Chapter 10

5.3K 948 46
                                    

Hari sudah menjelang malam ketika Oliver tiba di tempat tujuannya. Sopir taksi yang dia tumpangi memaksanya pergi ke rumah sakit ketika menyadari pakaiannya berlumuran darah, dan dia tak punya pilihan selain menurut. Oliver tak menyukai rumah sakit, tentu saja. Pertama, dia tahu kalau dokter yang merawat lukanya akan memiliki banyak pertanyaan ketika melihat lukanya yang sudah separuh menutup. Kedua, dia sedang terburu-buru.

Jadi, dia pun berpura-pura pingsan agar tak ditanya-tanya. Dengan tak sabar, dia menunggu lukanya selesai diobati. Kemudian saat dokter dan perawat pergi meninggalkannya, dia melesat ke toilet dan memeriksa lukanya--yang sudah dijahit dan ditempeli plester berwarna putih. Berkat penanganan tersebut, lukanya sembuh lebih cepat meski masih terasa sedikit sakit. Oliver bergegas mengganti pakaiannya dengan pakaian bersih dari dalam ranselnya, lalu menyelinap keluar dari rumah sakit.

Dia tak memiliki bayangan sedikit pun bahwa keterlambatannya berakibat fatal. Yang dia pikirkan ketika berdiri di depan pintu apartemen bernomor 3B hanyalah apa yang kira-kira ingin diberikan oleh Mrs. Murray. Sewaktu di taksi, dia sempat menelepon wanita itu untuk memperingatkannya agar lebih waspada, tapi wanita itu malah memintanya datang. Ada sesuatu yang ingin aku berikan. Mrs. Murray berkata demikian.

Oliver mengulurkan jarinya untuk menekan bel, lalu menunggu dengan gelisah. Mengingat Mrs. Murray adalah sahabat ibu angkatnya, mungkinkah dia ingin memberikan sesuatu yang berhubungan dengan orang tua kandungnya? Atau asal-usulnya? Mungkin saja akhirnya dia dapat menemukan kepingan puzzle yang dicarinya, sesuatu yang dapat dia gunakan untuk menghentikan si pembunuh.

Setelah beberapa menit berlalu tanpa ada yang membukakan pintu, Oliver menekan bel sekali lagi. Dia dapat mendengar bunyi bel di balik pintu, tetapi tak mendengar langkah kaki dari dalam menuju ke luar. Dia pun mulai merasa aneh. Bukankah seharusnya wanita itu tengah menunggu kedatangannya?

Dia meraih ponsel dari saku jinsnya dan menghubungi Mrs. Murray. Selagi menunggu, dilihatnya ada benda tipis yang terselip di pintu--semacam kartu, seolah-olah ada orang yang sengaja meletakkannya di situ agar pintu tak tertutup rapat. Oliver mengerutkan kening. Ini aneh, pikirnya. Mrs. Murray tak menjawab teleponnya dan pintu apartemennya tak dikunci. Intuisinya mengatakan ada yang tak beres.

Didorongnya pintu hingga terbuka lebih lebar. Di dalam gelap gulita. "Mrs. Murray?" panggilnya sambil mengetuk pintu beberapa kali.

Teringat akan pesan singkat yang terakhir dia terima, rasa cemas seketika menghampirinya. Jantungnya mulai berdetak lebih kencang sembari dia melangkahkan kaki memasuki apartemen. Di dalam sejuk, dan samar-samar tercium aroma pengharum ruangan. Oliver meraba-raba dinding, menemukan saklar lampu, lalu menyalakannya.

Tak ada siapa pun di apartemen satu kamar tersebut. Oliver berjalan mendekati meja makan. Di situ ada sebuah cangkir kopi yang masih berisi separuh. Oliver menyentuh cangkir. Sudah dingin. Mungkin selagi meminum kopi, tiba-tiba ada urusan mendadak yang membuat Mrs. Murray harus pergi dengan terburu-buru hingga tidak sempat mengabarinya?

Tidak mungkin, bantahnya dalam hati. Jika kejadiannya memang seperti itu, Mrs. Murray juga tak akan sempat menyelipkan kartu untuk mengganjal pintu.

Dengan cemas, dia memanggil sekali lagi, "Mrs. Murray?"

Ketakutan mendadak menjalari punggung Oliver ketika tatapannya berhenti di satu-satunya tempat yang belum dia periksa--kamar tidur. Tubuhnya membeku di samping meja makan, menolak untuk bergerak. Dia takut akan menemukan sesuatu yang tak diharapkannya di situ.

"Dasar bodoh, apa yang kau lakukan?" Dia memaki dirinya sendiri. Ini bukan saatnya untuk ragu-ragu, bisa jadi nyawa Mrs. Murray dalam bahaya!

Oliver memaksa kakinya melangkah mendekati pintu kamar yang tertutup, lalu mengetuk pintu. "Mrs. Murray? Ini Oliver, apa Anda ada di dalam?"

Ketika tidak ada jawaban, Oliver menggenggam kenop pintu, lalu menarik napas dalam-dalam. Tidak apa-apa. Barangkali ini tidak seperti yang kau khawatirkan, batinnya. Dia menelan ludah, memutar kenop pintu, kemudian mendorong pintu hingga terbuka lebar. Dia mengembuskan napas lega ketika melihat tak ada siapa pun di dalam. Mrs. Murray pasti ada urusan mendadak, makanya dia tak ada di sini, pikirnya.

Dia sudah berbalik dan hendak menutup pintu kamar ketika mendengar rintihan dari dalam kamar.

"To ... long ...."

Untuk sesaat, tubuhnya membeku. Namun dengan cepat kesadarannya kembali, dan dia pun melesat masuk. Di sebelah tempat tidur, sisi yang tak terlihat dari pintu, ada tangan yang terjulur kaku.

Oliver masuk lebih jauh dan terkesiap. Mrs. Murray terbaring telentang di lantai dengan mata tertutup dan luka menganga di pergelangan tangannya. Darah mengalir dari luka tersebut ke lantai keramik putih di bawahnya, meninggalkan genangan darah yang kental.

Walaupun pemandangan di depannya begitu mengerikan, tapi entah mengapa Oliver tak dapat mengalihkan pandangan. Perutnya bergolak mual dan tubuhnya gemetar seperti kedinginan hingga dia harus memeluk tubuhnya sendiri erat-erat untuk menenangkan diri.

Oliver memejamkan mata sejenak sebelum membukanya, lalu berjalan mendekati Mrs. Murray dan berlutut di sebelahnya. Aktivitas tersebut membuat luka di perutnya berdenyut nyeri, dan dia pun mengernyit kesakitan, sambil berusaha untuk memusatkan perhatian pada Mrs. Murray yang tengah sekarat.

"Mrs. Murray!" panggilnya.

Wanita paruh baya itu membuka mata dan mengenalinya. "Oliver ...," ujarnya lirih.

"Aku akan memanggil ambulans, bertahanlah!" Oliver berusaha mengetik nomor ambulans, tapi tangannya yang gemetaran malah menjatuhkan ponsel.

Tangan Mrs. Murray yang tak terluka terangkat untuk menggenggam tangan Oliver. Dia menggeleng pelan ketika Oliver menatapnya. "Su ... dah ... terlambat ...."

"Siapa yang melakukannya? SIAPA?!" Oliver berteriak frustrasi. "Katakan padaku siapa pelakunya, please!" Namun Mrs. Murray hanya tersenyum lemah padanya, lalu menutup mata. Tangannya yang semula menggenggam tangan Oliver terkulai jatuh.

Dengan tubuh gemetar, Oliver terduduk lemas di lantai. Bau anyir darah menusuk-nusuk indra penciumannya, sementara aura kematian menggelayut berat di udara, begitu dingin dan mencekam. Dia menatap tubuh tak bernyawa di depannya dengan dipenuhi rasa bersalah. Satu lagi korban akibat dirinya. Satu lagi orang tak bersalah mati, dan itu semua akibat dia tak dapat segera menemukan pembunuh sialan itu.

Oliver berjengit ketika samar-samar mendengar suara di dekatnya. Bunyi barusan itu, jangan-jangan .... Tatapannya beralih pada layar ponselnya yang menyala, lalu dengan tergesa-gesa dia menyambar ponsel biru muda tersebut dari lantai. Pada layar, terdapat sebuah pesan singkat dari nomor tak dikenal--persis seperti yang dia cemaskan. Matanya melebar dan jantungnya berdebar kencang selagi memindai isi pesan tersebut.

Alice--pembunuh itu kini mengincar Alice!

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang