Chapter 35

3K 607 15
                                    

"Jebakan?" ulang Alice sambil menyipitkan mata, tapi dengan cepat mata cokelatnya melebar tidak percaya. "Jangan bilang ... si pembunuh?"

"Besar kemungkinannya seperti itu."

"Oh, astaga. Dan dengan bodohnya aku menggiringmu masuk dalam perangkapnya." Gadis itu menggeleng sambil menyindir dirinya sendiri. "Good job, Alice."

"Tenanglah, semua akan baik-baik saja." Oliver berusaha menenangkan gadis itu. "Aku takkan membiarkan mereka melukaimu."

"Uh, jangan cemaskan aku. Kalau diperlukan, ada banyak barang yang bisa kulempar. Aku hanya ...." Gadis itu menghela napas dengan kesal sambil berkacak pinggang dengan wajah yang memancarkan ekspresi serba salah. "Kalau aku tidak memaksa untuk masuk ke sini, kita tidak akan terjebak seperti ini. Maaf," ujarnya penuh sesal.

Oliver merasa heran lantaran gadis itu lebih merasa bersalah daripada takut, padahal situasi yang mereka hadapi cukup berbahaya. Jika memang si pembunuh yang merencanakan semua ini, mungkin nyawa mereka menjadi taruhannya. Kemungkinan terburuk, mereka berdua akan mati membusuk di tempat itu sebelum ada yang datang menyelamatkan mereka.

"Memangnya kau tidak takut?"

Alice mengedikkan bahu. "Yeah, tentu saja aku takut. Maksudku, kita berhadapan dengan seseorang yang sudah membunuh banyak orang. Tapi mau bagaimana lagi? Aku harus berusaha melawan ketakutanku agar kekuatanku dapat tetap berfungsi. Kau tahu, kalau aku panik atau takut bisa-bisa telekinesisku ini jadi tidak berguna." Gadis itu memaksakan seulas senyum.

Oliver dapat melihat kalau gadis itu berusaha tampak lebih kuat dari yang sebenarnya. Tanpa pikir panjang, Oliver meraih tangan Alice dan meremasnya pelan. "Kita akan keluar dari sini dengan selamat. Aku akan memastikannya," ucapnya sungguh-sungguh.

Alice tergelak mendengarnya. "Wah ... kau terdengar seperti aktor dalam drama yang biasa kutonton. Apa kau sedang berusaha membuatku terkesan?"

"A-aku ... aku tidak bermaksud begitu, kok," ujar Oliver gelagapan. Pemuda itu lalu menarik tangannya dan buru-buru mengalihkan pembicaraan. "Sebaiknya kita mencari bantuan." Dia meraih ponselnya dan mendapati tidak ada sinyal yang terdeteksi oleh ponsel tersebut. Sontak dia mengerutkan kening.

"Ada apa?"

"Kemarikan ponselmu." Hasilnya sama saja. Ponsel gadis itu juga tidak menunjukkan sinyal, sama seperti ponselnya. Oliver mengembalikan ponsel Alice dengan wajah gusar. "Mereka memblokir sinyal ponsel kita."

Kening Alice berkerut cemas. "Artinya kita benar-benar terperangkap di sini?"

"Kita harus mencari jalan keluar." Oliver berderap menghampiri jendela-jendela tinggi di sebelah kanannya lalu dengan saksama dia memeriksa kaca jendela--yang ternyata cukup tebal hingga mungkin sedikit sulit untuk dipecahkan. "Jika kita dapat menemukan sesuatu untuk--"

Sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, seantero ruangan mendadak dipenuhi asap tebal yang berasal entah dari mana. Asap itu tidak berbau tapi mengakibatkan sekelilingnya tampak buram. Dalam sekejap dia sudah tidak dapat melihat Alice.

"Alice?" Ketika gadis itu tidak menjawab, Oliver menjadi panik. Sambil meraba-raba benda di dekatnya, dia berjalan pelan-pelan sambil terus memanggil gadis itu. "Alice? Kau di mana?" Samar-samar dia dapat mendengar suara Alice di kejauhan. Oliver mengembuskan napas lega dan kembali berseru, "Jangan ke mana-mana, oke? Dan teruslah bicara, aku akan berjalan ke tempatmu sekarang."

Kali ini gadis itu tidak menjawab. Oliver merasa heran tapi memutuskan untuk mempercepat langkahnya menuju arah suara Alice yang dia dengar sebelumnya. Sementara dia berjalan, asap di sekelilingnya berangsur-angsur menghilang dan akhirnya Oliver dapat melihat sekitarnya dengan jelas. Sayangnya, apa yang dia lihat membekukan sekujur tubuhnya dalam sekejap.

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang