Chapter 16

3.8K 749 11
                                    

"Ada apa, Sir?" tanya Oliver, berharap suaranya tak bergetar. Dia berusaha keras untuk tetap menunjukkan sikap percaya diri, meskipun dia sangat cemas laki-laki itu akan mengenalinya—terlebih karena berbohong bukanlah keahliannya.

Pria paruh baya berambut putih di depannya mengamati Oliver selama beberapa saat, lalu tersenyum ramah. "Kau menjatuhkan ini, Nak!" ujarnya, mengulurkan dompet cokelat. "Tak bisa masuk tanpa kartu identitas."

Oliver tertawa pelan untuk menyembunyikan kelegaannya. "Terima kasih, Sir." Dia meraih dompet tersebut dan sudah meneruskan berjalan beberapa langkah ketika laki-laki itu berbicara lagi.

"Tunggu, sepertinya aku pernah melihatmu?"

Kaki Oliver berhenti melangkah. "Anda pasti salah ingat, ini pertama kalinya saya ke sini," jawabnya tanpa menoleh.

Sebuah tangan yang berat memegang pundaknya dari belakang. "Tidak, aku yakin kita sudah pernah bertemu. Bisa kulihat kartu identitasmu sebentar?"

Oliver merasa perutnya menegang, tapi dia tak bisa gagal sekarang. Tidak, jika dia ingin menyelamatkan Alice. Jadi dia pun berbalik, mengambil dompet, lalu mengulurkan kartu identitasnya sambil memasang senyum polos di wajahnya.

Pria di hadapannya meraih kartu tersebut dan memeriksanya. "Jason Sullivan? Pantas saja aku merasa pernah melihatmu." Dia mengembalikan kartu identitas itu pada Oliver. "Kau membersihkan pantai bersama teman-temanmu setiap minggu, kan? Aku tinggal di dekat sana. Senang melihat anak muda sepertimu peduli pada lingkungan."

Oliver tertawa canggung, tak tahu harus berkata apa sebab dia khawatir salah bicara dan malah mengakibatkan orang itu mencurigainya. Lalu dia melihat resepsionis yang tadi mengusirnya melangkah menuju pintu keluar gedung. Aku harus pergi sebelum wanita itu kembali, pikirnya. Bagaimanapun, resepsionis itu melihat wajahnya dari dekat, jadi dia ragu dapat mengecoh wanita tersebut dengan rambut kuningnya.

Orang di depannya berdeham, mengembalikan perhatian Oliver padanya. "Maaf soal barusan, kuharap kau tak tersinggung. Ada pengacau tadi, dan sepintas kalian terlihat mirip, jadi--"

Oliver buru-buru memutus omongan pria tersebut. "Tidak apa-apa, Sir, sungguh! Maaf, tapi saya harus menyusul orang tua saya sekarang." Dia tersenyum lalu cepat-cepat pergi dari situ sebelum pria itu kembali mengajaknya bicara.

Wanita berambut brunette yang kini berdiri di balik meja menyapanya dengan ramah kemudian memindai kartu identitasnya dan mempersilakannya untuk masuk. Begitu berada di dalam, Oliver langsung mencari-cari keberadaan Alice. Masih ada lima menit sebelum jam dua belas, dan dia harus menemukan gadis itu sebelum si pembunuh beraksi.

Selang beberapa meja darinya, akhirnya dia menemukan orang yang dia cari. Gadis itu duduk bersama kakek dan ibunya, tengah menyantap makan siang. Tak sedikit pun dia tampak menyadari ancaman maut yang tengah mengintainya. Oliver pun menghela napas penuh kelegaan.

Tentu saja hal pertama yang ingin dia lakukan adalah menghampiri gadis itu. Tapi kemudian dia menyadari satu hal. Si pembunuh dapat bersembunyi di mana saja, dan itu berarti mendekati Alice bisa jadi merupakan tindakan yang berbahaya. Oliver lantas memutuskan berdiri diam di tempatnya, mengamati Alice dari jauh dengan penuh kerinduan.

Setidaknya dia aman, itu adalah hal yang terpenting.

Bunyi bel mendadak memenuhi ruangan, dan bersamaan dengan itu ponselnya bergetar pelan. Tubuh Oliver seketika membeku ketika melihat sebuah pesan singkat dari nomor tak dikenal tertera di layar ponselnya. Dia menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang kering, lalu dengan jari gemetar mengeklik pesan tersebut sambil berharap perkiraannya keliru.

Sayangnya, pesan itu berasal dari si pembunuh. Ketika bel berbunyi untuk kedua belas kalinya, ucapkan selamat tinggal pada Alice Sheridan.

Begitu membaca isi pesan itu, rasa panik bercampur amarah langsung mengusasainya. Dengan kalut, Oliver mencoba menghubungi nomor si pengirim pesan. Setelah tiga kali nada dering, suara bernada rendah terdengar di ujung telepon.

"Halo?"

Oliver berkata dengan geram, "Jika kau menyakitinya, aku berjanji akan--"

"Tunggu, siapa ini?"

Oliver melirik seorang pria yang duduk tak jauh darinya. Berbekal sedikit kemampuan membaca gerakan bibir yang dia miliki, Oliver dapat memastikan bahwa pria yang sedang berbicara di ponselnya itu tengah mengucapkan kalimat yang sama dengan yang dia dengar. Dia melesat menghampiri pria tersebut, lalu tanpa berkata apa pun menyambar ponsel milik pria itu.

Orang itu terbelalak memandanginya heran. "Hei, apa-apaan ini? Siapa kau?"

Oliver terpaku menatap ponsel di tangannya. Nomor yang ada di sana memang nomor teleponnya, tapi kentara sekali laki-laki di depannya bukanlah orang yang tadi mengirim pesan. Cowok itu mendesah letih sambil mengembalikan ponsel itu ke pemiliknya. Selalu seperti ini. Ketika dia menelepon nomor yang mengiriminya pesan, semua pemilik nomor tersebut selalu mengatakan mereka tak tahu apa-apa. Apa sebenarnya yang sedang terjadi?

Bunyi bel membuyarkan pemikirannya. Oliver mendongak dan menatap sekelilingnya. Di mana? Di mana bajingan itu bersembunyi? Pandangannya berhenti pada sosok misterius di balkon yang berdiri setengah tersembunyi di balik gorden tebal.

Nate.

Pemuda berambut model spike itu menyadari Oliver tengah menatapnya. Sambil menyeringai jahat, dia mengarahkan pisau di tangannya ke arah Alice, lalu sebelah tangannya yang lain terangkat, dan perlahan mulai bergerak menghitung mundur dari lima, seolah tengah memberi aba-aba.

Mata Oliver melebar panik. Di tempat seperti ini, di mana tak ada seorang pun yang menyadari adanya bahaya, lemparan pisau itu tak akan meleset. "Alice!" serunya, berharap gadis itu mendengarnya agar dapat menghindari pisau Nate. Tapi sayangnya, band di panggung tengah memainkan musik dengan irama yang keras dan menghentak, alhasil suaranya pun tenggelam. "Aku harus melakukan sesuatu!" gumamnya frustrasi, lantas secepat kilat berlari menghampiri Alice, tepat ketika Nate melempar pisau di tangannya.

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang