Chapter 3

13.1K 1.6K 63
                                    

"Mom! Dad!"

Oliver Myers terus berteriak hingga suaranya serak. Namun tidak peduli sekeras apapun dia memanggil, kedua orang tuanya tetap berjalan menyusuri lorong panjang yang gelap dengan jurang yang curam di kanan-kirinya. Mereka seperti tak mendengar suaranya sama sekali. Mereka terus saja berjalan lambat-lambat, dengan seberkas cahaya dari atas--entah dari mana--menerangi setiap langkah mereka bagaikan lampu sorot.

Oliver berteriak lebih keras seraya mempercepat larinya. Kini dia berdiri tepat di belakang ibunya. Dia mengulurkan tangan, ingin meraih lengan wanita tersebut, tetapi anehnya ibunya tiba-tiba bergerak menjauh dengan sangat cepat. Dalam satu kedipan mata, orang tuanya telah berada pada jarak beberapa meter di depannya.

Oliver mengerjapkan mata dengan bingung, kemudian kembali berlari mengejar orang tuanya. Namun hal yang sama terulang lagi. Setiap kali dia berhasil mendekat, setiap kali itu pula mereka bergerak menjauh dari jangkauan tangannya.

Dalam sekejap, mereka pun menghilang dari pandangan. Mereka lenyap begitu saja, meninggalkan Oliver sendirian di lorong panjang tersebut. Sinar yang semula menyorot langkah kedua orang tuanya kini berganti menerangi setiap langkahnya.

Tidak--jangan tinggalkan aku di sini!

Oliver dapat merasakan keputusasaan mulai menghampirinya. Kedua tangannya terkulai lemah ke samping tubuhnya yang gemetar ketakutan. Ke mana sekarang dia harus mencari orang tuanya? Tempat ini seolah tak berujung, dan kesunyian di sekelilingnya begitu mencekam. Dia takut takkan pernah melihat mereka lagi.

"MOM! DAD! DI MANA KALIAN?!" Dia berteriak frustrasi. "Kalian tak bisa pergi begitu saja! Jawab aku!"

Dengan napas tersengal-sengal, dia melanjutkan berlari tanpa arah dan tujuan, meski rasa pegal di kakinya seolah membakar sekujur tubuhnya, memintanya untuk berhenti melangkah. Dia tak peduli--satu-satunya yang dia inginkan hanyalah keluar dari tempat sialan ini dan melihat orang tuanya lagi.

Mendadak, lantai di bawahnya bergetar hebat dan mulai bergerak miring disertai bunyi gemuruh yang memekakkan telinga. Pijakan di kakinya menjadi tak lagi seimbang, dan dengan cepat tubuhnya meluncur jatuh ke jurang. Oliver menutup mata, mengira ajalnya telah tiba, tetapi ....

BUK!

Bukannya remuk, tubuhnya malah menghantam sesuatu yang keras dan dingin. Oliver membuka mata sembari meringis kesakitan, lalu tertegun memandangi ruangan berdinding putih yang diterangi sinar rembulan yang masuk melalui jendela yang tak ditutup.

"Tadi itu ... hanya mimpi?" gumamnya, lalu tertawa pahit, mentertawakan dirinya sendiri. "Dasar bodoh, memangnya kau pikir mereka hidup kembali?" Dia memejamkan mata lalu meletakkan sebelah lengannya di atas wajahnya.

Sudah tiga minggu berlalu sejak orang tuanya tewas akibat kecelakaan lalu lintas, tetapi duka yang mendalam masih menyelimuti hatinya. Ayahnya, Chad Myers, tewas seketika di lokasi kecelakaan. Sementara ibunya, Katherine Myers, mengembuskan napas terakhirnya di rumah sakit setelah tiga hari berada dalam kondisi kritis.

Seandainya tiga minggu belakangan ini hanyalah mimpi, batinnya. Tapi dia tahu, ini bukan mimpi. Orang tuanya telah tiada, dan tak akan pernah kembali--selamanya. Dia hanya dapat terus merindukan mereka, sambil berharap suatu hari nanti dia akan terbangun dari mimpi buruk yang berkepanjangan ini, dan mendapati mereka masih ada di sisinya.

Ini kenyataan, hadapi itu! bisik hati kecilnya.

Oliver menarik napas dalam-dalam, lalu menjulurkan tangan untuk menggapai sisi tempat tidur dan menggunakannya untuk membantunya bangkit. Kemudian ditariknya selimut tebal yang tadi ikut terjatuh bersamanya. Punggungnya terasa sedikit nyeri akibat terjatuh barusan, dan kepalanya sedikit berkunang-kunang, jadi dia memutuskan untuk duduk di tempat tidur.

Sebelah tangannya terulur untuk meraih ransel yang tergeletak di dekat bantal. Dari dalamnya, dia mengeluarkan selembar foto. Dengan penuh kerinduan, dia memandangi wajah kedua orang tuanya di dalam foto yang diambil sebulan silam. Ibunya masih tampak cantik dan elegan di usianya yang sudah melewati kepala empat. Rambut cokelatnya panjang sebahu membingkai wajahnya dengan indah. Mata birunya bersinar jenaka dan memancarkan kehangatan.

Sementara ayahnya, berambut gelap dengan mata keabu-abuan. Pria itu tak pernah banyak bicara tetapi selalu dapat diandalkan dan sangat menyayangi keluarga kecilnya. Meski kesibukannya sebagai direktur pemasaran di sebuah perusahaan besar sangat menyita waktu, tetapi dia selalu dapat meluangkan waktu untuk keluarganya.

Oliver mengucek matanya dengan punggung tangan ketika matanya mulai terasa basah. Sebenarnya, dia bukan pria cengeng.Tapi siapa yang tak sedih ketika mengingat kembali orang-orang terdekatnya yang telah tiada? Meskipun mereka bukan orang tua kandungnya, tetapi merekalah yang merawatnya sejak dia berusia tujuh tahun. Itulah sebabnya begitu sulit untuk merelakan kepergian mereka. Jangankan merelakan, bahkan hanya sekadar memikirkan bahwa dia takkan pernah lagi melihat mereka berdua terasa janggal dan sulit untuk diterima.

Tak ada lagi ibunya yang selalu memainkan piano. Tak ada lagi ayahnya yang selalu menemaninya berolahraga pagi. Semasa orang tuanya masih hidup, rumah mereka terasa begitu hangat dan menyenangkan. Tapi kini? Rumah itu bagaikan tempat yang dingin, gelap, dan suram. Keheningan di rumahnya sangat mencekam hingga terasa dapat membunuhnya.

Kenangan adalah satu-satunya hal yang tersisa setelah orang yang kau cintai tiada. Peter dulu pernah bilang begitu. Sahabatnya yang satu itu memang suka berfilosofi. Berbeda dengan Alice--sahabatnya yang lain--yang lebih suka berbicara apa adanya. Memikirkan mereka berdua membuat suasana hati Oliver menjadi semakin buruk. Sejujurnya, dia merindukan mereka. Dia ingin dapat kembali menjalani hari-hari yang normal bersama mereka.

Tapi hidupnya kini tak lagi sama.

Sambil menghela napas, Oliver meraih ponsel dari atas meja di samping tempat tidur, kemudian menyalakan saluran televisi. Wajah seorang reporter wanita berambut merah langsung muncul ke layar smartphone tersebut.

Jantung Oliver serasa berhenti berdetak selama sepersekian detik ketika membaca judul yang tertera di layar : 'Pembunuhan Misterius di Danau Arcan.' Dikeraskannya volume ponsel dengan jantung berdebar kencang.

"Jenazah yang ditemukan beberapa jam lalu di tepi Danau Arcan akhirnya telah berhasil diidentifikasi. Berdasarkan data dari Bank DNA, korban merupakan Toby Gibson, seorang siswa di Andromeda High yang dilaporkan menghilang sejak dua hari yang lalu. Saat ini, kami masih menunggu hasil dari autopsi yang rencananya akan dilakukan malam ini, tetapi diduga korban tewas akibat luka bakar parah ...."

Toby? Mungkinkah ...?

"Tidak--ini tidak mungkin!" Dengan cepat Oliver memeriksa daftar pesan singkat di ponselnya. Di urutan paling atas, terdapat pesan dari nomor tak dikenal yang diterimanya dua hari yang lalu. Kalau kau masih berpikir ini hanya lelucon, kau salah besar. Toby Gibson akan menjadi korban berikutnya, jika kau tak segera mengingat apa yang seharusnya kau ingat.

Wajah Oliver berubah pucat seperti kehilangan darah, tangannya gemetaran sampai-sampai nyaris menjatuhkan ponsel. Belum lagi hilang keterkejutannya, sebuah pesan singkat masuk ke ponselnya. Kali ini dari nomor yang tak pernah dia lihat sebelumnya. Pesan itu berbunyi : Nah, kali ini permainan akan sedikit berubah. Dalam dua hari, Kristy Murray akan menyusul Toby Gibson.

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang