Chapter 70

2.3K 476 31
                                    

Aku meletakkan sendok di meja sambil mendelik ke Kyle. "Kau memata-mataiku, ya?" Dorongan untuk melempar sendok ke wajahnya terasa begitu kuat, tapi karena kami sedang berada di tempat umum, mungkin itu bukan hal yang tepat untuk kulakukan.

Dia hanya menyeringai. "Bukan seperti itu kok. Ini namanya menganalisis, Alice. Untuk apa lagi kau datang kalau bukan untuk ketemu dia? Kalau untuk general check-up atau semacamnya, kau akan pergi ke Andromeda Central Hospital seperti tahun-tahun lalu, bukan ke Omnia Hospital. Bukti lainnya, kantor Ms. Connely terletak tepat di lantai tempat kita bertemu tadi. Dia teman ibumu, kan? Untuk apa kau menemuinya?"

Analisis yang sangat masuk akal--hingga tak dapat kubantah sama sekali. Sambil mendesah jengkel, aku bersandar di kursi dan menyilangkan kedua lengan di depan dada, menyerah pada ide untuk menyangkal bahwa aku memang baru saja bertemu dengan psikiater tersebut. "Aku yakin aku tak perlu menjelaskan apa pun padamu."

Kyle mengedikkan bahu dan menyantap potongan terakhir kue di piringnya. "Well ... aku cuma penasaran apa kau mengunjunginya untuk memastikan soal ingatanmu, soalnya kan Ms. Connely ketua tim peneliti Proyek Penghapus Ingatan." Dia berhenti bicara lalu mengamati wajahku sejenak. "Kelihatannya kau sudah tahu. Cepat juga," lanjutnya ketika melihatku tak terkejut sama sekali. "Tak kusangka kau memercayai omonganku soal proyek itu."

Sepertinya sekarang sudah sangat terlambat untuk berlagak bodoh, jadi lebih baik aku sekalian mencari tahu niatnya yang sebenarnya. Aku menelengkan kepala sambil memicingkan mata. "Tapi ... untuk apa kau menceritakan soal proyek itu padaku?" Hal tersebut tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Kenapa seorang Kyle Raven berbaik hati untuk memberitahuku bahwa ingatanku sengaja dihapus? Aku tak melihat alasan kenapa dia mau repot-repot melakukannya, apalagi mengingat selalu ada kemungkinan aku menuduhnya berbohong.

Raut wajah Kyle mendadak berubah serius. "Karena kau temanku. Sejak kebetulan mendengar pembicaraan kakek kita soal keputusan sepihak ibumu untuk menghapus ingatanmu, aku tahu kalau aku tak bisa hanya berdiam diri--aku harus mengatakan kebenarannya padamu. Masalahnya, kakekku mengirimku bersekolah ke luar negeri sebelum kita sempat bertemu, jadi aku terpaksa menunggu hingga kembali ke sini untuk dapat memberitahumu."

"Tapi, kenapa tak mengatakannya sewaktu kita ketemu di pesta?"

"Sebab keluargamu tak memberitahumu bahwa kita sudah saling mengenal waktu kecil. Bagimu, aku hanyalah orang asing. Kalau aku langsung mengatakan semuanya saat itu juga, kau mungkin malah mengiraku gila. Makanya aku hanya memberimu petunjuk sedikit-sedikit. Kupikir, kalau kau memercayainya, kau akan mencari tahu sendiri soal proyek itu, dan aku bisa menceritakan sisanya belakangan. Kau paham, kan, aku tak ingin dianggap pembohong di pertemuan pertama kita. Kesan pertama itu penting."

Begitu rupanya. Aku mengamati wajahnya sambil menopang dagu dengan satu tangan. Di luar dugaan, ternyata dia tak seburuk yang kukira. Aku jadi sedikit menyesal sering bersikap kasar padanya.

Dia menyunggingkan seringai miring ketika melihat tingkahku. "Kenapa? Kau curiga aku punya motif lain?"

Aku berbohong, "Tidak juga."

"Jadi, kau sudah mendapatkan ingatanmu lagi?"

Pertanyaan tersebut membuat hatiku semakin terasa berat. Aku menjatuhkan tangan ke meja dan menatap piring kosong di hadapanku. "Entahlah. Kurasa aku tak akan pernah mendapatkannya kembali. Risikonya terlalu besar--aku bisa kehilangan seluruh ingatan yang kumiliki saat ini."

Kyle terdiam dan menyusurkan jari ke rambutnya. Keraguan menyapu wajahnya, seakan dia ingin membicarakan soal sesuatu, tapi tak yakin. Namun, tampaknya dia mengambil keputusan dengan cepat dalam beberapa detik. "Ada alasan lain kenapa aku menceritakan soal proyek itu. Sebenarnya, kau punya--"

"Saudara kembar?" potongku. Dia terbeliak, dan aku melanjutkan, "Yeah, aku sudah tahu. Secara kebetulan."

Dia mengerjapkan mata dan bersandar di kursi. "Seberapa banyak yang kau tahu soal dia?"

"Tak banyak. Namanya Alex dan dia sudah menghilang selama sembilan tahun. Ibuku bilang mereka masih mencarinya sampai sekarang, tapi tak menemukan petunjuk apa pun. Kami bahkan tak tahu apa dia masih hidup--kuharap masih," kataku. Kyle hanya diam, barangkali dia tak tahu harus menyahut apa. Jadi setelah saling membisu selama beberapa menit, aku memutuskan ini saatnya mengakhiri pembicaraan. "Lebih baik kita pergi sekarang. Kakekmu pasti heran kenapa kau belum pulang."

"Tunggu--ada yang mau kukatakan." Matanya menatap ke dalam mataku selagi dia melanjutkan, "Alex masih hidup."

Aku terhenyak kaget dan langsung mencecarnya dengan banyak pertanyaan. "Kau ... dari mana kau tahu? Apa kau pernah melihatnya? Di mana?"

"Dia ada bersamaku."

Antusiasmeku sontak menguap ke udara. Kabar kalau Alex masih hidup adalah kejutan yang menyenangkan, tapi dia bersama Kyle Raven? Kalau itu benar, kakeknya pasti sudah mengabari keluargaku. "Bercandamu sudah keterlaluan, Raven," kataku dengan nada tajam.

Dia mempertahankan ekspresi serius di wajahnya. Tak ada seringai penuh kemenangan atau petunjuk lain yang menandakan dia berbohong. "Aku serius, Alice. Beberapa tahun silam, aku menemukannya secara tak sengaja sewaktu bersekolah di luar negeri. Kondisinya mengenaskan. Dia hidup menggelandang di jalanan setelah berhasil melarikan diri dari penculiknya."

Aku mengerutkan alis, mengamatinya dengan saksama selama beberapa saat. Mungkinkah dia memang serius? Atau hanya berpura-pura? Setelah menimbang-nimbang, aku memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut, baru memutuskan apa ucapannya dapat dipercaya atau tidak. "Apa dia masih mengingatku? Bagaimana keadaannya sekarang? Tidak--dari mana kau yakin kalau dia Alex? Bisa saja itu orang lain yang berpura-pura menjadi dia."

"Wajahnya tak banyak berubah. Selain itu, aku sudah melakukan tes DNA padanya, dan hasilnya kalian memang bersaudara. Aku memperoleh DNA-mu dari gelas yang kau gunakan di pestaku waktu itu," tambahnya sebelum aku bertanya. "Dan, ya, dia masih mengingatmu."

"Apa kakekmu tahu soal ini?"

"Tidak. Aku sengaja menyembunyikannya dari Grandpa lantaran ingin memastikan identitas Alex terlebih dulu. Dan setelahnya, aku tak merasa perlu memberitahunya sebab aku ingin menjadi orang yang pertama mengatakannya padamu."

Dia menjawab dengan begitu lancar sampai-sampai aku mulai percaya kalau dia berkata jujur. "Lantas, apa alasanmu baru memberitahuku sekarang? Kau sudah lama tahu kalau dia memang Alex. Kenapa tidak mengatakannya lebih cepat?" tanyaku tanpa menyembunyikan kecurigaan dalam nada bicaraku.

Untuk pertama kalinya, Kyle Raven tidak terlihat percaya diri seperti biasanya. Sambil menghindari tatapanku, dia berkata, "Karena aku tak ingin membuatmu bingung. Sejauh yang kutahu, kau dibesarkan sebagai anak tunggal setelah ingatanmu dihapus. Jadi rencanaku adalah, menunggu hingga keluargamu memberitahumu soal Alex atau jika kau mendapatkan ingatanmu. Tapi karena barusan kau bilang tak akan pernah mendapatkannya kembali, aku pun menyadari kalau aku tak boleh menundanya lagi."

Satu lagi orang yang bersikap seolah memikirkan kepentinganku. Aku mengepalkan tangan dan meninju meja dengan geram untuk melampiaskan kekesalanku, mengakibatkan pegawai kafe yang melintas memberiku pandangan penuh tanya. Aku buru-buru memaksakan senyum untuk mengisyaratkan kalau tak ada masalah, kemudian berpaling memandang Kyle. "Jadi, di mana Alex sekarang?"

"Dia tinggal di salah satu apartemen yang terdaftar atas namaku. Aku menempatkan beberapa pengawal untuk menjaganya, jadi jangan cemas, dia aman di sana." Kyle mengamati ekspresiku lalu melanjutkan, "Kau mau menemuinya? Kita bisa pergi ke sana sekarang juga kalau kau mau."

Aku sudah mau mengiakan tanpa pikir panjang, tapi akal sehatku memerintahkan untuk memikirkannya sekali lagi. Bagaimana kalau ternyata dia berbohong? Meskipun, bila dipikir-pikir, untuk apa dia menipuku? Dia tak mendapat keuntungan apa pun dari semua ini. Ditambah lagi, tak ada ruginya untuk memeriksa kebenaran ucapannya. Bisa jadi inilah sebabnya Mom tak mendapat petunjuk mengenai keberadaan Alex sama sekali, sebab Kyle sudah terlebih dulu menemukannya. Jariku mengetuk-ngetuk meja selagi otakku berpikir. Pergi atau tidak?

Pada akhirnya, rasa penasarankulah yang menang. "Baiklah, ayo pergi."

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang