Chapter 11

5K 912 33
                                    

Sesosok pemuda berdiri menghadap jendela yang terbuka sambil sesekali menyesap anggur dari gelas di tangannya. Dengan kening berkerut, dia memandangi kilat yang menyambar-nyambar di langit, membiarkan embusan angin menerpa tubuh jangkungnya.

Dia tidak sedang berada dalam suasana hati yang baik.

Pemuda itu meneguk habis anggur dalam gelasnya, lalu memutar tubuh, menatap tajam dua remaja yang berdiri di depannya. "Bukankah sudah kukatakan dengan jelas, ikuti dia ke manapun dia pergi, tapi jangan lukai dia," katanya dari balik gigi yang terkatup rapat. "Apa itu kurang jelas?"

Salah satu dari dua remaja tersebut, tepatnya pemuda berusia lima belas tahun bernama Nate, memberanikan diri untuk bersuara. "Ma-maafkan aku," ucapnya dengan suara bergetar yang nyaris tak terdengar.

"Apa katamu?"

Nate mengernyit kesakitan ketika gelas kaca yang tadinya berisi anggur melayang ke kepalanya. Gelas itu langsung pecah berkeping-keping, menyisakan luka di keningnya.

"Katakan dengan lebih keras, aku tak dapat mendengarmu!"

Mia melirik saudaranya yang berdiri dengan kepala tertunduk di sebelah kanannya, miris melihat pemuda yang selalu tampak garang itu hanya dapat diam membeku, tak berani bergerak sedikit pun meski hanya sekadar untuk mengelap darah yang mengalir di keningnya. Tak terima saudaranya diperlakukan seperti itu, dia pun angkat bicara, "Kami pikir kau ingin menangkapnya! Bukankah itu alasanmu mengawasi Oliver Myers selama ini?"

Sosok berambut merah kecokelatan di depannya menoleh dengan ekspresi jengkel, lalu beralih mendekati gadis itu. Dia meletakkan sebelah tangan di lengan kiri Mia, kemudian mulai berbicara lambat-lambat, tiap kata diucapkan dengan penekanan. "Jadi maksudmu, Nate hanya menjalankan perintahku dan tak bersalah sama sekali? Sama halnya denganmu yang menusuk Oliver walaupun aku tak memerintahkannya?"

Selagi pemuda itu berbicara, gumpalan asap keluar dari bawah telapak tangannya. Bersamaan dengan itu, Mia mulai berteriak kesakitan.

"Dia harus tetap hidup. Mengerti?"

Mata Nate melebar ketakutan ketika menyadari apa yang terjadi. Selama beberapa detik, dia terombang-ambing antara keinginan untuk menyelamatkan saudarinya dan rasa takut yang menahan kakinya dari bergerak maju. Namun, akhirnya dia memilih untuk mengambil keputusan yang lebih berat saat melihat tak ada tanda-tanda orang itu akan melepaskan tangan Mia.

"Hentikan!" Dia berteriak sambil menerjang pemuda di depannya. Mereka terjerembap jatuh berbarengan. Nate cepat-cepat melompat bangkit, lalu menghampiri saudarinya yang terduduk lemas, dengan cepat memeriksa lengan Mia ternyata sudah melepuh seperti tersiram air panas.

"Nate, kau--apa kau sadar apa yang baru saja kau lakukan?" bisik Mia sambil menatap saudaranya. Rasa takut terpancar dari matanya.

Wajah Nate berubah pucat. Sebelum dia dapat melakukan apa pun, tiba-tiba saja tubuhnya sudah ditendang dari belakang. Pemuda bertubuh tinggi besar itu terguling jatuh, dan langsung dihujani pukulan bertubi-tubi. Hanya dalam sekejap wajahnya sudah berlumuran darah.

Mia terkesiap, lalu mulai menjerit histeris, "Hentikan, please, hentikan! Dia bisa mati!"

Satu pukulan terakhir, dan Nate pun tak sadarkan diri. Pemuda yang memukulinya lantas berdiri, melangkah mendekati Mia, kemudian berjongkok di depannya. "Dengar, aku akan menjelaskan sekali lagi. Saat seekor anjing diperintahkan untuk berlari, dia akan berlari, demikian juga jika diperintahkan untuk melompat. Kau tahu apa artinya itu?"

Itu bukan pertanyaan yang memerlukan jawaban. Pemuda itu membiarkan keheningan mengisi ruangan selama beberapa menit, lalu membalik telapak tangannya menghadap ke atas. Nyala api seketika berkobar di permukaan telapak tangannya, bersinar menerangi ruangan yang gelap. Bayangan lidah api di dinding bergerak-gerak liar akibat embusan angin yang masuk dari jendela.

"Maksudku adalah, saat aku memerintahkan kalian untuk mengikutinya, yang perlu kalian lakukan hanyalah mengikutinya. Tidak kurang, tidak lebih." Pemuda itu mengatupkan telapak tangan, dan api di tangannya pun padam, membuat ruangan itu kembali gelap.

Mia bergidik ngeri ketika menyadari kalau dia dan Nate hanyalah pion kecil yang tak berharga, yang dapat dibuang kapan saja begitu tak diperlukan lagi. Bagi sosok di hadapannya itu, nyawa mereka berdua benar-benar tak berarti sama sekali.

"Beri kami kesempatan sekali lagi!" pintanya dengan suara tercekat. "Kami tak akan mengecewakanmu untuk kedua kalinya!"

"Dan kenapa aku perlu memberi kalian kesempatan kedua?"

Meskipun diucapkan dengan tenang, tapi toh ancaman yang terselip di baliknya sampai juga di telinga Mia. Tubuh gadis itu gemetar ketakutan, tahu kalau dia tak dapat memberi jawaban yang memuaskan, maka hidupnya akan berakhir malam itu juga. Dalam waktu sepersekian detik, dia memutar otak, berusaha memikirkan jalan keluar. "Rencanamu besok--biarkan kami yang melakukannya!"

"Kau tahu tugas itu sudah kuberikan pada Luca."

Mia menolak untuk menyerah. "Tapi dia baru akan kembali besok pagi. Bagaimana jika dia terlalu lelah? Rencanamu bisa berantakan!"

"Kalian yakin dapat melaksanakannya? Aku tak akan mengatakan apa yang akan kalian hadapi jika gagal."

Mia menelan ludah. Tentu saja dia tahu apa itu. Kematian. Tapi memangnya dia punya kesempatan yang lebih baik? Jika ada peluang untuk tetap hidup--sekecil apa pun itu--maka dia akan menyambarnya. Jadi dia pun mengangguk, berharap dia terlihat bersungguh-sungguh.

"Kami tak akan mengecewakanmu untuk kedua kalinya."

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang