Chapter 27

3.2K 644 18
                                    

Sekarang misteri bagaimana nomor pengirim pesan teks itu selalu berbeda-beda sudah terpecahkan. Pengirimnya—si pembunuh atau kaki tangannya--pasti mampu memanipulasi teknologi. Sama halnya dengan misteri menghilangnya rekaman CCTV yang dicari Peter. Aku sangat tak sabar untuk memberi tahu Peter dan Oliver tentang penemuanku.

Suasana hatiku terasa sangat bagus saat ini. Pelatihan simulasi yang sudah di depan mata, jawaban atas misteri pesan teks dan CCTV, ditambah menu makan siang berupa piza gratis. Rasanya tak akan ada yang sanggup mengacaukan hari ini.

"Sheridan?"

Sial. Bagaimana bisa aku melupakan variabel tersebut? Tentu saja, selalu ada seseorang yang mampu mengubah bahkan hari terbaik dalam hidupku menjadi buruk dalam sekejap.

Sambil menghela napas dengan jengkel, aku berbalik dan bertatapan dengan Sofia Jarrett. "Kau tahu, lain kali kau melihatku anggap saja aku patung. Jangan mengajakku bicara. Jangan memedulikanku. Anggap saja aku tak ada."

Bukannya pergi, cewek itu malah mendekat dan memandangku dengan angkuh. "Dan kenapa aku harus mendengarkanmu? Kau tak berhak memerintahku. Aku," ucapnya, menunjuk dirinya sendiri, "boleh melakukan apa saja yang aku mau."

Aku memutar bola mata. "Terserah kau saja," ujarku, lantas berjalan menjauhinya. Tapi, di luar dugaan, dia berderap menyusulku dan menarik lenganku dengan kasar.

"Tunggu, siapa yang mengizinkanmu pergi? Aku belum selesai bicara!"

Berani-beraninya dia! Amarahku terasa membakar hingga ke ubun-ubun akibat terlampau kesal. Aku menyentak lenganku lepas dari genggamannya sambil memelototinya. "Kuperingatkan kau, Jarrett, menjauh dariku."

"Oh, ya? Kenapa? Memangnya kau bisa apa?" tantangnya, sambil berkacak pinggang dan membalas tatapanku.

Sebelum aku sempat membalas kata-katanya, Peter tiba-tiba muncul dan langsung berlari ke tengah-tengah kami. "Tenang, ladies, tenang," katanya. "Bicarakan apa pun itu baik-baik, oke?"

"Siapa juga yang ingin bicara dengannya?" sergahku, menarik tangan Peter. "Ayo, kita pergi dari sini!" Sayangnya, Sofia juga menarik tangan Peter di ujung yang lain. Akibatnya Peter yang malang tak dapat bergerak sama sekali, terperangkap di antara kami berdua.

"Kebetulan sekali, Peter! Aku datang untuk bertemu Hayley. Bagaimana denganmu? Apa yang kau lakukan di sini?" Senyum lebar mengembang di wajah Sofia dan matanya tampak berbinar-binar selagi memandang Peter.

"Aku yakin itu bukan urusanmu, Jarrett," kataku dengan nada dingin. Otakku tak dapat memikirkan suatu kebohongan yang masuk akal, sementara tak mungkin kami memberitahunya kalau kami di sini untuk latihan.

Sofia mengabaikanku. Matanya terus tertuju pada Peter. "Ini pasti takdir. Mau makan siang denganku?"

"Maaf, tapi aku sudah ada janji," tolak Peter.

"Lain kali, kalau begitu? Besok? Lusa?" Sofia memandanginya dengan tatapan penuh harap yang membuat perutku bergolak mual.

"Sori, setiap hari aku sudah ada janji. Bisa kau lepas tanganku?" Peter berusaha menarik tangannya dari cengkeraman Sofia, tapi cewek itu memeganginya erat dengan dua tangan seakan tak berniat melepasnya sampai kapan pun.

Sepertinya aku harus turun tangan. Aku melepas tangan Peter lalu menghampiri Sofia yang masih membujuk Peter untuk makan siang bersamanya. Kuletakkan sebelah tanganku di atas tangannya sambil berkata pelan, "Lepaskan dia, Jarrett. Sekarang."

Sofia melepas pegangannya dari tangan Peter, lalu menatapku geram. "Memangnya kau siapanya Peter, hah?" Dia menaikkan nada suaranya sambil menunjuk wajahku dengan telunjuknya. "Kau sama sepertiku, tak ada hubungannya dengan dia. Jadi jangan sok menyuruh-nyuruhku. Kau itu cuma anak aneh yang banyak gaya, tahu!"

"Kau--" Kucengkeram pergelangan tangannya dengan kuat hingga dia memekik kesakitan. "Tarik kembali ucapanmu," perintahku.

Peter menyentuh lenganku. "Sudahlah, Alice. Sebaiknya kita pergi. Ingat, jangan mencari masalah dengannya. Pikirkan ibumu," bujuknya.

Pikiranku melayang pada ibuku. Peter benar. Aku tidak boleh memperburuk keadaan ibuku dengan menambah-nambahi beban pikirannya. Dia bahkan masih belum pulih betul dari traumanya sehabis aku nyaris dibunuh di pesta Raven.

Aku menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Tenang, Alice, kau bisa melakukannya. Kutarik tanganku, berbalik, dan berjalan menjauh. Tapi tiba-tiba kurasakan jari-jari Sofia sudah bertengger di pundakku.

"Siapa yang bilang kau boleh pergi, Sheridan? Urusan kita belum selesai."

Ada beberapa orang yang memang seperti itu. Mereka senang mencari masalah denganmu, menguji kesabaranmu hingga level maksimal, dan sementara kau berusaha keras untuk tidak memedulikan mereka, mereka terus dan terus saja mengusikmu tanpa henti. Seolah-olah mengganggu ketenanganmu adalah tujuan hidup mereka yang utama.

"Hentikan, Jarrett," ucap Peter tegas. "Kau sudah keterlaluan."

Sofia berkacak pinggang lantas menyahut dengan nada tinggi, "Peter, kenapa sih kau selalu membelanya? Apa bagusnya dia? Cewek aneh itu bahkan tak ingat ayahnya sendiri! Berteman dengannya hanya buang-buang waktu! Reputasimu bisa jadi buruk kalau kau terus nongkrong dengannya!"

Aku tahu dia hanya ingin memancing emosiku, dan aku tahu seharusnya aku mengabaikannya. Tapi, aku paling benci kalau ada yang mengungkit-ungkit perihal amnesiaku. Tanpa perlu dia katakan pun, aku sudah cukup frustrasi karena tak mampu mengingat apa-apa tentang ayahku, jadi ucapannya barusan dapat diibaratkan seperti menabur garam ke luka yang masih berdarah-darah. Sambil diam membisu, aku berbalik dan menatapnya tajam.

"Apa lihat-lihat?" sahut Sofia dengan nada yang paling menjengkelkan yang pernah kudengar. "Apa yang akan kau lakukan? Memukulku? Coba saja kalau berani!"

"Saat aku memintamu baik-baik, seharusnya kau mendengarkanku, Jarrett." Sebelah tanganku terangkat ke arahnya. "Kau tak berhak mengata-ngataiku. Amnesiaku bukan lelucon, kau tahu?"

Peter berlari ke depanku. "Alice, jangan lakukan--"

Aku tahu apa yang akan dia katakan dan aku tak peduli. Orang seperti Sofia harus diberi pelajaran, titik. Jadi sebelum Peter menyelesaikan kalimatnya, kukibas tanganku yang terulur ke arah Sofia sekuat tenaga. Cewek itu pun seketika melayang sejauh beberapa meter, menghantam sofa yang disusun membentuk setengah lingkaran di tengah-tengah lobi, lalu akhirnya mendarat di lantai dengan bunyi keras dan tak bergerak lagi.

Wajah Peter langsung berubah pucat. Dia bergegas menghampiri Sofia dan mencoba membangunkan cewek itu dengan menepuk-nepuk lengannya. Beberapa saat kemudian Sofia membuka mata, mengucapkan sesuatu yang tak terdengar olehku, lalu mulai menangis sesenggukan. Peter berusaha menenangkannya lalu mengeluarkan ponsel--aku yakin untuk menelepon ambulans. Seusai menelepon, dia melemparkan tatapan penuh kekecewaan padaku, dan aku tak mengerti kenapa.

Bukankah Sofia pantas mendapatkannya?

Perlahan aku memutar tubuh menghadap pintu keluar lalu mulai berjalan, awalnya pelan, tapi tanpa kusadari kedua kakiku sudah berlari kencang. Dari belakang terdengar suara Peter memanggilku, tapi aku pura-pura tak mendengarnya--paling-paling dia akan menasehatiku seperti biasa dan aku sedang tak ingin mendengar nasehat.

Saat ini, aku hanya ingin sendirian.

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang