Chapter 5

9.5K 1.3K 44
                                    

Pemuda itu menatap pantulan dirinya dalam cermin sembari menyisir rambutnya dengan jari-jari tangan. Sepasang mata biru yang dipenuhi oleh kebencian dan amarah balas menatapnya.

Dia tak mengerti mengapa hatinya masih terasa hampa dan amarahnya tak kunjung surut, bahkan di saat dia sudah memiliki sebagian besar hal-hal yang dulu tak dapat dimilikinya. Mungkinkah karena dia menginginkan lebih banyak lagi? Tidak, bukan itu, melainkan sesuatu yang lain.

"Karena kau menginginkan sesuatu yang tak mungkin dapat kau miliki," bisiknya pada bayangannya di cermin.

Keluarga.

Dia membenci dirinya yang masih menyimpan keinginan untuk memiliki keluarga. Kebahagiaan semacam itu takkan pernah didapatnya, jadi tak seharusnya dia menginginkannya.

Pemuda itu mengepalkan sebelah tangan, kemudian menghantamkan tinjunya ke cermin di hadapannya. Cermin itu retak dan melukai tangannya. Darah langsung mengalir membasahi wastafel di bawahnya.

Seorang gadis berambut hitam berlari memasuki ruangan tersebut melalui pintu yang dibiarkan terbuka. Mata cokelat terangnya langsung tertuju pada cermin yang berlumuran darah, dan dia pun terkesiap.

"Tanganmu--!"

"Aku baik-baik saja, Jane."

Gadis berusia lima belas tahun yang dipanggil Jane itu terdiam, tak yakin dapat memercayai kata-kata lawan bicaranya. "Kau yakin lukamu tak akan berpengaruh terhadap kekuatanmu?"

"Ya, tenang saja. Ini hanya luka kecil." Pemuda berambut cokelat kemerahan itu menarik tangannya, lalu berjalan keluar dari ruangan tersebut. Jane mengikuti di belakangnya. "Di mana Nate dan Mia?"

"Mereka tengah melaksanakan perintahmu." Gadis itu menjawab. "Aku tak yakin mereka cocok untuk tugas tersebut. Menurutku, Nate sedikit tak dapat mengendalikan emosinya."

"Itulah gunanya Mia. Bukankah kau bilang Nate akan menuruti kata-katanya?"

"Well, yeah, tapi kadang tangan bergerak lebih cepat daripada kata-kata."

Mereka tiba di sebuah ruangan yang lantainya dialasi karpet tebal. Rak-rak buku yang tinggi dan besar disusun rapi di salah satu sisi dinding. Dengan gesit, Jane bergegas membuka gorden-gorden tebal yang menutupi jendela, membiarkan sinar matahari memasuki ruangan.

Pemuda yang datang bersamanya kini berjalan ke arah jendela, lalu berdiri diam di situ sambil memandang ke luar jendela. Diam-diam Jane mengamati pemuda itu dari belakang, seperti biasa mengagumi sosok yang selalu tampak kesepian tersebut. Kemudian tatapannya beralih pada darah yang terus menetes di atas karpet, meninggalkan bercak-bercak kemerahan di karpet putih tersebut.

"Kau yakin lukamu tak perlu diobati?" tanyanya. Kecemasan tersirat dari suaranya.

"Ya."

Jawaban singkat tersebut membuat gadis itu curiga. "Apa ada sesuatu yang membuatmu tak senang?" Dia memberanikan diri untuk bertanya lagi, meski tahu lawan bicaranya itu benci ditanya-tanya. Terakhir kali dia menanyakan hal-hal yang bukan urusannya, pemuda itu menolak untuk berbicara dengannya selama seminggu.

Tapi Jane terlalu peduli untuk tak bertanya. Dia tahu, pemuda itu tak memiliki orang lain untuk diajak bicara.

Di luar dugaannya, pemuda itu mengangguk. "Aku memiliki banyak alasan untuk tak bahagia. Aku bisa saja menyebutkan seratus kalau perlu."

"Kenapa kau tak berusaha memikirkan satu saja alasan untuk merasa sebaliknya? Kau selalu membenci. Maksudku, mungkin kalau kau bisa mencari satu saja alasan untuk merasa senang, maka--" Jane cepat-cepat menutup mulut, tahu kalau dia sudah melampaui batasannya.

Pemuda di depannya hanya tertawa pelan. "Maka aku akan merasa bahagia, begitu maksudmu? Benar juga, kenapa hal itu tak pernah terpikirkan olehku?"

Jane mengamatinya diam-diam, tahu betul bosnya itu tak sungguh-sungguh berniat untuk tertawa. Dugaannya benar. Dalam sekejap, bosnya berhenti tertawa, membiarkan kebencian kembali menghiasi wajahnya.

"Tapi kau tahu, Jane? Aku bahkan tak tahu caranya, jadi bagaimana aku dapat melakukannya?"

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang