Chapter 64

2.3K 477 6
                                    

"Sesuai instruksinya, aku kembali ke loker itu dua jam kemudian. Ponselku masih di sana, tapi saat aku membukanya ada pesan masuk yang mengatakan kalau aku sudah menjalankan tugas dengan baik. Setelahnya, orang itu tak pernah menghubungiku lagi." Dia memperlihatkan pesan teks yang dimaksudnya, dan aku memutuskan untuk mencatat nomor si pengirim.

Aku menyimpan ponselku. "Ngomong-ngomong, kenapa kau memberitahuku semua ini? Kau bisa saja menyimpannya sendiri. Maksudku, berbicara denganku takkan meringankan bebanmu." Aku bakal kaget kalau dia bilang iya. Kami tak dekat, dan aku bukan pendengar yang baik.

"Kau juga Anak Spesial, kan?" Dugaanku selama ini ternyata benar—dia memang tahu. Terjawab sudah alasan kenapa dia selalu memandangku seolah aku ini monster. "Namamu ada di urutan pertama dalam daftar, jadi aku ... well ... aku hanya ingin memperingatkanmu supaya lebih waspada. Dan dua temanmu juga--Peter Eckhart dan Oliver Myers. Kalau si pembunuh memang mengincar semua Anak Spesial, mungkin kalian dalam bahaya."

"Uh ... trims, kalau begitu."

"Dan tenang saja, aku akan tutup mulut soal identitas kalian," tambahnya cepat-cepat. Dia berdiri. "Aku harus pergi sekarang. Kau tahu, kan, aku tak bisa lama-lama di sini. Ibuku bakal heran kalau melihatku."

Peter dan Oliver datang tepat setelah Hayley meninggalkan Laboratorium Omnia. Senyum lebar yang semula terpampang di wajah Peter seketika lenyap ketika melihatku tak membalasnya. Dia berjongkok di depanku lalu mengamati wajahku dengan ekspresi yang sama sewaktu dia memperhatikan irisan melintang beberapa jenis tanaman di kelas Biologi. "Ada apa?"

"Tadi Hayley datang." Aku menceritakan semua yang dikatakan Hayley dan wajah mereka berdua menjadi tegang. "Aku tak tahu kenapa, tapi aku mendapat kesan si pembunuh berada lebih dekat dari yang kita kira."

"Kau bilang kau punya nomor si pengirim pesan? Kirimkan padaku, termasuk catatan hari dan jam Hayley meninggalkan ponselnya di loker," pinta Peter. Aku menurut tanpa banyak tanya, kemudian dia meneruskannya ke Harry. "Mungkin dia bisa melacak posisi nomor itu. Aku penasaran apa dia juga bisa memeriksa rekaman CCTV di stasiun Andromeda ...." Jari-jarinya bergerak cepat mengetik pesan.

Aku menunggu hingga dia selesai, lantas melirik jam tangan. "Ini sudah hampir jam makan siang, lebih baik sekarang kita pergi menemui Ms. Connely. Aku yakin banyak yang bisa kita bicarakan dengannya."

Setibanya di Omnia Hospital, psikiater wanita itu sudah menunggu kami di ruangannya. Dia sedang berdiri menghadap jendela sewaktu kami masuk, dan ketika dia berbalik ada secangkir kopi yang mengepulkan asap di tangannya. "Kau sudah datang, Alice."

Sebelah alisnya terangkat ketika melihat Oliver yang ikut bersamaku--Peter memutuskan untuk menunggu di luar--jadi aku berkata datar, "Anda tak keberatan kalau dia turut mendengar pembicaraan kita, kan? Dia dapat menyimpan rahasia sebaik Anda." Aku sengaja tak menyembunyikan sindiran dalam nada bicaraku.

Dia mengedikkan bahu, menghabiskan kopi di cangkir, lalu duduk di balik meja kerjanya. Mata cokelat gelapnya yang bertemu denganku melontarkan tatapan tajam. "Aku yakin kedatanganmu hari ini ada hubungannya dengan pertemuan terakhir kita. Kau sudah berbicara dengan ibumu?"

Tebakannya hanya separuh benar. "Mom sudah menceritakan soal Alex. Berapa banyak yang Anda ketahui tentang dia?"

"Hanya sebatas yang diketahui oleh ibumu." Dia melipat kedua lengan di depan dada dan bersandar di kursinya, seolah ingin memperbesar jarak di antara kami--kelihatan seperti mekanisme pertahanan diri di mataku.

"Benarkah ...?" Aku melirik Oliver, dia mengangguk pelan, lalu aku berkata dengan perlahan, memberi penekanan di setiap kata. "Jadi Anda juga tahu kenapa ingatan saya dihapus?"

Untuk sesaat, matanya mengerjap pelan dan rahangnya menegang, tapi dengan cepat dia mengendalikan diri dan memberiku senyum tipis. "Aku tak mengerti apa yang kau bicarakan, Alice."

"Oh, ya? Sebentar lagi, Anda pasti mengerti," sahutku sinis.

Oliver meraih ke dalam ranselnya dan mengeluarkan tablet. Tanpa berkata apa pun, dia meletakkan benda itu di atas meja, tepat di hadapan Ms. Connely. Wanita itu menunduk untuk membaca judul tabel yang terpampang di layar, dan serta-merta wajahnya berubah pucat--kali ini umpan kami berhasil. Tangannya yang gemetaran menyambar tablet selagi matanya memindai tabel berisi nama-nama peserta Proyek Penghapus Ingatan. Setelahnya, dia mengangkat kepala dan menatap kami tak percaya.

"Dari mana--tidak, bagaimana kalian bisa mendapatkan ini?" Suaranya terdengar panik, dan itu wajar. Mengingat daftar nama itu bersifat rahasia, seharusnya dia menjaga dokumen itu baik-baik selaku ketua tim peneliti. Aku yakin para investor pasti takkan senang kalau tahu dokumen penting itu sampai jatuh ke tangan orang lain.

"Dari mana kami mendapatkannya tidak penting, Ma'am." Oliver menjawab. "Kami tak berniat membocorkannya pada siapa pun atau menggunakannya untuk sesuatu yang tidak baik, jadi Anda tak perlu cemas."

Tangan Ms. Connely yang berada di atas meja terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Kelihatan jelas kalau dia tengah berusaha keras untuk menenangkan dirinya. "Lantas? Apa yang kalian inginkan?" bisiknya lirih.

"Saya dan Alice merupakan peserta proyek tersebut, dan dalam tabel disebutkan bahwa ingatan kami ada salinannya," kata Oliver. "Jadi, kami ingin ingatan kami dikembalikan, Ma'am."

Ms. Connely tampak terguncang begitu mendengarnya. Dia menghela napas panjang, bangkit dari kursi, kemudian berjalan mondar-mandir di dekat jendela sambil beberapa kali mengembuskan napas. Aku mencuri pandang ke arah Oliver. Berlawanan dari cara bicaranya yang penuh percaya diri barusan, raut wajahnya kini tampak gelisah. Aku meraih dan meremas tangannya, lalu mengangguk pelan sewaktu dia menoleh. Kita bisa melakukan ini.

"Ibumu tak akan menyukainya, Alice," kata Ms. Connely, berjalan kembali ke kursinya. "Terapi pengembalian ingatan memiliki risiko yang sangat tinggi--bahkan tingkat keberhasilannya kurang dari sepuluh persen. Jika ada masalah, kalian bisa kehilangan seluruh ingatan yang kalian miliki hingga saat ini." Dia menggeleng dengan tegas. "Dakota tak akan menyetujuinya, demikian juga aku."

Mendengar adanya kemungkinan ingatan kami bisa hilang seluruhnya berhasil menggoyahkan niatku. Harry tak menyebut-nyebut soal ini sebelumnya--entah dia juga tak tahu atau Ms. Connely berbohong. Akan tetapi, aku tak berani untuk terus mempertahankan keinginanku dengan berpikir bahwa wanita itu hanya sedang mencoba menipu kami. Bagaimana jika dia berkata jujur? Mataku bertemu sejenak dengan Oliver. Dia tampak sama bimbangnya sepertiku.

Setelah beberapa menit saling berdiam diri, Oliver memberiku senyum letih. "Kau tak harus melakukan ini, Alice. Tapi aku harus, apa pun risikonya."

"Kau bercanda? Ingatanmu bisa hilang semua, Oliver." Aku mengingatkan. "Kita bisa mencari jalan lain. Pasti." Suaraku terdengar tak yakin, aku tahu. Tapi aku tetap harus mencoba mengubah pikirannya. Risikonya terlalu tinggi jika terapi itu gagal.

Dia menggenggam tanganku dengan raut penuh tekad. "Ini satu-satunya cara, kau juga tahu itu."

"Dengar, Anak-anak," sela Ms. Connely. Wajahnya terlihat memelas. "Aku tak mengerti apa yang kalian bicarakan, tapi kuharap kalian akan melupakan ide ini." Matanya menatapku dengan sorot memohon. "Please, Alice, aku tak ingin terpaksa menghubungi ibumu dan menjelaskan soal--"

"Tak bisakah kita melakukannya tanpa sepengetahuan Mom?" potongku. Aku belum seratus persen ingin melakukannya, tapi aku heran kenapa dia berkata begitu. Maksudku, kecuali kalau terjadi kesalahan selama proses terapi, yang berakibat hal-hal tak diinginkan, ibuku takkan pernah tahu.

Dia menggeleng lemah. "Karena kalian masih berusia di bawah delapan belas tahun, maka kalian memerlukan persetujuan dari orang tua atau wali agar terapi pengembalian ingatan dapat dimulai. Jadi kalau kau tetap bersikeras, Alice, kau akan memerlukan persetujuan dari ibumu. Kau mengerti sekarang? Ibumu takkan setuju, dan tanpa tanda tangannya kita tak dapat melakukan apa pun."

Apa? Lalu, bagaimana dengan Oliver? Aku sontak meliriknya. Dia pasti kaget, tapi dia menutupinya dengan cukup baik. Mata birunya berkedip sekali, lalu dia berkata, "Orang tua saya sudah meninggal, Ma'am. Jadi ... saya tak bisa meminta ingatan saya dikembalikan?" Aku yakin dia sudah tahu jawabannya--dia hanya ingin memastikan.

Ms. Connely mengangguk. "Kecuali kau mendapatkan wali pengganti."

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang