Jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi ketika akhirnya aku melompat bangkit dari tempat tidur. Sebenarnya, aku sudah bangun sejak pukul tujuh, tapi dengan sengaja aku memutuskan untuk berpura-pura masih tidur agar tidak perlu sarapan bersama ibuku. Meski kemarahanku sudah surut, tapi aku tak menampik masih ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Rasanya sulit untuk bertemu ibuku dan bersikap biasa seolah tak ada yang terjadi, setelah apa yang kudengar kemarin.
Aku menuruni tangga menuju ruang makan. Tak ada siapa pun di sana, seperti harapanku. Aku membuka kulkas, menyambar seporsi sarapan-siap-saji, lalu memasukkannya ke microwave. Selagi menunggu, aku menyalakan ponsel dan sebuah pesan teks muncul di layar--dari ibuku. Jariku berhenti beberapa sentimeter di atas layar, ragu untuk mengekliknya, tapi belakangan kuputuskan untuk membukanya. Selama beberapa menit, mataku memindai deretan kalimat singkat di layar ponsel, membacanya berulang kali, sampai-sampai aku tak mendengar bunyi dari microwave yang menandakan makananku sudah hangat dan siap disantap.
Aku menghabiskan sarapan sambil memikirkan pesan teks dari ibuku. Kalau kau menginginkan penjelasan, Alice, temui aku di kamar. Tak kusangka dia berubah pikiran secepat ini, dan aku tak yakin apa itu bagus atau sebaliknya. Walaupun aku penasaran setengah mati tentang Alex, tapi di sisi lain ada kekhawatiran yang membayangiku. Misalnya, bagaimana jika akulah penyebab Alex menghilang? Dan itu alasannya ibuku merahasiakan keberadaannya dariku selama ini, supaya aku tak menyalahkan diri sendiri. Aku mengembuskan napas panjang lalu menelan ludah, berusaha melawan kecemasan yang melanda. Hanya ibuku yang dapat menjelaskan, jadi kalau aku mau tahu, aku harus bertanya padanya.
Ibuku sudah menunggu di kamarnya ketika aku berdiri di ambang pintu kamar yang dibiarkan terbuka. Dia duduk dengan tatapan menerawang di tepi tempat tidur, wajahnya menyiratkan keletihan dan ada lingkaran hitam di sekeliling matanya. Kelihatannya ibuku tidak tidur semalam suntuk. Matanya berpaling padaku begitu aku mengetuk pintu.
"Masuklah, Alice." Dia menepuk sisi tempat tidur di sebelahnya selagi aku mendekat, mengisyaratkan supaya aku duduk di situ.
Aku menunggu dia mengucapkan sesuatu, tapi dia tak berbicara apa-apa, dan aku juga tak tahu harus mulai bertanya dari mana, jadi selama beberapa detik ada keheningan yang canggung di antara kami. Ini pertama kalinya, sebab baik aku dan ibuku bukan termasuk tipe yang pendiam. Akhirnya aku tak tahan lagi dan memaksakan diri untuk memulai pembicaraan. "Jadi ... aku punya saudara kembar bernama Alex."
Kelihatannya dia hanya menungguku mulai bicara duluan, sebab kata-kata langsung meluncur dari mulutnya. "Nama lengkapnya Alexander Moore." Sesuai dengan nama di piala-piala yang kemarin kutemukan. Sebelum aku bertanya, dia melanjutkan, "Kalian memang memiliki nama belakang yang berbeda supaya tak ada yang tahu kalau dia anggota keluarga Sheridan. Nama belakangnya akan dikembalikan menjadi Sheridan saat dia disahkan menjadi ahli waris Sheridan Group. Namun, hingga hari itu tiba, dia diberi nama lain untuk melindunginya dari pihak-pihak tertentu. Kau tahu kan, kakekmu punya banyak saingan yang rela menggunakan segala cara untuk menjatuhkannya? Mereka tak akan segan untuk melenyapkan Alex jika mereka tahu identitasnya."
Ucapan ibuku beberapa waktu silam terngiang di benakku. Dulu, beberapa keluarga yang sangat kaya raya memang biasa menyembunyikan anak laki-laki di keluarga mereka. Tujuannya untuk melindungi anak-anak tersebut dari pesaing bisnis--yang kadang bisa bersikap kejam. Rupanya hal tersebut juga diterapkan di keluargaku.
"Tapi dia tetap tinggal bersama kita, kan?" Ibuku mengangguk. "Lantas, bagaimana mungkin tidak ada yang tahu kalau dia anggota keluarga kita?"
"Well, seperti yang kau tahu, di rumah kita hanya ada para asisten rumah tangga. Mereka semua sudah menandatangani surat perjanjian yang menyatakan kalau mereka tidak akan membocorkan apa pun yang mereka lihat atau dengar di rumah ini. Dan selain mengikuti berbagai perlombaan, Alex hampir tidak pernah keluar rumah. Kami bahkan mendatangkan beberapa guru privat agar dia tak perlu ke sekolah. Rencananya, dia akan disekolahkan ke luar negeri. Itu lebih aman bagi Alex."
Astaga. Tak kusangka saudara kembarku menjalani hidup seperti itu. Pasti berat baginya. "Jadi, tak ada siapa pun yang tahu kalau dia saudaraku?"
"Hanya teman-teman dekat." Aku penasaran apa keluarga Raven termasuk.
"Dan ...." Ini dia. Pertanyaan-paling-penting-hari-ini. "Bagaimana ceritanya dia bisa menghilang?"
Ibuku menarik napas dalam-dalam. Raut wajahnya seketika diselimuti kesedihan. "Aku tak tahu .... Pada hari terjadinya kecelakaan ayahmu, dia juga bersama kalian. Namun, sewaktu ambulans tiba di lokasi kecelakaan, mereka hanya menemukanmu dan ayahmu. Alex tak ada di mana pun. Dia lenyap bagai ditelan bumi."
Aku menahan napas sementara mendengar cerita ibuku. Rupanya saudaraku juga ada di sana saat itu? Lantas, ke mana dia pergi?
"Aku menyewa beberapa detektif swasta untuk mencarinya. Tapi hasilnya nihil. Selama sembilan tahun terakhir, tak ada satu pun petunjuk mengenai keberadaannya. Aku bahkan tak tahu apa dia masih hidup." Ibuku berhenti bicara dan mengusap sudut matanya dengan saputangan. Membicarakan Alex pasti membangkitkan banyak kenangan menyedihkan baginya.
"Kenapa Mom tak pernah memberitahuku semua ini? Dia saudaraku. Aku berhak tahu apa yang terjadi padanya." Ketika dia tak kunjung menyahut, aku memelankan suaraku. "Gramps--apa dia yang meminta Mom menyembunyikannya?"
Ibuku menggeleng. "Sebenarnya, malah aku yang memintanya merahasiakan soal Alex darimu, jadi tolong jangan berprasangka pada beliau. Kakekmu juga sangat terluka, Alice. Dia kehilangan anak dan cucu dalam hari yang sama. Tidak satu pun dari kami yang siap menerima kenyataan. Jadi ... jika bahkan kami tidak sanggup, bagaimana denganmu? Kau sudah cukup menderita lantaran tak mengingat apa pun tentang ayahmu. Aku tak dapat, dan tak boleh, menambah bebanmu."
"Tapi kalau Mom menemukan Alex, aku juga bakal tahu kalau aku punya saudara, lalu apa bedanya bila aku tahu lebih cepat?" tanyaku dengan nada memprotes. Jujur, aku lebih memilih kalau dia memberitahuku sejak awal, bukan menemukannya sendiri dengan cara seperti ini. Apa pun alasannya--bahkan meski mereka mengatakan itu demi kebaikanmu, dibohongi itu menyakitkan. Terutama kalau yang melakukannya adalah keluargamu sendiri.
"Kupikir, kalau kami menemukannya, kau akan menerima penjelasan kami."
Dia pikir? Jawaban ibuku membuatku jengkel sampai-sampai kepalaku berdenyut-denyut. Aku memejamkan mata dan menghela napas keras-keras. Di telingaku, kata-katanya terdengar seperti alasan belaka, atau dengan kata lain : pembenaran.
"Apa kau mau melihat seperti apa Alex?" Ibuku mengucapkannya pelan-pelan. Suaranya terdengar ragu, seolah tak yakin ini saat yang tepat untuk menanyakannya. Meski aku sudah tahu seperti apa wajah Alex, tapi aku tetap mengangguk. Ibuku meraih ponsel dari nakas di sebelah tempat tidur dan menggeser jari di layar beberapa kali sebelum mengangsurkannya padaku. "Itulah foto terakhirnya yang kami miliki."
Foto di layar ponsel adalah foto yang diambil saat ulang tahun kami berdua yang ketujuh—sama dengan yang kulihat dalam tablet di kamar Alex. "Kami tidak mirip," gumamku, berusaha membuat suaraku seantusias mungkin. Bagaimanapun, aku harus berpura-pura ini adalah pertama kalinya aku melihat wajah saudara kembarku.
"Karena kalian bukan kembar identik. Kepribadian kalian juga sangat bertolak belakang. Alex termasuk tenang dan dewasa untuk anak seusianya. Dia juga rajin belajar dan gemar mengikuti berbagai perlombaan. Kau mau melihat-lihat pialanya?"
"Di mana Mom menyimpannya?" tanyaku, berlagak bodoh. "Aku tak pernah melihat piala apa pun di rumah ini."
"Di kamarnya." Mata ibuku menyorotkan rasa bersalah. Itu memang rahasia lain yang tak pernah kuketahui--sampai kemarin. "Aku masih menjaga kamarnya tetap seperti dulu."
Dia berdiri dan mengajakku ke kamar yang kemarin sudah kudatangi bersama dua sahabatku. Namun, ada satu hal yang aneh. Selagi berjalan ke sana, aku kerap bertanya-tanya bagaimana ibuku akan mengangkat pot kaktus tempat kunci itu disembunyikan di bawahnya, mengingat bahkan Peter tak kuat mengangkatnya sendirian. Akan tetapi, ibuku tidak mengambil kunci dari bawah pot itu--dia malah melepas kalung yang selalu dikenakannya. Aku tahu kalung itu. Dia selalu mengenakannya jika sedang di rumah, dan hanya melepasnya jika pergi ke pesta atau acara-acara lain yang mengharuskannya memakai perhiasan yang lebih bagus.
KAMU SEDANG MEMBACA
OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]
Mystery / Thriller[Ambassador's Pick Oktober 2024] [Cerita ini akan tersedia gratis pada 6 Agustus 2021] *** Pembunuhan berantai di Andromeda City mengincar nyawa para Anak Spesial. Oliver harus menemukan kembali ingatannya yang hilang agar dapat menghentikan aksi se...