Oliver membuka mata dengan perlahan, merasa baru saja terbangun dari tidur panjang. Selama beberapa saat, dia mengedarkan pandang ke sekeliling, mengamati tempatnya berbaring. Dia berada di sebuah kamar, sendirian. Tempat apa ini? Bagaimana aku bisa ada di sini? batinnya, heran.
Pemuda itu mencoba bergerak, tapi sekujur tubuhnya terasa lemas, seolah tak ada energi sama sekali. Jadi akhirnya dia memejamkan mata, mencoba untuk mengingat apa yang terjadi. Pelan-pelan, ingatannya pun kembali; ancaman si pembunuh ... Nate ... Alice. Matanya terbuka lebar ketika nama gadis itu menyelinap masuk.
"Alice!" serunya. Jantungnya berdegup kencang, dan dia merasakan dorongan yang kuat untuk bangkit, tapi tubuhnya menolak untuk bekerja sama. Oliver memegang erat sisi tempat tidur dan kembali memaksa dirinya untuk duduk, tapi sebelum upayanya berhasil, tiba-tiba pintu terbuka dan terdengar langkah kaki seseorang berderap menghampirinya.
"Kau sedang apa? Kau belum boleh duduk!"
Suara itu .... Oliver tertegun, kemudian menoleh, terpaku menatap sosok yang berdiri tegak di hadapannya.
"A-Alice?" tanyanya terbata-bata, seraya berharap apa yang dia lihat bukanlah khayalannya semata.
"Alice?" ulang gadis di depannya, memutar bola mata dengan jengkel. "Setelah bangun dari tidur selama berjam-jam, kata pertama yang kau ucapkan adalah namaku? Aku dan Peter bergantian menjagamu, kau tahu? Kau berutang banyak penjelasan pada kami." Dia berhenti sebentar, menunggu Oliver merespons, lalu karena pemuda itu hanya diam membisu, dia melanjutkan, "Well, tapi karena kau sudah menyelamatkanku, kali ini akan kuanggap impas."
Kelegaan menyeruak memenuhi Oliver. Dengan saksama, dia mengamati Alice lekat-lekat untuk memeriksa keadaannya. Gaun gadis itu dipenuhi bercak darah yang sudah mengering. Rambut pirangnya yang diekor kuda juga berantakan di sana-sini. Walaupun penampilan gadis itu tak tampak mengesankan sama sekali, toh jantung Oliver tetap berdetak tak beraturan--disertai pipi yang memanas--ketika melihatnya.
Oliver berdeham. "Uh, di mana ini?"
"Rumah sakit." Alice merapatkan jas yang dia kenakan di luar gaunnya. Kelihatan jelas ukuran jas itu terlalu besar untuknya. "Aku belum sempat pulang, makanya--"
Gadis itu tak menyelesaikan kata-katanya karena pintu kembali terbuka. Seorang wanita berjas putih melangkah masuk, diikuti oleh Peter dan seorang perawat di belakangnya. Dokter wanita itu pun langsung memeriksa keadaan Oliver dengan cekatan.
"Periksa keadaannya setiap satu jam sekali," katanya pada perawat yang berdiri di sebelahnya.
"Apa dia perlu rawat inap, Dok?" tanya Peter.
"Hanya selama beberapa hari." Dokter itu lantas memiringkan kepala, memandangi Oliver dengan penuh rasa ingin tahu yang terpancar jelas dari matanya. "Ini pertama kali aku mengoperasi orang sepertimu."
Oliver menelan ludah, tiba-tiba merasa gelisah. Dokter itu tahu. Selama ini, untuk menjamin kerahasiaan identitas para Anak Spesial, maka semua masalah kesehatan mereka selalu ditangani oleh tim medis yang memang bekerja sama dengan Laboratorium Omnia. Itu semua karena keberadaan para Anak Spesial yang belum dapat diterima baik oleh masyarakat.
"Dok, bisa kau--"
Wanita itu memotong ucapan Oliver. "Mr. Sheridan sudah memintaku untuk merahasiakannya, tapi aku akan tetap melakukannya meski tak diminta. Aku hanya ingin mengatakan bahwa kemampuan healing-mu sangat menakjubkan. Saat kau dibawa ke sini, lukanya sudah nyaris menutup, jadi kau tak memerlukan jahitan sebanyak orang lain. Selain itu, luka tusukan di perutmu juga sudah sembuh hampir sepenuhnya." Dokter itu tersenyum. "Nah, istirahatlah."
KAMU SEDANG MEMBACA
OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]
Mystère / Thriller[Ambassador's Pick Oktober 2024] [Cerita ini akan tersedia gratis pada 6 Agustus 2021] *** Pembunuhan berantai di Andromeda City mengincar nyawa para Anak Spesial. Oliver harus menemukan kembali ingatannya yang hilang agar dapat menghentikan aksi se...