Chapter 44

2.9K 550 8
                                    

Melalui dinding kaca tebal yang memisahkan ruangan tempatnya berdiri dengan kamar pasien, Jane termangu memandangi sosok yang tertidur pulas di sana. Luca masih belum sadarkan diri usai menjalani operasi penyatuan lengan dengan tangan artifisial. Dokter berkata operasi berjalan lancar tapi entah kenapa remaja itu masih belum juga bangun, padahal ini sudah melewati waktu yang diperkirakan oleh dokter.

Dari arah belakang, terdengar bunyi langkah mendekat. Tanpa menoleh pun Jane sudah tahu siapa itu. Dia hafal betul dengan cara pemuda itu melangkah; bunyi yang ditimbulkan dari langkah kakinya serta seberapa cepat ayunan langkahnya.

"Waktu berjalan sangat lambat ketika kau menunggu sesuatu." Untuk pertama kalinya, samar-samar tebersit nada cemas dalam suaranya. Pemuda berambut cokelat kemerahan itu mendesah jengkel lalu memukulkan telapak tangan ke kaca di depannya. "Come on, Luca, bangunlah," bisiknya geram. "Kau. Harus. Bangun."

Jane menoleh, memandang pemuda tersebut dengan gelisah. Orang itu belum makan maupun tidur sama sekali sejak Nate kembali kemarin siang dengan membawa Luca yang tak sadarkan diri akibat kehabisan darah. Waktu itu, Jane nyaris pingsan saat melihat kondisi tangan Luca yang buntung. Dia tak habis pikir bagaimana mungkin orang itu sanggup bertahan selama beberapa jam dengan tangan seperti itu. Seandainya mereka kembali lebih cepat, mungkin tangan yang putus itu masih dapat disambung. Namun, Luca lebih memilih untuk mengorbankan tangannya sendiri demi menunaikan tugasnya.

Tiba-tiba, dokter yang berjaga di dalam kamar Luca melompat bangkit dan tampak berbicara melalui smartwatch di pergelangan tangannya. Tak berapa lama kemudian, sekelompok dokter dan perawat berderap memasuki kamar itu. Mata Jane terbeliak--dia perlu beberapa detik untuk menyadari kalau akhirnya Luca telah siuman--sebelum akhirnya menyusul orang-orang itu bersama pimpinannya yang sudah lebih dulu menghambur masuk. Di dalam, salah satu dokter tengah berbicara dengan pemuda jangkung tersebut.

" ... terapi fisik selama beberapa bulan." Dokter pria itu memperbaiki letak kacamatanya. "Mungkin bisa lebih cepat, tergantung dari kemauan dan kondisi fisiknya."

Jane menghampiri pimpinannya setelah dokter itu pergi bergabung dengan rekan-rekannya. "Apa dia akan baik-baik saja?"

Dengan tatapan tak lepas dari tim dokter yang tengah memeriksa Luca, pemuda itu mengangguk. "Dia akan memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan tangan barunya," jawabnya singkat. Meskipun wajahnya terlihat datar dan dia berbicara dengan nada acuh tak acuh, tapi terlihat jelas sorot matanya memancarkan kepedulian.

Jane berkata dengan hati-hati, "Karena dia sudah bangun, mungkin sebaiknya kau tidur sebentar? Atau makan malam? Bagaimana kalau kumasakkan sesuatu?"

Pemuda itu menggeleng. "Kau tak perlu melakukan apa pun, Jane. Kau sendiri perlu istirahat. Pergilah, aku akan menjaga Luca."

Jane terdiam. Matanya mengamati rombongan dokter dan perawat meninggalkan kamar dengan terburu-buru. Mereka pasti heran apa yang mengakibatkan tangan Luca seperti itu dan bagaimana bisa seorang remaja enam belas tahun menyediakan fasilitas seperti ini--sebuah kamar yang berisi alat-alat kedokteran yang canggih di sebuah vila mewah. Tapi tentu saja, mereka tidak dapat menanyakan apa pun. Jika ada satu orang saja yang menyuarakan rasa penasarannya, mereka takkan dapat meninggalkan tempat ini hidup-hidup. Sama halnya jika mereka mengungkit apa yang mereka lakukan di sini pada orang lain. Itu perjanjiannya.

"Aku ... tidak lelah," sahut Jane pelan.

Pemuda di sebelahnya menoleh. Mata birunya berkilat-kilat. "Kalau begitu, temui Nate dan Mia. Kita akan tetap memproses rencana selanjutnya, meski tanpa Luca."

Walaupun sebenarnya masih ingin berada di situ, tapi Jane mengangguk dengan patuh. Sebelum melangkahkan kaki melewati ambang pintu, dia berhenti sejenak dan memutar kepala ke belakang. Orang itu sudah duduk di samping tempat tidur Luca, tengah berbicara dengan suara pelan.

"Mi dispiace."

Ketika pintu kaca bergeser menutup di balik punggung Jane, gadis berambut hitam itu bersandar di pintu sambil menghela napas panjang. Rasa iri timbul di hatinya seusai mendengar apa yang diucapkan pemuda itu pada Luca. Dalam permintaan maaf itu sekaligus terselip nada berterima kasih--keduanya hal yang langka. Dan mau tak mau Jane bertanya-tanya dalam hati, Apakah aku akan pernah mendapat kesempatan untuk melakukan sesuatu yang berguna untuknya? Seperti apa yang Luca lakukan.

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang