Chapter 83

2.4K 497 12
                                    

Stan melepas pelukannya dengan wajah mengerut menahan sakit, dan--harus kuakui--aku terkejut melihatnya masih bisa berdiri tegak setelah tertimpa peti yang tampak cukup berat itu. "Kau baik-baik saja?" tanyanya, mencondongkan tubuh ke Jane dengan raut cemas, dan aku pun memutar bola mata. Siapa yang menyangka kalau dia bisa mencemaskan keselamatan orang lain? Kepedulian yang ditunjukkan oleh pembunuh gila sepertinya terasa menggelikan sekaligus tidak masuk akal hingga membuatku mual.

Jane mengangguk kuat-kuat dan mulai menangis sesenggukan. "Maaf ... gara-gara aku ...." Dalam waktu singkat, wajahnya sudah basah oleh air mata dan untuk sesaat dia kelihatan seperti cewek biasa, sampai-sampai aku lupa kalau beberapa saat yang lalu dia baru saja mengacungkan pisau ke arahku.

Aku meringis ketika rasa menyengat tiba-tiba menjalar di sepanjang lengan kiriku, dan baru ingat kalau tadi pisau Luca berhasil mengenaiku, jadi aku segera menggulung lengan bajuku agar dapat memeriksa kondisi lukaku dengan lebih baik. Untunglah, luka goresan di lenganku tidak terlihat terlalu parah--meski terus-terusan mengalirkan darah dan mulai berdenyut menyakitkan--jadi kurasa aku bisa menahannya sebentar lagi.

Akan tetapi, rupanya Oliver berpikiran lain. Tanpa mengatakan apa pun, dia--yang entah sejak kapan sudah berdiri di sebelahku--menarik lenganku yang terluka lantas meletakkan telapak tangannya di atas bagian yang tergores, dan rasa perih yang tadi kurasakan pun lenyap, digantikan oleh kehangatan yang terasa nyaman. Beberapa detik kemudian, dia mengangkat telapak tangannya dari lenganku, dan secara ajaib luka menganga yang tadinya ada di sana sudah tertutup dan hanya meninggalkan bekas berupa garis panjang berwarna kemerahan yang samar.

"Trims," ucapku, dan Oliver memberiku senyum tipis, yang langsung mengakibatkan jantungku berdebar kencang.

"Kau baik-baik saja?" tanya Peter yang baru tiba di sebelahku, tapi kemudian dia menyadari kalau lenganku sudah disembuhkan oleh Oliver, dan dia pun mengembuskan napas lega. "Maaf, seharusnya tadi aku bisa mencegah dia melukaimu," lanjutnya dengan nada penuh sesal, membuatku hanya bisa menggeleng-geleng sebab kondisinya sendiri tidak terlihat baik; darah mengalir dari luka di keningnya dan kedua tangannya dipenuhi luka sayatan dari pisau Luca. Namun, ketika aku mengusulkan agar Oliver menyembuhkan luka-lukanya, dia menggeleng. "Kita tak punya banyak waktu untuk itu."

Oliver bertukar pandang dengan Peter sejenak, lalu meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Tangannya dingin seperti baru saja memegang es batu, jadi kurasa itu berarti dia sama takutnya denganku. Hanya saja, dia menyembunyikannya dengan cukup baik sebab dari tadi dia tak menunjukkan ekspresi takut sedikit pun. "Dengar, aku akan berusaha mengalihkan perhatian mereka. Dan jika usahaku berhasil, kau harus pergi bersama Peter," bisiknya.

Alisku berkerut. "Lalu bagaimana denganmu?" Dia tak langsung menjawab jadi aku tahu kalau dia tak memiliki rencana untuk menyelamatkan dirinya sendiri, dan itu membuatku takut. Jangan-jangan, dia berniat mati bersama Stan? Aku menggeleng dengan panik. "Tidak, kau pasti tak serius."

Dia tak menyangkal dan mata birunya menyorotkan kesedihan tatkala menemui mataku. "Tidak ada cara lain, Alice. Aku harus mengakhiri semuanya di sini. Jika dia sampai kabur, dia akan membunuh orang lagi."

Aku sudah mau menyahutinya, tapi tiba-tiba Stan berkata keras-keras dengan ekspresi penuh kemenangan terpampang di wajahnya, "Kurasa sekarang kita berempat adalah satu-satunya Anak Spesial yang tersisa. Ingat ini baik-baik, Myers, mereka semua mati akibat dirimu."

Dari cara bicaranya, sepertinya ini sudah jam enam. Aku bergidik membayangkan seluruh Anak Spesial yang dibunuh secara bersamaan di suatu tempat, sementara wajah Oliver memucat dalam sekejap dan rahangnya menegang lantaran menahan amarah. Dia mengertakkan gigi dengan geram sambil berseru, "Kau--kau benar-benar bukan manusia!"

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang