Chapter 25

3.7K 677 20
                                    

Dua hari berlalu dengan tenang tanpa adanya korban baru. Meski demikian, kami tetap berencana untuk mulai mencari petunjuk mengenai si pembunuh setelah Oliver keluar dari rumah sakit siang ini. Harus kuakui--terlepas dari dua kali percobaan pembunuhan yang menimpaku--ketakutanku mulai memudar akibat tidak adanya gerakan dari si pembunuh sama sekali.

Lain halnya dengan ibuku. Walaupun keadaannya berangsur-angsur mulai membaik tapi dia masih harus menemui psikiater. Aku tak menyangka kejadian di pesta waktu itu begitu membekas baginya, dan itu sebabnya aku meminta Peter dan Oliver untuk merahasiakan peristiwa yang kami alami di parkiran rumah sakit. Kalau sampai ibuku tahu, kondisinya akan memburuk lagi.

Aku berjalan menuju ruang tamu untuk mencari ibuku. Dia sedang mengobrol dengan psikiater yang merupakan sahabatnya sendiri, yaitu Louisa Connely. Aku pernah bertemu dengannya beberapa kali. Beliau adalah wanita berusia akhir tiga puluhan dengan rambut hitam legam dan kulit kecokelatan. Beberapa langkah sebelum aku tiba di sana, kudengar suara mereka bercakap-cakap.

"Entahlah, Louisa ... aku hanya ... aku takut kejadian yang dulu terulang lagi." Ibuku terisak pelan. "Hanya Alice yang kumiliki dan aku tak ingin kehilangan dia juga."

Tertegun mendengarnya, aku menghentikan langkahku tepat di balik pintu yang menuju ke dalam. Juga? Pasti Mom membicarakan kecelakaan ayahku. Ternyata dia masih belum sepenuhnya merelakan kepergian beliau.

"Semua akan baik-baik saja, Dakota. Kau harus kuat, demi Alice. Aku yakin Nick tak ingin melihatmu seperti ini. Dakota yang kami tahu adalah wanita yang tegar."

"Tegar?" Suara ibuku terdengar sinis, hampir seperti tengah mengejek dirinya sendiri. "Memangnya apa lagi yang bisa kulakukan? Aku hanyalah seorang ibu yang tak becus."

"Kau harus berhenti menyalahkan dirimu. Bukankah kau masih terus mencari--"

BUK!

Sial! Aku mengumpat pelan sambil membungkuk untuk meraih ponselku yang terjatuh, sementara di dalam mendadak hening. Apa yang harus kulakukan kalau mereka memergokiku berdiri di sini dari tadi? Situasinya bakal tak nyaman kalau mereka tahu aku menguping. Aku tengah mempertimbangkan untuk pergi dan kembali lagi nanti, ketika terdengar suara Ms. Connely berkata, "Kau tunggu di sini, aku akan memeriksanya."

Ini yang kunamakan situasi-serba-salah. Mau kabur salah, mau tetap di sini juga sama saja. Aku menarik napas dalam-dalam. Baiklah, mari hadapi dia. Aku bergeser keluar dari belakang pintu, melangkah masuk ke ruang tamu, lalu melambai pelan pada wanita itu, mencoba bersikap biasa-biasa saja. "Uh, hai, Ms. Connely. Aku mencari ibuku."

Ms. Connely berhenti beberapa langkah dariku. Dia tersenyum ramah, tapi kecurigaan terpancar dari matanya yang besar. Untungnya, dia tak mengatakan apa pun, melainkan kembali ke tempat duduknya di sisi ibuku.

"Ada apa, Alice?" tanya ibuku.

"Aku mau pergi ke Laboratorium Omnia, Mom. Hari ini jadwal latihan."

Ibuku melompat bangkit. "Biar kuantar."

"Mom kan belum boleh mengendarai mobil," sergahku. "Aku bisa pergi naik bus."

Raut wajahnya berubah cemas. "Kenapa kau tak minta Peter menjemputmu saja?"

"Dia kan bukan sopirku. Aku bakal baik-baik saja, kok, jangan khawatir."

"Tetap saja ...." Ibuku berpaling pada temannya dengan ekspresi gelisah, seperti ingin meminta bantuannya untuk meyakinkanku.

"Aku bisa mengantarmu, Alice." Psikiater itu menawarkan.

Untuk sesaat aku nyaris tergoda untuk menerima tawarannya, tapi dengan cepat aku berubah pikiran. Peter pernah berkata kalau ketakutan tak boleh dituruti, tapi harus dilawan. Jadi aku tersenyum, lalu menolak tawaran itu dengan sopan. "Anda tidak perlu repot-repot, Ma'am. Ibuku lebih memerlukan Anda." Itu benar. Bagaimanapun, kondisi mental ibuku yang masih terguncang lebih membutuhkan penanganan.

"Tapi, bagaimana kalau ... bagaimana kalau ...," ujar ibuku terbata-bata.

Aku mendesah letih. Aku sungguh tak terbiasa melihat ibuku seperti ini. Ke mana perginya sosok ibuku yang galak dan selalu bersikap tegas? Kuakui, aku sedikit merindukannya. "Mom, aku tak bisa hanya diam di rumah selamanya, meminta Peter menemaniku ke mana pun aku pergi, terperangkap dalam ketakutan seumur hidupku. Apa Mom sungguh ingin aku hidup seperti itu?"

Ibuku terdiam.

"Aku akan menelepon Mom setelah tiba di sana," janjiku.

Setelah meninggalkan ruang tamu, aku mencari aplikasi bus umum di ponselku. Bus umum adalah jenis transportasi publik tanpa biaya dari pemerintah yang diperuntukkan untuk seluruh masyarakat di Aequor. Aku masuk ke aplikasi tersebut lalu menekan tombol 'join'. Nantinya, kantor pusat penyedia layanan bus umum akan melacak GPS ponselku untuk mengidentifikasi lokasiku berada saat ini, lalu memberi tahu bus yang paling dekat denganku untuk datang menjemputku.

"Alice!" Aku menoleh dan melihat Ms. Connely berderap menyusulku. "Bisa kita bicara sebentar?"

"Ada apa, Ma'am?"

"Tadi di ruang tamu ...." Dia memelankan suaranya. "Berapa banyak yang kau dengar?"

Dia tahu aku menguping. Aku memasang tampang bingung untuk menyembunyikan kegugupanku. "Apa maksud Anda? Saya tak mendengar apa pun."

"Benarkah?" Wanita itu menatapku penuh selidik.

Aku harus mencari cara untuk membuatnya menyerah. "Apa kalian membicarakan sesuatu yang tidak seharusnya saya ketahui? Misalnya ... rahasia?" Aku mencoba peruntunganku.

Ms. Connely tampak terkejut dengan pertanyaanku yang blakblakan. "Oh, tidak, tentu saja tidak. Aku hanya ... kau tahu ...." Dia kehabisan kata-kata. "Well, bukankah kau sedang menunggu bus? Pergilah, jangan sampai kelewatan."

Persis seperti harapanku. Sambil mengerutkan kening, aku menatap punggungnya yang berjalan menjauh ke arah rumah, lalu meneruskan perjalananku ke luar untuk menunggu bus datang menjemputku.

Aku menunggu sekitar tiga menit, lalu bus tiba. Bus itu separuh kosong; hanya ada beberapa remaja seusiaku dan sekelompok ibu-ibu paruh baya yang sedang ramai mengobrol di deretan kursi belakang. Aku melangkah menuju tempat duduk tepat di belakang sopir dan memasang sabuk pengaman, lalu bus pun kembali melaju di jalan raya.

Sepanjang perjalanan, aku tak bisa berhenti memikirkan pertanyaan Ms. Connely yang menurutku sangat mencurigakan. Aku yakin mereka membicarakan sesuatu yang bersifat rahasia, dan itu sebabnya dia ingin memastikan seberapa banyak yang kudengar. Ditambah lagi, ibuku juga bersikap aneh. Kenapa dia harus menyalahkan dirinya akibat percobaan pembunuhan di pesta Raven, dan siapa--atau apa--yang masih terus dia cari?

Mungkinkah Mom menyembunyikan sesuatu dariku?

RING!

Aku terlonjak kaget begitu bel bus berdering. Tampaknya aku terlalu tenggelam dalam pemikiranku hingga tak menyadari kalau bus sudah tiba di tempat tujuanku. Sambil berjalan melewati gerbang Laboratorium Omnia, aku menelepon ibuku untuk memberitahunya kalau aku sudah sampai. Ketika berbicara di telepon, kulihat pelatihku--Mr. Buckley--berdiri di pintu masuk dan tersenyum padaku. Aku mengerutkan kening kebingungan seraya memutus sambungan telepon lalu menyimpan ponselku.

"Halo, Sir," sapaku.

"Kau datang sepuluh menit lebih awal, Alice."

Aku tak merasa sering terlambat, tapi kuputuskan untuk tak membantahnya. "Uh, yeah. Apa yang Anda lakukan di sini?"

"Ada yang ingin kubicarakan denganmu sebelum kau memulai sesi latihanmu." Mengejutkan. Aku yakin aku bukanlah murid favoritnya sampai dia bersedia menungguku di siang hari yang terik begini. Ada apa sebenarnya?

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang