Chapter 14

4.6K 829 66
                                    

Untuk sesaat, aku benar-benar mengira dia serius. Tapi ketika melihat bibirnya membentuk senyum simpul, aku pun tahu aku tertipu. Kedua tanganku mencengkeram tuksedonya dengan geram. "Sepertinya kau terlalu meremehkanku, Raven. Kau pikir aku akan memercayai kata-katamu begitu saja?" kataku dengan nada jengkel. Bahkan meski hanya bercanda, tapi dia benar-benar keterlaluan. Lagi pula, lelucon yang menyakitkan bukan lagi lelucon. Aku tak pernah mengerti apa alasannya sebagian orang menjadikan hilangnya ingatanku sebagai bahan tertawaan.

Dengan tenang dia menurunkan tanganku, lantas tersenyum, seolah tak terjadi apa pun. "Yah, aku kan anak orang kaya, jadi ada beberapa informasi yang bisa kudapatkan dengan mudah. Pertanyaannya, Alice, dari mana kau tahu aku berbohong atau mengatakan yang sebenarnya?" Tanpa menunggu jawabanku, dia membungkuk pelan. "Terima kasih atas dansanya, Miss Sheridan. Aku yakin kita akan bertemu lagi nanti."

Aku menatap punggungnya yang berjalan menjauh sambil mengepalkan kedua tanganku di sisi tubuh. Sayang sekali aku tak pintar berkata-kata untuk membalasnya, dan karena kami sedang berada di pesta, aku tak dapat menggunakan kekuatanku.

Aku melirik meja tempat makanan dihidangkan. Mungkin sebaiknya aku makan untuk meredakan amarahku, apalagi beberapa tamu lain--termasuk Peter--juga sudah lebih dulu ada di sana, masing-masing sedang mengisi piring mereka. Aku berderap cepat menghampiri Peter, kemudian langsung memindahkan beberapa potong daging berbumbu ke piringku.

"Ada apa? Raven muda menginjak kakimu dan kau tak sempat membalasnya?" tanyanya, seperti biasa berhasil menebak emosiku.

Aku menggeleng tak sabar. "Bukan. Dia mengatakan hal-hal aneh."

"Yaitu?"

Aku menceritakan semua yang dikatakan Kyle selama kami berdansa. Setelah aku selesai bercerita, Peter memandangiku dengan tatapan yang tak kumengerti. "Dia bilang begitu?" tanyanya pelan, seolah ingin memastikan dia tak salah dengar. "Ada yang menghapus ingatanmu?"

Aku balas menatapnya heran. "Jangan bilang kau percaya padanya, Peter. Mungkin saat ini dia sedang mentertawakan kita karena setengah memercayai kata-katanya." Aku menatap punggung Kyle di kejauhan. "Jangan biarkan dia menang."

"Aku hanya tak mengerti kenapa dia membuat lelucon seperti itu," kata Peter dengan wajah serius. Tapi sejenak kemudian dia menyeringai padaku dan kembali bersikap santai. "Makanya, seharusnya tadi kau berdansa denganku saja. Aku tak akan membuatmu kesal seperti dia."

"Itu bukan mauku. Aku tak bisa menolak, itu masalahnya." Aku mengerang kesal ketika melihat seseorang mendekati kami. "Oh, sialan!"

Kalau tahu Sofia juga diundang, aku tak bakalan datang. Aku bergidik melihat dandanannya yang lebih tebal dari biasanya, dengan bulu mata yang tampak artifisial dan lipstik merah menyala. Sejujurnya, dia tampak mengerikan.

Sofia mengernyit ketika melihatku. "Kau lagi, Sheridan?" Matanya beralih menatap Peter dan aku bergantian. "Kenapa kalian harus selalu bersama, sih?"

Aku mendesah letih. "Tinggalkan aku, Sofia, aku serius," kataku pelan, berusaha mempertahankan kesabaranku yang sebenarnya sudah hampir habis.

Sayangnya, cewek itu menyalahartikan maksudku. Pasti dia kira aku mau 'ngobrol' dengannya. "Tak cukup hanya Peter, sekarang kau juga menginginkan Kyle Raven?" tanyanya. "Aku lihat kalian berdansa bersama tadi. Kau tak boleh mendapatkan keduanya, Alice. Itu serakah namanya."

Kesabaranku habis. Aku mengacungkan tinju padanya. "Jadi kau berani menceramahiku sekarang? Kau yakin tak akan menyesalinya?"

Peter menarik lenganku. "Ingat, ada ibu dan kakekmu di sini. Kau tak dapat mempermalukan mereka. Kau harus menjaga sikapmu."

Sofia memutar-mutar ujung rambutnya dengan jari tangan sambil tertawa senang, mengira Peter memihaknya. Amarahku serasa makin mendidih melihatnya. Tapi sebelum aku sempat membuka mulut untuk mengucapkan apa pun, Peter mendahuluiku.

"Dan kau, Miss Jarrett, mengingat kau punya banyak waktu untuk merias wajahmu, aku heran kenapa kau tidak menggunakan waktumu untuk memperbaiki kepribadianmu. Memang tak mudah, tapi menurutku itu adalah investasi yang lebih berharga ketimbang dandanan tebalmu itu."

Wow. Tak kusangka Peter akan berbicara seperti itu. Aku tersenyum penuh kemenangan ketika melihat wajah Sofia berubah warna. Aku sungguh-sungguh mengira dia akan menyerah, tapi di luar dugaan dia malah melempar minuman di tangannya ke arahku.

"Ups, sori, tanganku licin," ujarnya santai sambil memberiku tatapan mencemooh-khas-Sofia, lalu melenggang pergi.

Aku menunduk tak percaya memandangi gaunku yang kotor, lalu mengangkat kepala menatap punggung Sofia dengan penuh amarah. Kali ini bahkan Mom dan Gramps tak akan dapat menghentikanku! Aku menatap pelayan yang berjalan dari seberang Sofia. Pelayan itu membawa sesuatu yang dapat kugunakan untuk membalas dendam--gelas-gelas berisi minuman.

Aku memelototi gelas-gelas di atas baki yang dipegang pelayan itu, lalu mulai memusatkan konsentrasi.

JATUH!

Gelas-gelas plastik itu mulai bergetar seolah ada gempa bumi. Pelayan yang membawanya tak menyadari apa pun, jadi sisanya bakalan mudah.

JATUH!

Dengan ajaib, semua gelas itu terjatuh bersamaan ke arah Sofia, menumpahkan minuman ke gaun mahalnya—semua terjadi begitu cepat. Aku mendengus puas melihat gaunnya yang berwarna krem kini dihiasi bercak oranye di sana-sini. Pertunjukan yang sempurna! Beberapa pelayan bergegas menghampiri Sofia untuk membantunya, sementara pelayan yang membawa minuman terus meminta maaf, tapi tetap saja cewek itu berteriak histeris sampai-sampai tamu yang lain berkerumun mengelilinginya.

Kyle menerobos kerumunan tamu. "Apa yang terjadi?" tanyanya. Salah satu pelayan menjelaskan apa yang terjadi, kemudian cowok itu menggandeng lengan Sofia dan berbicara dengan suara lembut, "Maafkan karyawanku, Miss Jarrett. Bagaimana kalau kita keluar dulu? Akan kulihat apa yang dapat kulakukan untuk membantumu."

Senyum cerah seketika mengembang di wajah manja Sofia. Dengan cepat dia menggelayuti lengan Kyle, seolah tak berniat melepasnya lagi. Aku jadi sedikit iba pada cowok itu. Melepaskan diri dari obsesi Sofia setara dengan sulitnya mengerjakan soal ujian akhir matematika.

"Maaf atas kecelakaan kecil barusan. Silakan kembali menikmati acara hari ini," ujar Kyle pada para tamu yang masih berdiri di sekitarnya. Tiba-tiba, tatapan kami bertemu. Dia tersenyum penuh arti padaku, lalu pergi sambil membawa Sofia.

Aku mengerutkan kening. Apa-apaan itu tadi? Peter pasti juga melihatnya, karena dia berkata, "Aku bertanya-tanya apa makna di balik senyuman itu."

Aku mengedikkan bahu. "Mungkin dia tahu aku yang melakukannya. Dia kan tahu kalau aku salah satu Anak Spesial."

"Aku jadi penasaran seberapa banyak yang dia tahu." Peter menarikku pergi dari situ. "Sebaiknya kita kembali sekarang. Keluargamu akan curiga kalau kau pergi terlalu lama. Kalau mereka sampai tahu, kau pasti akan diomeli lagi."

"Tapi kan hanya kau yang tahu, jadi kalau kau tutup mulut, aku yakin semua oke."

Peter mengedipkan sebelah mata padaku. "Kau tahu aku selalu berada di pihakmu. Ngomong-ngomong, kali ini aku tak bisa tak setuju dengan pembalasan-dendam-Alice. Sofia pantas mendapatkannya."

Aku meninju lengannya sambil tertawa. "Kau memang yang terbaik."

Ketika aku kembali ke tempat dudukku, kakek dan ibuku sudah mulai menyantap makan siang mereka. Aku berpura-pura tak melihat tatapan tajam ibuku yang terarah ke piring makanku, dan memilih untuk sibuk mengunyah makan siangku.

Mendadak, terdengar bunyi bel berdenting. Aku mengangkat kepala, mencari-cari sumber suara, dan mendapati bunyi tersebut berasal dari jam antik di sudut ruangan yang kulihat sewaktu baru tiba. Aku tercengang memandangi jam berukuran besar yang menjulang tinggi tersebut, tak menyangka jam itu masih berfungsi. Tadinya kukira jam itu hanya barang pajangan.

Aku meletakkan sendok, kemudian mengamati jam itu dengan penuh minat, berniat untuk menghitung berapa kali dia berbunyi. Menurut katalog yang kubaca, jam antik seperti itu akan berbunyi sebanyak jam yang ditunjukkannya. Aku penasaran apakah itu benar. Sekarang jam dua belas, artinya dua belas kali. Dengan sabar aku menghitung sampai hitungan kesebelas, lalu--pada hitungan kedua belas--melihat sebilah pisau tengah meluncur tepat ke arahku.

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang