Chapter 6

10.5K 1.2K 51
                                    

Oliver menyandarkan punggung ke tembok sambil mengatur napasnya yang tak beraturan. Sebelah lengannya memegangi lengan lainnya yang terus mengucurkan darah dari luka akibat sabetan benda tajam beberapa saat yang lalu. Dia memejamkan mata menahan sakit, berusaha keras untuk tak bersuara. Apakah mereka sama sekali tak berniat menyerah? pikirnya kalut.

Dengan hati-hati, dia menjulurkan leher untuk melirik dua pengejarnya di balik tembok; seorang cowok berambut pirang-pucat-nyaris-putih bermodel spike dan seorang cewek berambut merah keunguan dengan riasan berwarna hitam di bagian mata. Si cowok memegang sebuah pisau pendek di tangan kirinya. Pisau itulah yang tadi berhasil melukai Oliver.

"Ke mana dia pergi?" Si cowok menggeram kesal. Dari tiga kali pertemuan singkat mereka sebelumnya, Oliver mempelajari bahwa nama si cowok adalah Nate, sementara si cewek bernama Mia. Mereka berdua bersaudara dan entah mengapa selalu mengejarnya, di saat dia bahkan tak mengenal mereka sama sekali.

Mereka pertama kali bertemu seminggu yang lalu. Saat itu hampir tengah malam, dan Oliver baru saja menelan potongan terakhir hamburger-nya. Dua orang itu muncul begitu saja dari balik pepohonan tinggi yang tersebar di taman, dan langsung menyerangnya bertubi-tubi. Untunglah sata itu ada seorang pejalan kaki yang melintas dan berteriak meminta pertolongan ketika melihat Oliver dikeroyok.

Pertemuan kedua terjadi tiga hari yang lalu di area parkir suatu gedung perkantoran. Saat itu Oliver hendak mengunjungi salah seorang kenalannya, tetapi berubah pikiran begitu melihat dua bersaudara itu berlari ke arahnya. Setelah memukul jatuh Mia, akhirnya dia berhasil melarikan diri--meski Nate berhasil menggores kakinya. Dari pertemuan itulah Oliver mengetahui nama dua bersaudara tersebut.

"Aku yakin dia masih ada di sekitar sini," sahut Mia. Dia menoleh ke sekeliling, seolah tengah berusaha menerka tempat persembunyian Oliver. Ketika cewek itu menoleh ke belakang, Oliver cepat-cepat menarik kembali lehernya.

"Kita harus menemukannya." Oliver mendengar suara Nate yang dipenuhi kemarahan. "Dia terluka, jadi harusnya dia tak bisa pergi terlalu jauh, kan?"

"Tenang, little brother, kita akan menemukannya. Ikuti aku."

Oliver mengambil risiko untuk kembali mengintip ke balik tembok, dan mendapati dua pengejarnya sudah berada di seberang jalan, menghilang ke arah Oak Street. Dia menghela napas lega, lalu mengamati darah yang masih mengalir dari luka yang melintang sepanjang kira-kira empat sentimeter di lengannya. Kalau luka itu tak diurus terlebih dahulu, maka luka tersebut akan semakin parah dan sulit untuk disembuhkan.

"Sialan, seharusnya tadi aku bisa menghindari serangannya," sesalnya. Pikirannya terlalu dipenuhi dengan berita kematian Toby dan pesan singkat yang terakhir diterimanya, sampai-sampai dia tak menyadari kalau dua bersaudara itu sudah menunggunya sewaktu dia keluar dari motel yang dia tempati selama beberapa hari terakhir.

Sebelum dia dapat mengelak, Nate sudah terlebih dahulu melompat ke arahnya dan mengayunkan pisau di tangannya ke arah Oliver. Dia berhasil menghindar di detik-detik terakhir, tetapi tetap saja pisau itu sempat merobek jaketnya dan mengiris lengannya. Mereka pun sempat terlibat baku hantam selama beberapa menit sebelum Oliver berhasil meloloskan diri ke gang buntu tempatnya bersembunyi saat ini.

Dia berjalan beberapa langkah masuk lebih dalam ke gang yang hanya dipenuhi kardus kosong dan sisa-sisa bahan bangunan tersebut, lalu duduk bersandar di tembok yang dibuat dari bata merah. Dia menarik napas dalam-dalam, dan ketika mengembuskan napas, sinar merah pun memancar dari telapak tangan kirinya. Perlahan, disentuhnya luka di lengan kanannya, membiarkan rasa hangat muncul menggantikan sakit yang sebelumnya dia rasakan.

Selama beberapa menit, dia membiarkan tangan kirinya berdiam di situ hingga rasa perih di lukanya menghilang, lalu mengangkat tangan kirinya. Seperti yang sudah dia duga, luka itu kini tak lagi mengeluarkan darah, meski belum menutup sepenuhnya.

Oliver menarik ranselnya ke depan, mengeluarkan perban, lalu merobek perban tersebut dan melilitkannya beberapa kali di bagian yang terluka. Sedikit menyulitkan karena dia harus menggunakan giginya untuk mengikat perban, tapi akhirnya dia berhasil juga. Untuk saat ini, ikatan perban itu berfungsi untuk menghindari infeksi di lukanya, tetapi dia harus segera mengobatinya nanti saat memiliki lebih banyak waktu.

Sedikit banyak dia bersyukur dengan kemampuan spesial yang dia miliki. Meski beberapa luka tak dapat sembuh secara otomatis--misalnya luka yang mengeluarkan banyak darah seperti luka di lengannya--tetapi dia pasti sudah mati kalau tak memiliki kemampuan tersebut. Dengan kemampuan ini, paling tidak dia tak akan mati akibat kehabisan darah.

Tap, tap.

Telinganya menangkap bunyi langkah mendekat dari arah jalan masuk gang. Ketika Oliver mengangkat kepala, dua pengejarnya telah berdiri beberapa meter di depannya, menutupi satu-satunya jalan keluar dari gang buntu tersebut. Bayangan mereka menggantung rendah di jalan, seakan-akan siap untuk menelannya kapan saja.

"Gotcha!" seru Nate, menoleh ke saudarinya. "Kau jenius, Mia!"

Cewek berambut bob dengan panjang sedikit di atas bahu itu memain-mainkan pisau pendek di tangannya sambil menyeringai jahat. "Kan sudah kubilang, kita akan menemukannya."

Dengan jantung berdebar kencang, Oliver bangkit pelan-pelan sambil memindahkan ranselnya ke pundak. Ketakutan mulai memasuki benaknya, terlebih karena tak ada jalan keluar yang lain. Tembok di belakangnya terlalu tinggi untuk dilompati, dan tak ada apa pun yang dapat dijadikan alat bantu untuk melompatinya. Satu-satunya jalan keluar hanyalah melewati dua orang di depannya, tapi bagaimana caranya?

Pikiran-pikiran buruk mulai berlarian di benaknya. Apakah aku akan mati di sini? Tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal pada Alice?

Oliver menggeleng untuk menjernihkan pikirannya, lalu mengelap keringat dingin yang membasahi keningnya dengan punggung tangan. Saat ini, yang harus dia pikirkan adalah cara untuk kabur. Dia tak bisa mati sia-sia di sini. Ada tugas yang harus dia selesaikan--menghentikan pembunuhan berantai yang menghantui Andromeda City.

Ketika dua pengejarnya mulai berjalan maju dengan serempak, Oliver melangkah mundur sambil menghitung dalam hati. Satu, dua, ..., tiga!

Pada hitungan ketiga, dia berlari maju dengan kencang ke arah Nate. Ditubruknya cowok bertubuh besar itu hingga mereka berdua jatuh terjerembap menghantam jalanan. Sebelum Nate pulih dari keterkejutannya, Oliver cepat-cepat melompat berdiri dan mengayunkan sebelah kakinya untuk menendang rusuk Mia. Sayangnya, cewek itu mampu berkelit menghindar dengan luwes, lalu secepat kilat menusukkan pisau di tangannya ke perut Oliver.

"Sekarang, kau tak dapat kabur lagi," bisik Mia dengan suara sedingin es.

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang