Chapter 9

5.3K 969 37
                                    

Sambil memegang buku yang semula tergeletak di lantai, aku bangkit berdiri pelan-pelan, berhadap-hadapan dengan seorang wanita berparas lembut yang wajahnya dipulas makeup tipis. Rambut kuning keemasannya digelung rapi, dan dia mengenakan jas putih panjang di luar kemeja cokelat dan jins biru muda. Di tangan kanannya terdapat beberapa buah buku tebal yang tampak berat. Penampilannya terlihat begitu profesional dan penuh percaya diri. Aku bertanya-tanya kenapa Hayley tak dapat terlihat seperti itu--dia dan ibunya bagaikan bumi dan langit.

"Tunggu aku di kantorku. Kita akan bicara setelah aku mengembalikan buku-buku ini," ucap Mrs. Adams dengan nada tegas. Diambilnya buku di tanganku. "Sekarang."

Dengan enggan, aku dan Peter berjalan lunglai menuju lift. Tak ada yang berbicara selama lift bergerak naik ke lantai tiga. Kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Entahlah apa yang dipikirkan Peter, tapi pikiranku dipenuhi oleh kecemasan, penyesalan, dan kemarahan. Seharusnya aku tak ikut ke sini. Kalimat itu terus berulang di benakku.

Lift berhenti di lantai tiga, dan kami pun melangkah keluar. Kantor Mrs. Adams hanya berjarak beberapa langkah dari lift. Karena Mrs. Adams belum menyusul, kami berdiri menunggunya di depan kantornya, masih saling berdiam diri. Peter yang akhirnya tak tahan untuk tak berbicara. Kelihatannya dia sadar kalau aku setengah menyalahkan dia.

"Dengar, Alice, aku ...."

"Apa? Kau mau minta maaf?" sahutku tanpa menoleh.

"Yeah, seharusnya aku tak mengajakmu. Maaf," ucapnya dengan nada tulus. Aku menoleh. Cowok itu tengah menunduk dengan ekspresi bersalah. "Mrs. Sheridan pasti akan memarahimu akibat hal ini, dan aku tak memperhitungkannya."

Melihatnya merasa bersalah seperti itu membuat kemarahanku menguap seketika. Aku memutuskan untuk bersikap lebih lunak padanya. "Well, mungkin kita bisa meminta Mrs. Adams untuk tak memberi tahu orang tua kita? Oke, aku tahu kemungkinannya kecil beliau akan setuju," ujarku, lantas mengangkat bahu, berpura-pura tak peduli. "Paling-paling Mom akan memotong uang jajanku."

"Kalau uang jajanmu dipotong, aku akan memberikan separuh uang jajanku padamu."

Cepat-cepat kutarik tangannya, kemudian kukaitkan jari kelingkingku dengannya. "Deal."

Peter hanya tertawa. Ketegangan di antara kami berdua pun berangsur-angsur mencair.

Aku berdiri bersedekap memandangnya. "Omong-omong, apa sebenarnya yang kau cari di sana tadi?" tanyaku penasaran. "Mengingat adanya risiko aku diomeli ibuku, sebaiknya apa pun itu yang kau cari adalah sesuatu yang cukup berharga."

"Aku berhasil mendapat informasi untuk membuktikan teoriku."

"Dan itu adalah ...?"

"Daftar nama para Anak Spesial, dan beberapa ...." Dia tak melanjutkan kata-katanya. Aku memutar kepala dan melihat Mrs. Adams berjalan menghampiri kami.

Wanita itu meletakkan kartu pegawainya di alat pemindai yang dipasang di pintu kantornya, pintu terbuka, lalu dia melangkah masuk. Kami buru-buru mengikuti di belakangnya, lalu kudorong pintu tertutup kembali.

Sudah beberapa tahun berlalu sejak terakhir kali aku ke sini, biasanya hanya ibuku yang rutin mengunjungi kantor Mrs. Adams untuk membicarakan perihal kemajuan latihanku. Kantor itu masih sama seperti dalam ingatanku; berukuran sedang, dindingnya dihiasi wallpaper krem, meja kerja dengan seperangkat komputer, sebuah rak buku yang penuh berisi map-map tebal. Kesan minimalis serta profesional terpancar jelas dari kantornya.

"Duduklah, Anak-anak," ujar Mrs. Adams, beranjak duduk di balik meja kerjanya. Tak berapa lama, tangannya mulai mengetik sesuatu dengan cepat di keyboard. "Kebetulan sekali aku bertemu kalian di sini. Sebelum kita membicarakan apa kepentingan kalian di perpustakaan, aku ingin kalian melihat ini." Wanita berusia pertengahan tiga puluhan tersebut memutar monitornya 180 derajat menghadap ke arah kami yang masing-masing sudah duduk menempati kursi yang disediakan di depannya.

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang