Chapter 37

3K 564 20
                                    

Setelah berhasil naik, perjalananku masih belum berakhir. Di atas sini gelap, berdebu, dan sempit. Tempatnya bahkan tidak cukup untuk duduk atau berjongkok, jadi aku harus berbaring telungkup dan menggunakan siku untuk beringsut maju sedikit demi sedikit menuju arah cahaya--yang kuperkirakan adalah jalan keluar.

Beberapa kali aku mendengar suara tikus berlarian di dekatku, dan setiap kali itu pula aku memejamkan mata, berusaha untuk mengabaikannya. Aku benci tikus. Tapi di situasi seperti ini, tidak ada yang dapat kulakukan selain berpura-pura tidak mendengarnya.

"Kau tidak mendengar apa pun, Alice. Teruslah berjalan, berjalan, berjalan," gumamku pelan, mencoba menyemangati diri sendiri--usaha yang menyedihkan.

Setelah beberapa waktu lamanya aku menggeliat maju, akhirnya cahaya di ujung terlihat semakin dekat. Dengan penuh semangat, aku berusaha bergerak lebih cepat, dan tiba di jendela ventilasi yang dibicarakan Oliver. Sekarang, tinggal mendorong atau menarik jendela itu terbuka, dan aku dapat melompat turun.

Awalnya aku mencoba mendorongnya. Tidak berhasil. Aku mencoba memukul-mukulnya. Hanya menghasilkan bunyi berisik. Akhirnya, langkah terakhir : menariknya sekuat tenaga seolah-olah hidupmu tergantung sepenuhnya pada hal tersebut--separuh benar.

KLAK!

Terdengar bunyi keras saat aku berhasil mencabutnya. Aku melempar jendela itu ke samping, kemudian menjulurkan leher dan menengok ke bawah untuk memperkirakan jarak. Cukup jauh, lebih dari yang kukira sebelumnya. Aku menelan ludah dengan gugup. Bagaimana jika kakiku patah akibat jatuh?

Aku menjitak kepalaku. "Seperti kau punya pilihan saja, tutup matamu dan lakukan, jangan membuang waktu dengan memikirkan kemungkinan terburuk."

Maka, aku beringsut mundur, lalu pelan-pelan berputar seratus delapan puluh derajat agar kakiku mengarah ke jendela ventilasi tersebut berada. Setelah memastikan arahnya sudah pas, aku menarik napas dalam-dalam dan mulai bergerak mundur.

Ujung kakiku menyentuh tepi jendela. Aku kembali memundurkan tubuh sedikit demi sedikit hingga kakiku menggantung di luar, tapi separuh tubuhku masih bergelantungan di tepi jendela dengan bertumpu pada kedua sikuku. Aku berhenti sejenak untuk menarik napas dalam-dalam.

"Ayo lakukan ini, Alice!" Lagi-lagi aku berupaya menyemangati diriku.

Sambil mengeluarkan teriakan keras, aku melempar tubuhku ke bawah dengan kedua mata terpejam ... dan mendarat di atas rimbunan semak. Untunglah, kakiku tak ada yang patah. Kurasa ini bisa disebut sebagai keberuntungan.

Aku bergegas melompat bangkit. Sebaiknya aku bergegas mencari pertolongan, pikirku sambil memutar tubuh ke belakang. Namun, semangatku dengan cepat menguap ketika aku melihat sosok yang sudah menungguku--Luca.

Cowok berambut biru tersebut berdiri di tengah-tengah pagar yang terbuka lebar, beberapa meter di hadapanku. Sebelah tangannya bertumpu pada pintu pagar, sementara tangan lainnya dibungkus oleh kain putih yang basah oleh darah. Mataku melebar memandangi tangannya dengan perasaan ngeri sekaligus tidak percaya. Tangannya itu ... buntung?

"Mau ke mana kau, Sheridan?" Dia berjalan mendekat. Matanya yang berwarna hitam pekat menatapku tajam. "Sebaiknya kau ikut denganku selagi aku memintanya baik-baik. Percayalah, kau takkan suka jika aku memaksamu."

Cara bicaranya mencerminkan bahwa dia seratus persen serius dengan perkataannya. Sambil melangkah mundur, aku menelan ketakutanku bulat-bulat. Orang ini berbeda dengan Nate dan Mia, meski kelihatan kurang lebih seumur. Aura membunuh yang terpancar darinya begitu kuat. Dia kelihatan seperti tipe pembunuh bayaran yang sering kulihat di film.

"Kalau aku ikut denganmu--" Sakit kepala tiba-tiba menyerangku. Aku mengernyit kesakitan sembari mencengkeram kepalaku dengan dua tangan. Rasanya kepalaku seperti mau pecah.

"Kalau kau ikut dengan sukarela, aku takkan membunuhmu." Luca menjawab pertanyaan yang belum sempat kuselesaikan.

Sakit kepalaku berangsur-angsur menghilang. Aku mengangkat kepala dan memutuskan mengambil risiko untuk bertanya sekali lagi. "Dari mana aku tahu kalau kau akan menepati kata-katamu?"

Kali ini dia menelengkan kepala, memberiku tatapan sedingin es. "Kau terlalu banyak bicara, Sheridan." Rupanya dia tidak bisa diberi lebih dari satu pertanyaan.

Selagi melangkah mundur, aku tersandung dan terjatuh. "Jangan mendekat!" bentakku. Aku mencoba membuat suaraku terdengar galak--percayalah--tapi suara yang keluar justru sangat kecil hingga nyaris seperti bisikan belaka.

Dia tergelak mentertawakanku. Aku takjub dia masih bisa tertawa dengan kondisinya. Dia bahkan tidak terlihat kesakitan sedikit pun. Orang ini sungguh-sungguh bukan manusia, pikirku ngeri.

Tangannya yang utuh mengeluarkan pisau dari balik jaketnya. Dia berkata pelan, "Kau pilih, ikut denganku dalam keadaan utuh atau tidak? Aku dapat memotong lidahmu dengan mudah, Miss. Atau mencongkel matamu, mungkin? Pilihannya ada di tanganmu."

Sekujur tubuhku gemetar ketakutan. Mataku terus terpaku padanya. Seolah tersihir, aku benar-benar tidak bisa bergerak sama sekali.

"Pacarmu," katanya, mengedikkan kepalanya ke arah rumah, "pasti akan merasa sangat bersalah kalau kau sampai terluka. Kau pasti tidak menginginkannya, kan?"

Mendengarnya seperti menyadarkanku dari lamunan. Dia benar. Oliver akan terbebani oleh rasa bersalah--lagi--jadi aku harus mencegahnya. Aku harus melarikan diri, bagaimanapun caranya.

Aku melirik batu-batuan yang berhamburan di belakang Luca, mencoba menggerakkan salah satunya dengan menggunakan mataku. Tapi anehnya, tidak ada yang terjadi. Jantungku berdegup kencang dan bulir-bulir keringat mulai terbentuk di keningku. Perasaanku mengatakan ada sesuatu yang salah.

Dengan panik aku mengibas tanganku, tak peduli jika Luca melihatnya. Tapi tetap saja, tidak ada satu pun batu yang bergerak. Aku tertegun, kaget sekaligus heran. A-ada apa ini? Kenapa kekuatanku tidak berfungsi? Mataku melebar. Mungkinkah ...?

Melihat tindakanku, sebelah alis Luca terangkat, lantas dia menoleh, mengikuti arah tatapanku. "Ah .... Jadi kau mau menggunakan kekuatanmu lagi?" Matanya kembali padaku sembari dia melangkah maju. "Kukira kau bisa diajak bicara baik-baik."

Masih dalam keadaan duduk, aku merangkak mundur dengan panik. Jantungku terus berdetak kencang dan lututku terasa lemas. Orang ini ... dia membuatku takut setengah mati sampai-sampai telekinesisku tidak berfungsi. Apa yang harus kulakukan sekarang?

Sambil berjalan, Luca memutar-mutar pisau di tangannya dengan terampil. Mata pisaunya berkilau menyilaukan lantaran diterpa sinar matahari. Melihatnya memunculkan ide dalam kepalaku. Ide yang--bila berhasil--mungkin dapat menyelamatkan nyawaku.

Dengan tangan gemetar, aku berusaha meraih ponsel dari saku jinsku. Sambil memegangnya erat, kuangkat ponsel itu tinggi-tinggi di depanku. Luca yang melihatnya hanya tertawa meremehkan--dia pasti tidak punya bayangan apa yang akan kulakukan. Jariku yang gemetaran mengetuk layar ponsel dua kali untuk mengaktifkan 'senter', dan dalam sekejap cahaya terang memancar dari bagian belakang ponselku, menyinari wajah cowok bertubuh kurus itu.

Dia berseru kaget sambil memalingkan wajah akibat silau. Saat itulah aku melompat berdiri dan menendang tulang keringnya sekeras yang kubisa. Cowok itu kehilangan keseimbangan lalu terjatuh sambil mengerang kesakitan, sementara aku memanfaatkan kesempatan itu untuk menyelinap kabur.

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang