"Ada apa, Alice?" Wajahnya tampak bingung.
Aku berbicara tanpa bernapas, "Dengar, aku takkan berusaha menghentikanmu. Aku tahu ini penting, dan pasti kau sudah memikirkannya dengan matang. Aku cuma mau bilang, kalau setelah terapi kau melupakan kami, aku akan membuatmu mengingat kami lagi. Jadi ...." Sial, kenapa suaraku tiba-tiba bergetar? Aku berdeham dan melanjutkan, "Jadi, kau tak perlu cemas."
Dia tersenyum lembut padaku, begitu lembut hingga hatiku seperti meleleh, dan untuk sesaat jantungku rasanya berhenti berdetak. Lalu tiba-tiba dia meraihku ke dalam pelukannya dan seketika jantungku kembali bekerja, dengan ritme lebih kencang dari biasanya. "Bahkan jika aku melupakanmu, pada akhirnya aku akan tetap kembali padamu. Itu satu-satunya hal yang aku tahu pasti."
Aku tak tahu kenapa, tapi membayangkan dia mungkin takkan mengingatku terasa sangat menyakitkan hingga membuat dadaku sesak. Tak hanya itu, mataku mendadak terasa basah--besar kemungkinan aku bakal menangis, jadi aku membenamkan wajah di dadanya dan melingkarkan lengan di sekeliling tubuhnya. "Setelah terapinya selesai, kau harus tetap menjadi Oliver yang kami tahu, apa pun hasilnya," bisikku.
"Alice," panggil Ms. Connely. "Ini sudah waktunya."
Oliver melepas pelukannya dengan wajah memerah. "Aku harus pergi sekarang," ucapnya pelan, lalu berjalan menjauh sementara Ms. Connely dan Peter menghampiriku.
"Kalian tak boleh menunggu di sini," ujar wanita itu, lantas membawa kami keluar melalui pintu kaca di seberang lift. Di luar, terbentang koridor panjang yang sepi dengan kursi di sepanjang dinding, dan suhunya jauh lebih hangat daripada di dalam. "Aku akan memanggil kalian kalau sudah selesai," katanya, sebelum kembali masuk ke ruangan tadi.
Peter membimbingku duduk di salah satu kursi dekat pintu, lalu dia sendiri duduk di sebelahku. Dari sudut mata, aku dapat merasakan dia tengah mengamatiku dengan cermat. Kemudian dia mengulurkan tangan, meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Kehangatan dari tangannya menenteramkan, seperti biasa.
"Kau baik-baik saja?"
Aku mengedikkan bahu. "Yeah, kurasa? Atau tidak--aku tak tahu." Aku menoleh, memberinya tatapan penuh keraguan. "Menurutmu, dia akan tetap oke?"
"Well ... mari kita harap begitu. Bagaimanapun, ini adalah keputusannya."
Bicara soal keputusan, aku jadi teringat pada keputusan yang baru saja kuambil. Aku menghela napas. "Paling tidak, dia yakin dengan pilihannya. Sementara aku masih bertanya-tanya apa pilihanku sudah tepat."
Tatapan Peter tertuju ke langit-langit sejenak, kemudian kembali padaku. "Tepat atau tidak, tak ada yang dapat memastikannya untukmu, kan? Namun, selama kau tak menyesali pilihanmu, kurasa itu sudah cukup. Kau menyesal telah membuang kesempatanmu?"
Itu benar-benar pertanyaan yang sulit. Aku menarik tanganku dari genggamannya lalu membenamkan kepala di dua tangan. Di satu sisi, aku merasa bersalah karena seolah lebih memilih temanku daripada keluargaku. Tetapi, di sisi lain, aku ingin berada di sisi Oliver mengingat ini adalah saat yang penting baginya.
Aku mengangkat kepala dan mendesah keras-keras. "Entahlah," jawabku jujur. "Kurasa aku perlu waktu untuk berdamai dengan pilihan yang kubuat. Tapi, aku takkan menyalahkan siapa pun. Seseorang pernah bilang padaku kalau kita harus bertanggung jawab atas setiap keputusan yang kita ambil. Dan kurasa ... ini saatnya aku menerapkannya."
Peter menyeringai. "Seseorang? Ah ... dia pasti seseorang yang keren, pintar, tampan, baik hati ...."
Aku memutar bola mata, tak dapat menahan cengiran terbentuk di sudut bibirku. "Ya, ya, sekalian saja kau sebutkan namanya. Peter. Eckhart." Aku sengaja menyebut nama lengkapnya pelan-pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]
Mystery / Thriller[Ambassador's Pick Oktober 2024] [Cerita ini akan tersedia gratis pada 6 Agustus 2021] *** Pembunuhan berantai di Andromeda City mengincar nyawa para Anak Spesial. Oliver harus menemukan kembali ingatannya yang hilang agar dapat menghentikan aksi se...