22. Minuman Jahe

5.3K 532 4
                                    

Pintu dengan cepat terbuka. Silvana muncul dengan wajah panik.

"Astaga, Kirana! Ada apa?" tanya Silvana yang melihat Kirana terjerembab, membentur dinding.

Kirana tampak masih syok dengan apa yang sudah dia lihat. Telunjuknya terangkat, menunjuk lokasi di mana dia melihat kepala botak, bermuka pucat. "A-ada anak kecil ngagetin saya, Mbak," jawabnya takut-takut.

Silvana segera menghampiri Kirana dan menolong wanita itu. "Kamu ada-ada saja. Mana mungkin ada anak kecil di ruang kerja Gama?" ujarnya membantu Kirana berdiri.

"Saya serius, Mbak. Anak kecil itu suka main bola karet." Kirana celingukan mencari sosok itu. Tapi anak kecil itu tidak terlihat lagi. Sebenarnya Kirana tidak terlalu takut, hanya saja tadi dia terkejut lantaran kepala anak itu muncul secara tiba-tiba.

Bola mata Silvana mau tak mau ikut mengedar. Dia sangat tahu Gama itu memiliki kelebihan yang tidak semua orang bisa miliki. Gama kerap menakutinya jika pria itu sudah bertingkah aneh. Berbicara dengan makhluk tak kasat mata misalnya. Kalau Gama sudah begitu, biasanya Silvana akan memilih pergi.

"Kirana, ayo kita keluar saja dari sini." Silvana menarik lengan Kirana, dia tidak mau berurusan dengan teman-teman Gama yang tak terlihat.

"Kamu nggak apa-apa? Apa teman Gama mengganggu kamu?" tanya Silvana ketika mereka sudah ada di lift.

Kirana melongo sesaat mendengar kata teman. "Te-teman yang mana ya, Mbak?" tanyanya tak paham.

Silvana meringis, telunjuk mengarah ke belakang. "Itu yang di ruangan Gama. Yang kamu bilang anak kecil. Siapa coba kalau bukan teman Gama?"

Asisten pribadi Gama itu mengangguk. "Mbak Silvana tau juga ya kalau Pak Gama itu aneh?"

"Aku kan udah berteman lama sama dia. Jadi yang kayak gitu ya aku taulah."

Kirana lupa. Mereka berteman lama. Dia mengangguk-angguk lagi. "Aku pikir Mbak Silvana pacar Pak Gama."

"Enggaklah. Kami berteman baik dari SMA. Lagi pula orang yang aku suka itu Raja. Kamu tau Raja kan? Dia kakak tiri Gama."

Bibir Kirana mengerucut. Dia tahu Raja kakak Gama, tapi dia tidak tahu kalau mereka saudara tiri. Pantas saja keduanya tidak akur. Ah, tidak, yang sering Kirana lihat Gama yang selalu memasang jarak.

Keduanya makan di salah satu restoran tidak jauh dari kantor. Sejak menjadi asisten Gama, Kirana lumayan sering makan di tempat yang dulu tidak bisa dia jangkau sama sekali. Sebenarnya bisa, hanya saja daripada menghabiskan uang ratusan ribu untuk sesuatu yang akhirnya menjadi kotoran, lebih baik dia gunakan uang itu untuk membantu orang tuanya di kampung. Apa lagi dia memiliki impian membangun rumah layak untuk mereka.

Di tengah kegiatan makan mereka, telepon dari Gama muncul. Kelopak mata Kirana kontan membuka lebar. Dia buru-buru meraih tisu untuk mengelap tangan sebelum menerima panggilan dari sang bos.

"Kamu di mana?!"

Suara besar Gama menggelegar di ujung sana. Kirana sampai harus menjauhkan ponsel dari telinganm dengan wajah meringis.

"Saya sedang makan siang, Pak."

"Makan siang di saat kerjaanmu belum beres?! Jam dua ada meeting dan kamu belum mengirim file meeting ke email saya!"

"Astaga!" Kirana memegang kepala sendiri. "Saya lupa, Pak. Saya akan segera kembali buat menyiapkan!"

Gama terdengar menggeram. "Nggak perlu! Lita sudah melakukannya. Dasar asisten bodoh!"

Lalu panggilan mati begitu saja setelah telinga Kirana mendengar umpatan itu. Dia mendesah. Membayangkan nanti bertemu si bos, habislah dia kena maki ulang.

The Devil inside YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang