masih saja duduk di teras. Pria arogan itu sama sekali tidak tahu sopan santun.
"Maaf, Bu. Dia sedang kurang sehat sepertinya, jadi mohon maklum," ucap Kirana yang merasa tak enak kepada Bu Tari.
"Saya sehat, ya, Kirana," sahut Gama lagi. Dia mendengus sebal.
"Jadi, siapa yang terluka, Nak? Ini Ibu punya kassa dan betadine di kotak ini. Plesternya juga ada." Bu Tari menyerahkan kotak yang dia bawa kepada Kirana.
"Terima kasih, Bu. Bos saya yang terluka. Saya pinjam kotak obatnya dulu, ya, Bu."
"Iya, Nak. Silakan."
Kirana mendekati Gama yang masih memasang tampang kecut. Dia lantas beranjak duduk di sisi pria itu dan membuka kaleng bekas biskuit yang disebut kotak obat oleh Bu Tari.
"Ke marikan tangan Bapak. Biar saya obati," ujar Kirana tanpa menatap pria di sebelahnya.
"Saya nggak mau. Memangnya obat-obat itu steril? Tempatnya saja nggak meyakinkan begitu," tolak Gama memandang sebelah mata ke arah kaleng yang Kirana pegang.
Kirana mengembuskan napas kasar. Bosnya benar-benar pintar memancing emosi. "Yang penting nggak kadaluwarsa. Bapak mau cepat kita pergi enggak?" tanya Kirana berusaha tetap sabar.
Bibir Gama mencebik lucu dan dengan terpaksa dia mengulurkan lengannya. "Dua-duanya lecet. Kamu harus hati-hati mengobatinya," ujarnya.
Tanpa banyak bicara lagi, Kirana segera menyiram luka Gama dengan air mineral yang dia bawa.
Gama meringis ketika luka lecetnya terkena siraman air. Dia melihat bagaimana Kirana menyeka lukanya dengan telaten menggunakan kain kasa. Wanita itu lantas menuang cairan merah betadine.
"Perih," rintih Gama meringis.
Kirana tidak peduli dengan rintihan Gama, dia terus menuang betadine ke atas luka Gama.
"Kirana, ini perih."
"Lebih perih mana sama luka yang Bapak buat?" sahut Kirana dengan nada sengit, membuat Gama serta-merta terdiam.
Pria itu tidak berani membalas ucapan Kirana yang entah kenapa menohok ulu hati.
"Kak Gama sama Kak Kirana mau minum apa? Biar Ihsan belikan," tanya Ihsan yang dari tadi memperhatikan Kirana memberi obat pada luka Gama.
"Nggak usah repot-repot Ihsan, kami sudah selesai, kok," sahut Kirana seraya menutup botol betadine.
"Memangnya Kak Kirana sama Kak Gama mau ke mana?"
"Sebenarnya kami mau ke kontrakan Mas Nanang. Tapi, sepertinya kami nyasar, deh," terang Kirana sambil membereskan kembali kotak obat yang sudah selesai dia pinjam.
"Mas Nanang? Mas Nanang yang bisa servis komputer sama Hp bukan, ya, Kak?" tanya Ihsan dengan alis menyatu.
"Ah, iya, benar! Kamu kenal?"
Ihsan tersenyum dan mengangguk. "Ihsan tau, Kak. Ihsan kan lagi belajar juga cara servis HP."
Kirana tersenyum sumringah. "Kalau begitu kamu bisa anterin kami ke sana?"
"Bisa dong, Kak."
Gama heran melihat mereka berdua yang gampang sekali akrab. Padahal keduanya baru pertama ketemu. Seakan pucuk dicinta ulam tiba, anak bernama Ihsan pun ternyata tahu tempat yang ingin Kirana tuju. Gama dengan amat terpaksa mengikuti keduanya dari belakang.
Ternyata tempat yang Kirana tuju berlokasi di dekat belokan tempat Gama tertabrak tadi. Seandainya dirinya tidak tertabrak, sudah pasti Kirana akan membawanya terus berjalan tanpa arah.
Ihsan membawa Kirana dan Gama ke sebuah rumah petak, yang di depannya ada papan bertuliskan : Jasa Servis HP dan Laptop.
"Assalamualaikum, Mas Nanang!" seru Ihsan di depan rumah yang pintunya terbuka itu. Dari dalam rumah tersebut sayup-sayup terdengar orang yang menjawab salamnya.
Lalu sosok pria tinggi yang mengenakan kaus dan celana jin muncul. "Loh, Ihsan, kok balik lagi? Ada yang ketinggalan?" tanya lelaki yang rambutnya agak gondrong itu. Dia belum ngeh jika Ihsan membawa dua orang di belakangnya.
"Nggak, Mas, ini ada yang nyari tempat Mas Nanang. Mau servis laptop katanya," sahut Ihsan yang lantas membuat lelaki bernama Nanang itu memusatkan perhatian kepada dua orang di belakang Ihsan.
Nanang memperhatikan sosok wanita berpakaian bagus yang tengah tersenyum padanya. Wajahnya nggak asing. Lalu dia teringat dengan seseorang yang menghubunginya kemarin malam. "Kirana, ya?" tebaknya.
Kirana langsung mengangguk. "Iya, Mas. Aku Kirana."
"Gusti! Pangling aku, Nduk!" Mas Nanang menepuk jidatnya sendiri seraya terkekeh. "Ayo, ayo, Nduk, masuk. Udah aku tunggu dari siang padahal," lanjutnya mempersilakan Kirana masuk ke dalam rumahnya. Dia tidak menghiraukan pria yang sedari tadi bersama dengan Kirana. Entah sengaja atau benar-benar tidak melihat. Yang jelas hal itu cukup membuat Gama kesal.
"Kirana!" seru Gama memanggil wanita yang kini malah hendak menuruti laki-laki yang mengaku bernama Nanang itu untuk masuk ke rumah petak itu.
Kirana menoleh dan terkejut karena hampir melupakan bosnya.
"Loh dia siapa, Kirana? Pacar kamu?" tanya Nanang menuding samar kepada Gama yang masih saja berdiri mematung di depan rumah, memepet jalan itu.
"Ah, iya, Mas. Lupa. Ini Pak Gama, atasan di tempat kerjaku," ucap Kirana sedikit ngeri melihat tampang Gama saat ini.
"Owalah yang laptopnya kamu rusakin tho?" tanya Nanang lagi.
"Iya, benar, Mas," sahut Kirana kikuk. Dia kembali melirik Gama.
"Kalau begitu sekalian masuk saja. Monggo, Mas."
Gama hanya menggumam tak jelas lantas mengikuti langkah Kirana.
"Mas Nanang, aku pulang dulu, ya," pamit Ihsan setelah berhasil mempertemukan Kirana dan Mas Nanang.
"Oke, hati-hati di jalan, San."
Anak berumur lima belas tahun itu melambaikan tangannya seraya berlalu.
Begitu memasuki rumah Nanang, mata Kirana langsung menemukan bengkel kecil yang sedikit berantakan. Kirana dulu pernah ke sini bersama bapaknya, tapi itu sudah lama sekali ketika dirinya masih kelas dua SMA. Kondisi bengkel kecil Nanang tidak jauh beda dengan yang pernah dulu dia lihat.
"Hebat kamu, Kirana. Sekarang sudah jadi orang kantoran," puji Nanang, seraya mempersilakan mereka duduk di sebuah sofa yang tampak usang.
"Ah, biasa saja, Mas."
Mengabaikan obrolan mereka, Gama memindai semua sudut ruang yang seperti kapal pecah baginya. Terlalu banyak barang yang nggak berguna di setiap sudutnya. Membuat tempat kumuh ini makin terlihat kumuh.
Dan, laptop mahalnya akan diservis di tempat yang kacau seperti ini?! Kirana benar-benar bercanda.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Devil inside You
Romance"Kamu pikir, kamu itu siapa?! Berani sekali mengatur hidupku." Gama menatap tajam, penuh intimidasi kepada wanita yang kini terpojok dengan bibir bergetar. "Kamu itu cuma asisten! Aku ingatkan sekali lagi posisimu. Kamu itu cuma asisten!" bentak G...