Chapter 50

2.5K 535 21
                                    

Selama ini, aku memang selalu penasaran kenapa dia menjaga kalung itu sepenuh hati. Kukira itu pemberian mendiang ayahku, makanya aku terheran-heran ketika untuk pertama kalinya melihat benda berukuran kecil yang disematkan sebagai mata kalung ternyata merupakan sebuah anak kunci--persis seperti yang kami temukan di bawah pot.

Kelihatannya ibuku menyadari tatapan penuh tanya yang kulontarkan ke arah kalungnya, sebab dia berkata, "Lebih aman jika aku membawanya bersamaku, Alice. Kau tahu kan, barang sekecil ini mudah hilang. Lagi pula, ini satu-satunya kunci duplikat yang kumiliki--sekarang tak ada lagi orang yang membuatnya."

"Kunci duplikat?"

Ibuku mengangguk dan memasukkan kunci ke lubang kunci di pintu. "Kunci yang asli sudah lama hilang, tepatnya beberapa hari sebelum Alex menghilang."

Mataku melebar. Artinya ... kunci yang kami temukan kemarin adalah kunci yang asli? Tapi, siapa yang menyembunyikannya di bawah pot? Dan untuk apa? Kepalaku terasa berputar-putar lantaran terlalu bingung dengan banyaknya pertanyaan tanpa jawaban yang kutemui belakangan ini. Tampaknya, semua ini terlampau berat untuk otakku.

"Masuklah, Alice," panggil ibuku. Dia sudah berada dalam kamar.

Aku menyusulnya masuk. Dia memperlihatkan piala-piala yang diperoleh Alex dengan mata berbinar-binar penuh kebanggaan. "Alex memiliki minat terhadap banyak hal, makanya dia suka minta diikutkan ke banyak lomba. Kau lihat piala ini? Dia menjadi pemenang spelling bee termuda di Andromeda City. Saat itu, dia begitu senang sampai-sampai menggunakan uang jajannya untuk mentraktir kita berempat makan es krim."

Hatiku ditusuk oleh berjuta kerinduan saat mendengarnya. Jika dia masih hidup, bagaimana dia sekarang--wajah dan kepribadiannya? Apakah dia hidup dengan baik atau menjalani masa-masa sulit? Di mana dia bersekolah dan apakah dia masih pintar seperti dulu? Pertanyaan terbesarnya, apa dia masih mengingat kami?

"Apa kami akrab, Mom?"

Ibuku mengangguk tanpa ragu. "Oh, ya, tentu saja. Kau sangat mengidolakannya. Dia lahir beberapa menit lebih awal darimu, jadi dia juga menganggap dirinya sebagai kakak."

"Mom bilang tak ada yang tahu kalau dia saudaraku. Tapi dari mana Mom tahu kalau aku tak mengatakannya pada siapa pun? Di sekolah, misalnya?"

Ibuku berpaling menatapku. "Aku tahu kalau kau tak akan mengatakannya pada siapa pun, Alice," ujarnya, nada suaranya melembut. "Sebab, ayahmu sendiri yang memintamu untuk merahasiakannya. Dan kau selalu menuruti apa pun kata ayahmu."

Dad dan Alex. Dua orang yang kusayangi tapi tak kuingat sedikit pun. "Mungkinkah Alex ... diculik?" tanyaku. Itu satu-satunya kemungkinan yang dapat kupikirkan. Dia tak mungkin pergi meninggalkanku dan Dad atas kemauannya sendiri. Seseorang pasti membawanya pergi--dan bukan untuk tujuan yang baik.

"Yah, kami memang menduga dia diculik oleh rival bisnis kakekmu atau sindikat perdagangan anak, sebab tak pernah ada yang menghubungi kami untuk meminta tebusan atau semacamnya." Suara ibuku sedikit bergetar. "Tapi mustahil untuk mencari tahu kebenarannya. Tak ada bukti atau petunjuk apa pun yang ditemukan di lokasi kecelakaan."

Aku mendengarkan sambil berdiam diri, berusaha mengabaikan kemungkinan terburuk yang menyelinap masuk ke benakku, yaitu kemungkinan pupusnya harapan kami untuk kembali melihat Alex. Meski ibuku tak mengatakannya, aku tahu dia pun sadar betul akan kecilnya peluang kami untuk dapat menemukan Alex dalam keadaan hidup. Siapa pun yang membawanya--entah saingan bisnis kakekku atau sindikat perdagangan anak--mungkin sudah melenyapkan Alex. Kudengar sindikat perdagangan anak biasanya menculik anak-anak untuk diambil organnya.

"Seharusnya aku berusaha lebih keras untuk mencarinya dulu," kata ibuku dengan penuh penyesalan. Suaranya terdengar aneh, seakan tengah menahan tangis. "Seharusnya aku melaporkannya sebagai anak hilang dan mencarinya menggunakan media sosial."

"Hah?" Aku mengernyit ke arahnya. "Mom tidak melakukannya? Kenapa?"

Dia menatap lantai, menghindari tatapanku. "Karena jika kami melakukannya, identitas Alex sebagai anggota keluarga Sheridan akan diketahui publik."

Aku memutar bola mata dengan jengkel. Bagaimana bisa di saat-saat genting seperti itu mereka masih berusaha merahasiakan identitas Alex? Seharusnya mereka melakukan apa pun yang mereka bisa. Apa pun. Bukankah keselamatan Alex adalah hal yang paling penting? Bukan menyembunyikan statusnya sebagai pewaris Sheridan Group di masa depan.

"Aku tahu kami sudah mengecewakanmu, Alice," ujar ibuku dengan suara tercekat. "Aku juga masih menyesalinya hingga kini. Ibu macam apa yang tidak mencari anaknya sekuat tenaga? Jika kita dapat bertemu lagi dengan Alex, aku akan mengerti kalau dia membenciku."

Aku hanyalah seorang ibu yang tak becus. Sekarang aku paham kenapa ibuku berkata begitu beberapa waktu yang lalu. Bukan lantaran aku nyaris dibunuh di pesta Raven, melainkan karena dia tidak mencari Alex sepenuh hatinya. Aku menatap ibuku yang kini termangu memandangi piala-piala milik saudaraku, dalam hati aku bertanya-tanya bagaimana selama ini dia hidup dengan membawa-bawa penyesalan dan rasa bersalah dalam hatinya. Pasti berat. Dia menyembunyikannya dengan sangat baik hingga aku tak punya ide sama sekali mengenai apa yang telah dia alami. Atau mungkin hanya aku saja yang kurang perhatian.

Mengingat ibuku sudah cukup menderita selama ini, aku tak berpikir terus menyalahkannya adalah sikap yang tepat. Jadi aku berusaha mengalihkan perhatian ibuku dari rasa bersalah yang menyerangnya. "Well ... itu kotak apa?" tanyaku, menunjuk kotak putih di sudut ruangan.

Dia menoleh, memandangi kotak yang kumaksud. "Oh, itu berisi barang-barang favorit Alex serta kumpulan foto dan video kalian berdua semasa kecil. Aku sengaja mengumpulkan semuanya di satu tempat agar tidak berantakan." Dia membuka kotak dan mengeluarkan isinya satu per satu.

Aku meraih robot anjing berbentuk corgi. "Dan ini ...."

"Itu robot anjing peliharaannya. RavenCorp hanya memproduksinya sebanyak seribu unit. Edisi terbatas. Banyak orang tak berhasil membelinya, tapi ayahmu beruntung sebab dia berteman baik dengan putra dari CEO RavenCorp." Ibuku menatap robot di tanganku dengan tatapan penuh kerinduan. "Alex sangat menyayanginya. Sudah lama dia menginginkan seekor anjing, tapi kami berpendapat usianya masih terlalu kecil untuk memelihara anjing sungguhan. Jadi dia sangat senang sewaktu mendapat robot itu--boleh dibilang itu adalah benda favoritnya. Dia bahkan memberinya nama dan membawanya ke mana pun dia pergi. Sayang sekali robot itu tak mungkin menyala lagi."

"Tapi kemarin--uh, bukan apa-apa," ujarku cepat-cepat, lalu memaki diri sendiri dalam hati. Nyaris saja aku keceplosan mengatakan kalau kemarin robot itu baru saja menyala dan berlari-lari mengitari kamar. Untungnya ibuku tak menyadari apa pun, sebab dia sedang menonton rekaman masa kecilku dan Alex di tablet.

Aku duduk di sebelahnya di tepi tempat tidur, ikut menonton meskipun sudah melihat semuanya kemarin. Ketika melihat ayahku, aku tak bisa tidak bertanya-tanya, jika dia masih hidup, apa yang akan dia lakukan kalau tahu Alex menghilang? Aku yakin beliau akan mencarinya sekuat tenaga, tak peduli apa pun risikonya. Dan mungkin itu artinya saat ini Alex sudah kembali ke keluarga kami dalam keadaan selamat. Aku mendesah frustrasi. Banyak hal yang akan menjadi jauh lebih baik seandainya ayahku masih hidup.

Saat layar tablet menampilkan rekaman pesta ulang tahunku yang ketujuh, mataku terpaku pada sosok bocah berambut kecokelatan yang duduk di sebelah diriku versi berumur tujuh tahun, dan seketika aku teringat akan permintaan Oliver. Ada yang janggal. Dia bukan bertanya 'siapa ini', melainkan 'siapa orang tuanya'. Kenapa dia ingin mengetahuinya? Apa dia mengenal anak ini? Benar-benar mencurigakan. Dia pasti menyembunyikan sesuatu dariku--lagi.

Aku menyentuh tombol 'pause' sehingga rekaman video berhenti tepat saat wajah anak itu terlihat jelas. Dia sedang tersenyum lebar dengan mata biru yang berbinar-binar. Sejujurnya, setelah melihatnya baik-baik, aku merasa wajahnya tampak familier. "Mom tahu siapa orang tua anak ini?" tanyaku, menunjuk layar.

Ibuku mengamati layar sejenak. "Oh ... dia." Suaranya sedikit tercekat. Ketika aku menoleh, matanya tampak berkaca-kaca. "Ya, tentu saja aku tahu siapa orang tuanya--aku dan ayahmu bersahabat dengan mereka semasa kuliah."

Jawaban ibuku membuatku bersemangat. Akhirnya, aku dapat melakukan sesuatu untuk Oliver, walaupun aku tak tahu apa kegunaan informasi ini untuknya. "Di mana mereka sekarang, Mom?"

Ibuku tidak langsung menjawab. Dia malah diam membisu dengan mata mulai basah. Sikapnya mau tak mau membuatku merasa ada sesuatu yang salah. Setelah beberapa menit, akhirnya dia berkata, "Mereka tewas akibat kecelakaan pesawat sembilan tahun yang lalu."

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang