Chapter 21

3.8K 741 38
                                    

Sebelum cewek itu mengayunkan pisaunya, aku mengibas tangan untuk menerbangkan pisau yang tergeletak di bawah mobil ke arahnya. Dia menjerit ketika pisau itu menyayat lengannya dan meninggalkan luka menganga yang tampak menyakitkan.

Cewek itu menjatuhkan pisau di tangannya lalu--sambil memegangi lengannya yang kini berlumuran darah—menatapku dengan pandangan penuh dendam. "Kau akan membayarnya, Sheridan, aku bersumpah!"

Aku bergegas melompat bangkit, siap untuk kabur. Otakku masih cukup waras untuk tak menantang cewek itu berkelahi satu lawan satu. Niatku hanyalah mengalihkan perhatiannya agar aku dapat melarikan diri, tapi aku melupakan kehadiran saudaranya--yang telah menyadari insiden kecil kami akibat jeritan cewek itu barusan. Aku menggigit bibir dengan kesal. Sial, sial, sial!

"Mia!" teriak cowok itu, kemudian berlari menghampiri kami diikuti oleh Oliver di belakangnya.

Dalam waktu singkat Oliver tiba di depanku. Tanpa berhenti berlari dia langsung menarik tanganku dan membawaku berlari bersamanya. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya gusar.

"Mencarimu."

Cowok itu menengok ke belakang sekilas. "Jangan lihat ke belakang!"

"Kenapa?" tanyaku sambil menoleh ke belakang. Apa yang kulihat segera membuatku mengutuk rasa penasaranku.

Di belakang kami, Mia dan saudaranya mengejar kami dengan wajah penuh amarah. Aku ngeri membayangkan apa yang akan terjadi pada kami kalau mereka berhasil menyusul kami. Pikiran itu entah bagaimana berhasil membuatku berlari lebih cepat hingga aku merasa dapat memecahkan rekor atletik Andromeda High.

Kami berlari tanpa tujuan sambil menyelinap di antara mobil-mobil yang berbaris rapi di area parkir. Napasku megap-megap dan kakiku mulai terasa pegal, bahkan beberapa kali aku nyaris terjatuh jika Oliver tak memegangi tanganku. Aku mengusap peluh di keningku dengan punggung tangan, setengah tak percaya kalau aku sedang dikejar oleh dua orang yang bisa jadi merupakan pembunuh yang menyusup ke pesta Raven.

Tapi kenapa mereka ingin membunuhku? Selain itu, tampaknya mereka dan Oliver 'mengenal' satu sama lain. Memikirkan semua itu tidak membantu sama sekali. Malah membuatku semakin lelah.

"Ke sini, Alice!" Oliver menarikku memasuki celah sempit di antara dua mobil. Sambil berjongkok, kami mengendap-endap menuju bagian belakang mobil, lalu dia merogoh ranselnya dan mengeluarkan benda berbentuk silinder.

Masih berusaha mengatur napas, aku mengamati benda tersebut. "Stun gun?" bisikku.

Dia mengangguk. "Sayangnya, ini hanya dapat digunakan sekali lagi. Baterainya habis."

Aku menelan ludah dengan cemas. Satu kali? Padahal mereka ada dua orang.

"Aku akan melumpuhkan salah satunya dengan ini lalu menyerang yang lainnya. Sementara itu kau harus kabur," lanjut Oliver.

"Lalu bagaimana denganmu?"

Oliver menatap lurus ke dalam mataku. "Jangan pikirkan aku, yang penting kau selamat."

Aku balas menatapnya lekat-lekat hingga dapat melihat pantulan diriku dalam matanya, dan aku jadi bertanya-tanya, kenapa dia selalu hanya memikirkan orang lain, dan tak pernah memikirkan dirinya sendiri? Sikapnya seolah menyatakan kalau tak masalah dia terluka selama orang lain baik-baik saja.

Oliver mengalihkan pandangan dariku untuk mengamati situasi di depan kami lalu menyalakan stun gun di tangannya. "Mereka datang. Bersiaplah."

Saat itu aku menyadari satu hal. Jika aku pergi begitu saja, maka Oliver akan terluka lagi akibat melindungiku. Itulah sebabnya aku harus memikirkan suatu rencana yang dapat menyelamatkan kami berdua. Dia harus tahu kalau aku juga bisa menjaga diriku sendiri.

Diam-diam, tanpa sepengetahuan Oliver, aku berbalik, kemudian merangkak menuju pintu penumpang mobil tempat kami bersembunyi. Lalu aku mengulurkan tangan untuk menggenggam pegangan pintu dengan mantap, siap untuk menariknya kapan saja. Pintu mobil tidak akan terbuka, tentu saja, karena itu pasti terkunci, tapi memang bukan itu rencanaku.

Aku lantas mengintip dari balik mobil dan melihat dua pengejar kami datang dari arah kiri. Aku menunggu hingga mereka berada di dekat mobil persembunyian kami, kemudian kutarik pegangan pintu di tanganku kuat-kuat.

Bunyi alarm yang memekakkan telinga belum pernah terdengar begitu merdu di telingaku.

Atau, setidaknya itu merdu selama beberapa saat, hingga aku mulai terganggu dengan kebisingan yang ditimbulkannya. Aku menutup telinga dengan kedua tangan dan kembali ke tempatku semula di sebelah Oliver, yang kini tengah membelalak padaku. Aku hanya mengangkat bahu. Jika rencanaku berhasil, kami berdua akan selamat.

"Hei, apa yang kalian lakukan di situ?" Suara seorang pria terdengar dari kejauhan. Itu pasti petugas keamanan yang datang akibat alarm mobil berbunyi. Semua kendaraan di Andromeda City memang telah dilengkapi dengan sistem khusus yang terhubung otomatis dengan sistem keamanan di semua gedung. Jadi saat alarm berbunyi, petugas keamanan akan langsung datang untuk memeriksa apa yang terjadi. Kekurangannya, alarm itu hanya bekerja untuk gangguan yang dapat mengancam keamanan mobil, misalnya jika kacanya dipecahkan atau seperti yang kulakukan barusan. Itu sebabnya alarm mobilku tak berbunyi sewaktu kaca depannya dicoreti oleh Sofia.

Terdengar derap langkah mendekat, sepertinya lebih dari satu orang, lalu alarm mobil berhenti berbunyi, dan pemilik suara tadi kembali berbicara, "Maafkan kami, Sir. Hal ini tak biasanya terjadi."

"Tidak apa-apa, mereka pasti tak sempat melakukan apa pun karena alarm sudah terlanjur berbunyi," kata orang lain lagi--pasti si pemilik mobil. Dari pembicaraan mereka, aku menyimpulkan bahwa pengejar kami telah melarikan diri, seperti harapanku.

Kami menunggu hingga orang-orang itu pergi, lalu keluar dari belakang mobil. Aku mengembuskan napas lega, merasa sedikit tenang meskipun jantungku masih belum kembali berdetak dengan irama yang normal.

Di sisiku, Oliver menunduk dengan kening berkerut. Sesuatu sedang mengganggunya, aku tahu itu, tapi dia tak mengucapkan apa pun jadi aku ikut diam membisu karena tak yakin harus berkata apa.

"Alice!"

Mendengar namaku dipanggil, aku memutar kepala dan terkesiap. "Peter! Kau baik-baik saja?" tanyaku cemas. Keadaan sahabatku tampak mengenaskan; lengan jaketnya robek tersayat pisau di beberapa tempat dan ada luka goresan melintang di pipi kanannya.

"Hanya luka kecil," katanya. "Bagaimana dengan kalian? Tak ada yang terluka?" Aku menggeleng, tapi cowok itu tetap menatap kami bergantian dengan saksama untuk memastikan kalau kami baik-baik saja.

"Apa yang terjadi?" tanya Oliver, heran melihat kondisi Peter.

"Pembunuh itu berhasil mengejar Alice sampai ke sini," jawab Peter. Kurasa dia pikir cowok berambut biru itulah pembunuh yang menyusup ke pesta Raven. "Yang aneh adalah, dia pergi begitu saja beberapa saat yang lalu."

Sebelah alis Oliver terangkat tinggi. "Pembunuh, katamu?" Peter menceritakan kejadian yang kami alami sebelumnya, lalu wajah Oliver berubah pucat. "Jadi itu sebabnya mereka ada di sini."

"Siapa yang kau bicarakan?" tanya Peter.

Oliver menggeleng cepat dengan raut serba salah. Seakan dia baru saja mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak kami dengar. "Bukan apa-apa."

Sikapnya membuatku jengkel. "Come on, Oliver, Aku hampir mati dua kali dalam hari yang sama! Paling tidak, katakanlah sesuatu, oke? Dua orang tadi dan orang yang berkelahi dengan Peter itu saling berhubungan, kan?"

Ketika melihat Oliver hanya diam, Peter mencoba membujuknya. "Menurutku, menyembunyikannya dari kami bukan ide yang bagus. Kau juga tahu bahwa pembunuh itu kini mengincar Alice. Itulah sebabnya kita harus bekerja sama dan menemukan dia. Kau lihat sendiri, kan, nyawa Alice kembali terancam begitu kau pergi."

Oliver menatap kami bergantian sambil menghela napas. Mata birunya tampak begitu sedih. "Kalian tidak mengerti," katanya lambat-lambat. "Justru itulah yang diinginkan oleh si pembunuh. Dia ingin melibatkan kalian."

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang