EPILOG

9.5K 759 215
                                    

Beberapa hari setelah Oliver keluar dari rumah sakit, dia mengunjungi rumahku untuk membantuku mengerjakan PR trigonometri yang telah kuabaikan selama liburan musim panas. Tadinya aku berniat meminta Peter mengajariku, tapi ini hari Sabtu, dan itu berarti waktu baginya untuk menginap di kediaman keluarga Eckhart--sementara PR ini harus kuserahkan pada Mr. Todd paling lambat besok--jadi aku pun menghubungi Oliver. Untunglah dia merupakan guru yang sama baiknya dengan Peter, dan aku berhasil menyelesaikan seluruh tiga puluh soal sebelum jam makan siang.

"Aku akan mentraktirmu sebagai ucapan terima kasih," ujarku, meraih ponsel. "Kau mau makan apa?"

Bukannya menjawab, Oliver malah berkata, "Mr. Layton bilang kau pingsan setelah mereka melepaskan tembakan." Dia berhenti sejenak untuk menggaruk kepalanya dengan gerakan canggung. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud menakutimu."

Ucapannya membangkitkan kenangan buruk akan hari itu di kepalaku. Dan, sejujurnya, aku sedikit terkejut lantaran akhirnya dia meminta maaf. Kukira dia akan selamanya berpura-pura tak menyadari bahwa keputusan sepihaknya itu membuatku kecewa sekaligus jengkel. Bagaimana tidak? Saat itu aku benar-benar mengira kami akan kehilangan dia, dan itu membuatku takut setengah mati, sampai-sampai aku kerap dihantui mimpi buruk hingga beberapa hari setelahnya.

Ketika aku tak kunjung menyahut, Oliver meraih tanganku di atas meja. "Aku tahu seharusnya aku minta maaf lebih cepat, tapi aku khawatir kau takkan memaafkanku, makanya aku menundanya sampai sekarang. Kau ... bersedia memaafkanku, kan?" tanyanya dengan raut gelisah.

Sebetulnya, sampai detik ini aku masih kesal padanya, tapi di sisi lain aku separuh dapat memahami kalau waktu itu dia tak punya pilihan lain dan, bagaimanapun juga, aku adalah salah satu variabel yang memengaruhi keputusannya, jadi kurasa aku tidak punya hak untuk menceramahinya--terlebih lagi karena dia selamat dan kini baik-baik saja. Oleh sebab itu, alih-alih mengutarakan kejengkelanku, aku memaksa sudut bibirku terangkat untuk membentuk senyuman.

"Well, baiklah, aku terima permintaan maafmu," ujarku, dan kecemasan di wajahnya menghilang, digantikan oleh senyum penuh kelegaan yang mengakibatkan jantungku berdebar kencang. Aku sontak memalingkan wajah, berdeham sejenak, lalu meneruskan, "Tapi, kuharap lain kali kau akan memikirkan kami sebelum mengambil keputusan yang melibatkan hidup-matimu." Begitu selesai berbicara, aku menyadari kalau tak seharusnya aku mengucapkan itu, jadi aku cepat-cepat menambahkan, "Tidak, kuharap kau takkan pernah terlibat atau melibatkan diri dalam situasi berbahaya seperti itu lagi. Kau mengerti?"

"Aku mengerti," ucapnya dengan raut serius, kemudian melepas tanganku. "Uh ... ada yang ingin kutanyakan." Mata birunya yang menatap ke dalam mataku mendadak bersinar gugup dan wajahnya memerah seperti kepiting rebus. "Kau mau jadi pasanganku ke prom? Peter bilang, minggu depan sekolah akan mengadakan prom untuk menandai akhir libur musim panas, dan dia mengizinkanku mengajakmu--kalau kau mau."

Itu pertanyaan yang sangat tak kusangka-sangka. Aku terlalu kaget hingga perlu beberapa detik untuk merespons. Awalnya aku ingin langsung mengiakan, tapi aku menahan diri sebab ada satu hal yang perlu kuperjelas terlebih dulu. Sambil bersedekap, aku menegakkan kepala dan sedapat mungkin menjaga nada bicaraku seolah tak peduli ketika bertanya, "Sebagai teman atau kencan?"

Masih dengan wajah memerah, Oliver mengunci tatapanku lekat-lekat. "Bolehkah kali ini aku bersikap egois dan mengambil pilihan kedua?"

Aku tak dapat menahan senyumku begitu mendengarnya. Itu baru namanya pertanyaan bermutu. Sambil mengangguk, aku menjawab, "Tentu saja."

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang