Chapter 40

3.2K 571 9
                                    

Kamar VIP tempat orang itu dirawat memiliki desain minimalis dan berukuran lebih kecil dari yang kukira. Ruangan yang didominasi warna kuning keemasan tersebut hanya berisi tempat tidur pasien dan sofa tamu. Aku melangkah ke tempat tidur pasien dan berdiri di sebelahnya. Orang itu masih belum bangun. Aku menatapnya dengan sedikit perasaan ganjil. Sungguh tak biasa melihatnya terbaring tak sadarkan diri dengan selang infus dan beberapa selang lain yang terhubung ke mesin di sebelahnya.

Sebenarnya, aku tak tahu apa sebaiknya aku tetap di sini atau pergi sebelum dia bangun. Kami tidak sedekat itu sampai aku punya hak untuk menjadi orang pertama yang dia lihat sewaktu bangun. Namun, aku berutang nyawa padanya, dan itu berarti paling tidak aku harus menemaninya, setidaknya hingga keluarganya datang.

Masalahnya, aku tidak yakin akan ada pihak keluarga yang datang. Beberapa menit yang lalu aku bertemu Leon Raven seusai menjalani perawatan untuk luka di kepalaku. Di luar dugaan, dia tidak memarahiku atau mengutarakan sakit hatinya lantaran cucunya terluka akibat menolongku. Dia malah berpesan agar tidak meladeni permintaan wawancara apa pun. Katanya, dia akan mengurus semuanya.

Jujur, aku kehilangan kata-kata sewaktu mendengarnya. Maksudku, cucunya terluka dan hanya itu yang dia katakan? Bukannya aku tidak mengerti betapa pentingnya citra perusahaan bagi pengusaha sekelas dirinya. Tapi tetap saja, ada hal-hal yang harus diprioritaskan. Hal-hal yang seharusnya berada di atas kepentingan yang lain. Dan keluarga seharusnya menjadi salah satunya.

Aku menatap Kyle sambil menggeleng prihatin. Bagaimana perasaannya kalau tahu bahwa kakeknya tidak memedulikannya sedikit pun? Mau tak mau tebersit semacam rasa iba terhadapnya. Di balik kepribadiannya yang menjengkelkan, mungkin dia memiliki kehidupan yang cukup sulit.

"Sheridan?" Suara itu menyadarkanku dari lamunan. Akhirnya cowok itu bangun juga. "Apa yang kau lakukan di sini?"

Aku mengangkat bahu. "Menunggumu bangun, kurasa? Kau baik-baik saja?"

"Seperti yang kau lihat." Kyle menyeringai. "Aku terharu kau menungguku bangun. Mungkin terluka seperti ini ada gunanya juga." Kehidupan yang sulit? Omong kosong. Dia hidup dengan sangat baik sampai-sampai punya banyak waktu luang untuk menggangguku.

Aku mendengus sambil bersedekap. "Well, karena kau sudah bangun, aku akan pergi sekarang."

"Tunggu." Dia mencegahku pergi. "Kau sudah tahu apa yang mau kau tanyakan padaku?"

"Tidak," sahutku jujur. Aku tak sempat memikirkannya sama sekali. "Tapi ... terima kasih. Dan maaf. Kau terluka akibat menolongku."

"Kalau kau merasa bersalah, traktir aku makan siang setelah aku sembuh. Kuanggap kau setuju," tambahnya cepat-cepat, seakan tak mau memberiku kesempatan untuk berpikir. Matanya melirik pintu dan raut wajahnya yang semula santai berubah serius. Kini dia tampak tertekan. "Sekarang pergilah, kurasa kakekku akan datang sebentar lagi."

Sebelah alisku terangkat heran. "Dari mana kau tahu? Aku bahkan belum memanggil dokter."

"Tak perlu. Aku yakin kalau orang-orang yang berjaga di depan ruangan sudah mengabarkannya ke kakekku." Di seberangku, pintu kamar bergeser membuka. Kyle benar--itu kakeknya. Kyle menggerakkan kepala ke arah pintu, memberiku isyarat untuk pergi.

"Well, kalau begitu, aku akan menemuimu lagi nanti."

Seulas senyum muncul di wajah Kyle. Mata birunya berbinar. "Luka ini benar-benar sebanding dengan perhatian yang kau berikan, Alice."

Aku ingin menyahut, tapi Leon Raven sudah melangkah masuk, jadi aku merapatkan bibir dan cepat-cepat berjalan ke pintu. Aku mengangguk sopan pada Leon Raven, kemudian menyelinap keluar, tapi telingaku masih sempat menangkap kata-kata pria paruh baya itu di belakangku--beberapa detik sebelum pintu bergeser menutup.

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang